Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mencari Jalan Kembali ke Kosovo

PBB bertekad menjadikan Kosovo sebagai lokomotif penyelesaian konflik di negara bekas Yugoslavia itu. Mampukah atau malah menjadi bumerang?

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pristina menyambut musim panas, Kosovo berbenah. Bekas provinsi Yugoslavia itu menggeliat setelah terbelit perang sipil sejak awal 1990-an. Hal itu ditandai dengan kembalinya ratusan pengungsi Kosovo, baik dari etnis Albania maupun Serbia, dari negara-negara Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Australia, ke Kosovo.

Upaya berbenah lainnya adalah perubahan kontrol dalam KFOR, Pasukan Perdamaian untuk Kosovo di bawah PBB. NATO, Pakta Pertahanan Atlantik Utara, unsur yang biasa mendominasi KFOR, kini diganti oleh Eurocorps. Inilah pasukan perdamaian yang anggotanya adalah lima negara Eropa, yaitu Belgia, Prancis, Jerman, Luksemburg, dan Spanyol. Dan, yang terpenting, unsur KFOR lainnya lebih banyak terdiri dari negara anggota di luar NATO. Perubahan tersebut tampaknya untuk memperbaiki kinerja KFOR. NATO, yang didominasi pasukan Amerika Serikat, dinilai tidak berhasil menciptakan perdamaian di Kosovo. Serangan udara 78 hari di daerah-daerah Serbia dianggap tak memadamkan konflik di Kosovo. Setelah NATO menyelesaikan misinya, masa depan Kosovo masih tetap tak terbayangkan, demikian menurut koresponden BBC, Jonathan Marcus.

Dengan kembalinya pengungsi ke Kosovo dan perubahan komposisi KFOR, PBB—yang mendapat mandat hingga Juni 2000 untuk memegang pemerintahan administrasi di Kosovo—berharap bisa menuntaskan targetnya, yaitu mengembalikan Kosovo sebagai wilayah multietnis yang damai. Lebih rincinya, KFOR harus mampu membangun kembali jalan raya dan jembatan yang hancur, membersihkan ladang ranjau, dan—yang tersulit—merumahkan lebih dari sejuta pengungsi yang kembali ke kampung halamannya.

Mampukah PBB menjalankan misi perdamaian termahal, dengan jumlah pasukan terbesar (50 ribu tentara) sepanjang sejarah pasukan penjaga perdamaian? Uji kasus yang paling dekat adalah rencana pemerintah Amerika Serikat, yang punya berpengaruh kuat dalam menjalankan misi PBB di Kosovo, untuk memulangkan 700 etnis Serbia yang terusir dari Kosovo pada akhir April ini.

Rencana yang diungkap oleh seorang pejabat KFOR dari AS awal minggu lalu itu dijadikan proyek pilot kesiapan Kosovo sebagai wilayah multietnis. Pemulangan ini juga digunakan sebagai ujian terhadap Hashim Thaci, pemimpin Partai Progres Demokratik, tokoh karismatis etnik Albania di Kosovo, yang sekaligus orang yang dijagokan AS untuk menjadi pemimpin Kosovo di masa yang akan datang.

Tapi ternyata rencana AS itu justru mendapat sambutan dingin dari PBB. "Kami sangat mendukung rencana tersebut, tapi kondisi keamanan sama sekali tidak mendukung," ujar Dennis McNamara, pejabat UNHCR, komisi urusan pengungsi PBB, di Balkan. Jenderal Wesley Clark dari NATO, yang terlibat langsung dalam perencanaan serangan NATO ke kantong-kantong Serbia, menganggap kawasan itu masih mengandung iklim kekerasan yang sangat tinggi.

McNamara dan Clark memang realistis. Kondisi Kosovo masih dipenuhi oleh kemarahan dan keinginan balas dendam etnis Albania terhadap Serbia. Tindak kekerasan etnis Serbia terhadap etnis lain yang berlangsung sejak awal 1990-an juga mengakibatkan Kosovo menjadi korban karena mayoritas penduduknya adalah etnis Albania. Tidak kurang dari 850 ribu etnis Albania di Kosovo terusir dari kampung halamannya.

Untuk itulah Tentara Pembebasan Kosovo yang terdiri dari etnis Albania merasa berhak untuk balik menindas Serbia. Sejak akhir 1998 lalu, mereka mulai beraksi menyingkirkan orang-orang Serbia dari Kosovo. Bahkan, menurut sumber-sumber diplomatik, besarnya jumlah Tentara Pembebasan itu juga karena didukung oleh AS, yang ingin menggencet posisi Serbia di Kosovo. Tentara Pembebasan "digunakan" oleh KFOR untuk mengeliminasi gerak tentara Serbia di Kosovo.

Kalau benar demikian keadaannya, bisa jadi musim panas tahun ini menjadi babak baru dari serangkaian konflik di Kosovo. Tak mengherankan jika Tim Judah, penulis buku Kosovo: War and Revenge, menyebut misi PBB di Kosovo sebagai mission impossible, karena konflik etnis di wilayah bekas Yugoslavia—Bosnia, Serbia, Kroasia, Slovania, Montenegro, dan Kosovo—memiliki kecenderungan untuk balas dendam. Tiap etnis merasa berhak melakukan balas dendam terhadap etnis lain yang dinilai bersalah di masa lalu. Maka, proses perdamaian di kawasan itu agaknya masih harus melalui jalan yang panjang dan berliku.

Bina Bektiati (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus