Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan peringatan soal potensi ancaman letusan freatik di Gunung Slamet. Letusan freatik umumnya terjadi ketika magma memanaskan air tanah, air danau, air kawah, atau air laut. Pemanasan itu memicu penguapan air yang pada akhirnya bisa menghasilkan ledakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Geologi, Muhammad Wafid, mengatakan peningkatan tekanan itu sedang terjadi di bawah tubuh Gunung Slamet. “Yang dapat memicu gempa-gempa dangkal maupun erupsi,” katanya melalui keterangan resmi pada Jumat, 29 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski ada risiko freatik, Badan Geologi masih mempertahankan status gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa itu pada Level II atau Waspada. Status itu bertahan lama sejak 19 Oktober 2023. Masyarakat lokal dan pengunjung dilarang memasuki area dalam radius 2 kilometer dari puncak Gunung Slamet. Area terlarang itu masih berisiko terkena lontaran material pijar, termasuk hujan abu.
Merujuk data termutakhir Badan Geologi, aktivitas Gunung Slamet masih didominasi gempa hembusan dan gempa tremor yang mengindikasikan pergerakan fluida di sekitar permukaan. Peningkatan gempa tremor sudah terpantau sejak Oktober 2023 di Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.
Pada 9-19 Mei 2024, tim pemantau juga mencatat gempa vulkanik dalam yang menandai adanya suplai magma ke permukaan gunung setinggi 3.432 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut. Ada juga catatan gempa tremor non harmonik pada 28 November lalu, diikuti peningkatan tremor biasa.
Erupsi Gunung Slamet yang menghasilkan abu dan lava pijar terakhir tercatat pada Maret-September 2014. Adapun aktivitas vulkanik Gunung Slamet sepanjang tahun ini cenderung didominasi hembusan asap kawah dengan tinggi maksimal 550 meter dari puncak gunung.