Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Serangkaian Kisah Sinis terhadap PKI

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cerpen-cerpen Ki Pandjikusmin sesungguhnya merupakan satire akan kebobrokan di zaman Nasakom. Cerita pendek Langit Makin Mendung sebetulnya adalah bagian dari karya panjang berjudul Kaca Mata Retak. Bagian kedua dari Langit Makin Mendung berjudul Hujan Rintik tak sempat dipublikasikan, meski naskahnya masih ada di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Di luar cerita-cerita yang menghebohkan itu, tampaknya Ki Pandjikusmin lebih berminat mengejek gerak-gerik Partai Komunis Indonesia—dan para pengagumnya—baik sebelum meletusnya G30S maupun sesudahnya.

Dari sudut kualitas, cerpen-cerpen Ki Pandjikusmin, baik yang sudah bikin heboh maupun yang dimuat tanpa ribut-ribut, biasa-biasa saja, bahkan cenderung terlalu verbal. Banyak yang beranggapan sesungguhnya cerita pendek ini tak layak muat di majalah sekaliber Sastra karena nilai sastranya yang minim. Tapi, pertimbangan Jassin lain. Agaknya Jassin melihat ada potensi pada diri pengarang ini yang luar biasa. Jassin agaknya terpincut oleh bahasa ungkap Ki Pandjikusmin serta pengaruh kisah perwayangan yang banyak digunakan dalam cerita pendeknya. Inilah ringkasan sebagian cerita pendek Ki Pandjikusmin baik yang pernah dimuat—tanpa menimbulkan kehebohan—maupun yang ditolak majalah sastra di masa itu.

Bintang Maut (1966)

Cerpen enam halaman ini berkisah tentang seorang tokoh CGMI bernama Ktut Garia. Saat penyembelihan dan pembunuhan orang-orang PKI, ia pernah dikepung para pemuda di jembatan Sungai Porong. Ia selamat dan lari bersembunyi ke Singaraja, Bali. Di sebuah desa di Singaraja, ia menumpang sebuah pedati. Percakapan Garia dengan Wajan tukang pedati ini yang menjadi inti cerpen. Sang tukang bercerita tentang hubungan bintang jatuh dan tragedi. Sebelum PKI berontak, tampak ada bintang jatuh. Fenomena yang sama juga terjadi sebelum Perang Puputan di Karangasem dan perang besar di Klungkung. Itu tanda keangkaramurkaan Yamadipati—dewa kematian. Menurut Wajan, mereka yang memandang bintang jatuh itu akan teracuni untuk memiliki nafsu membunuh. Dalam cerpen itu, tiba-tiba Garia serasa melihat bintang api. "Bintang laknat itu tak akan berani menampakkan diri kepada orang baik-baik." kata tukang pedati itu. Garia menginap seminggu di rumah Wajan.Ternyata di akhir cerita baru ketahuan saudara Wajan adalah Gde Naja—mahasiswa yang amat membencinya yang pernah dituduhnya anti-manipol.

Domba Kain (1966)

Karno bunuh diri dengan menembak kepala sendiri. Itulah pembuka cerpen Domba Kain. Karno adalah anggota pasukan komando yang diterjunkan di Sarawak—membantu pasukan gerilya komunis Sarawak untuk menghancurkan Malaysia. Di situ, ia berperang melawan pasukan Gurkha Inggris. Pasukannya kocar-kacir. Ia sendiri melarikan diri lewat laut dan ditolong nelayan Bugis-Makassar, sampai menyelundup di kapal menuju Tanjungpriok. Sampai di Jakarta, ia menemukan dirinya dinyatakan tewas berdasar laporan Operation-Hawk dari Skuadron IV Kerajaan Inggris Raya. Ia juga mendapati situasi berubah. Keluarganya semua mati. Di akhir cerita, Karno bunuh diri.

Petasan dalam Sampah (1970)

Cerpen ini terlihat sebagai parodi Ki Pandjikusmin atas pengadilan H.B. Jassin dan dirinya sendiri. Cerita ini bertutur tentang seseorang bernama Paus Sastra, yang diadili karena dituduh meledakkan sebuah petasan. Sang Paus Sastra ini dituduh dengan sengaja ingin membuat orang-orang tuli karena meledakkan petasan di dalam rumahnya. Petasan ini diperolehnya dari Chuang See, anak muda tukang pembersih kotoran yang memungut mercon itu dari bak sampah dan lalu menyerahkannya kepada Paus Sastra. Suara ledakannya bagai dinamit. Dalam pembelaan di pengadilan, Paus Sastra bersikukuh, bila petasan dianggap menulikan kuping, bagaimana dengan mercon bumbung atau meriam? Di akhir cerpennya, Ki Pandjikusmin seolah menikmati kemisteriusannya: "Sementara itu Chuang See yang harus diseret ke tiang gantungan, yang congkak, yang brutal, yang pengecut, yang tak bertanggung jawab, yang pencuri model tikus, yang cecunguk, yang `misterius' masih ada," demikian ditulisnya.

Dia Tak Bisa Tidur (1971)

Cerpen sepanjang tiga halaman ini menceritakan tokoh yang disekap di penjara Koramil sebuah kabupaten. Ia dipenjara dengan tuduhan menculik dan membunuh seorang babinsa. Lalu, tokoh ini mengenang betapa mahakuasanya dia di masa lalu. Ia malu terhadap dirinya sendiri. Ia mengingat gadis CGMI yang ditaksirnya, dan lalu hendak diselamatkannya supaya dapat menjadi istrinya. Tapi sang gadis menolaknya dan lebih memilih rela mati. Ia ingat bagaimana menyelamatkan satu Gerwani dengan mengorbankan Gerwani lainnya. Ada seorang nyonya Baperki yang pernah menawarkan mobil kepadanya, asal suaminya bebas. Tokoh ini hampir saja dikirim ke penjara bagian tahanan tapol PKI golongan A dan B. Tapi ia akhirnya selamat.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus