Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH Indonesia menjadikan transisi energi terbarukan sebagai salah satu prioritas pembangunan hingga 2029. Dari sektor energi hingga transportasi akan mendapat percepatan. Terdengar menakjubkan. Tapi apakah hal tersebut realistis?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam beberapa catatan, upaya transisi energi ternyata masih menunjukkan pelbagai kendala. Selain masih banyak inkonsistensi dari pemerintah, masyarakat belum begitu memahami apa itu transisi energi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Survei kami bersama tim Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta memperlihatkan hanya 20,09 persen muslim Indonesia tahu tentang istilah tersebut.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, penting bagi pemerintah untuk mendudukkan segala kebijakan yang selaras dengan alam pikir masyarakat beragama, terutama kebijakan transisi energi yang membutuhkan pelibatan masyarakat. Keselarasan penting agar transisi energi Indonesia mendapat dukungan dan partisipasi yang masif dari masyarakat.
Salah Anggapan Transisi Energi
Kami mensurvei 3.045 responden muslim berusia 15 tahun ke atas dari semua provinsi di Indonesia seputar pemahaman mereka terhadap isu lingkungan dan perilaku ramah lingkungan, termasuk transisi energi. Survei ini memiliki margin kesalahan 2-4 persen, dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Melalui survei ini, kami menemukan bahwa pengetahuan masyarakat tentang transisi energi ternyata tidak menjamin pemahaman yang benar perihal konsep tersebut. Mereka yang menjawab, “Ya, tahu transisi energi”, ternyata tidak sepenuhnya memahami konsep transisi energi.
Setidaknya 24,29 persen masyarakat memahami transisi energi sebagai perubahan energi dari bahan bakar minyak ke listrik, diikuti dengan energi yang berpindah (18,57 persen), energi ramah lingkungan (17,64 persen), dan pembangkit listrik tenaga surya (11,16 persen).
Banyak pula muslim yang menganggap transisi energi terbarukan sebatas aspek yang paling mudah dikenali, seperti kendaraan listrik. Kelihatannya masyarakat masih memahami transisi energi sebagai perubahan teknis yang sempit, seperti perubahan energi dari bahan bakar fosil ke listrik.
Padahal transisi energi sebetulnya lahir dari upaya untuk mengganti bahan bakar fosil ke energi yang lebih bersih, seperti sinar matahari, angin, ataupun air. Upaya ini lahir dari urgensi global mengurangi dampak perubahan iklim yang menciptakan lebih banyak fenomena alam, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, serta pemutihan karang dan pengasaman laut.
Sayangnya esensi itu belum tertangkap masyarakat muslim. Padahal survei kami menemukan mayoritas responden (70,43 persen) mengetahui bahwa perubahan iklim terjadi karena ulah manusia.
Pengurus masjid membersihkan panel surya Pembangkit Listrik Tenaga Surya kapasitas 4.700 Wp di Lombok Timur, NTB, 28 Maret 2023. ANTARA/Ahmad Subaidi
Pemahaman masyarakat muslim ihwal transisi energi yang rendah turut berbanding lurus dengan minimnya pengetahuan mereka tentang Islam berwawasan lingkungan atau dikenal sebagai Green Islam. Gagasan ini menggabungkan prinsip Islam dan kesadaran perilaku lingkungan.
Survei kami memperlihatkan khalayak muslim belum mengetahui isu-isu Green Islam, seperti ekopesantren/pesantren hijau; fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang lingkungan; fikih penanggulangan sampah plastik; serta komunitas-komunitas lingkungan berbasis Islam, seperti Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam dan Kader Hijau Muhammadiyah.
Ironisnya, banyak pula di antara mereka yang sebetulnya berasal dari organisasi kemasyarakatan Islam inisiator gagasan ini.
Literasi Energi dari Pesantren dan Ulama
Temuan kami menandakan pemerintah perlu menggalakkan literasi energi terbarukan dan perubahan iklim. Literasi energi yang lebih baik memungkinkan masyarakat lebih efisien menggunakan energi, mengurangi konsumsi, dan berinvestasi dalam energi terbarukan.
Namun ini hanya bisa tercapai dengan adanya pendidikan yang memadai, dukungan institusi yang kuat, dan promosi kebijakan yang mendukung penggunaan energi terbarukan di tengah masyarakat muslim.
Berdasarkan survei, mayoritas responden (lebih dari 80 persen) yakin bahwa ulama dan pemimpin pondok pesantren dapat mengajarkan topik-topik tentang pelestarian lingkungan serta merespons persoalan-persoalannya. Organisasi keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, juga memiliki peran untuk memantik aksi lingkungan berskala besar.
Temuan ini sepatutnya menjadi catatan bagi pemerintah untuk menggalakkan peran tokoh-tokoh agama dalam meningkatkan literasi energi dan pelindungan lingkungan. Dari peran mereka, aksi-aksi transisi energi bersih berskala kecil dapat muncul dan menjadi pemicu untuk aksi yang lebih banyak ataupun lebih besar.
Upaya ini sekaligus dapat menjadi pengetuk bagi tokoh-tokoh agama dan pondok pesantren untuk lebih aktif membumikan pesan-pesan pelestarian lingkungan bagi masyarakat muslim menengah ke bawah. Pasalnya, survei kami menemukan bahwa perilaku ramah lingkungan masih terkonsentrasi di masyarakat muslim menengah ke atas.
Foto Udara Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid (PLTH) yang menggabungkan panel surya dan kincir angin berkapasitas 16.200 Watt Peak (WP) di Dusun Bondan, Desa Ujung Alang, Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah, 24 Oktober 2022. ANTARA/Idhad Zakaria
Kebijakan yang Mendukung
Bersamaan dengan usaha untuk meningkatkan literasi energi di masyarakat, pemerintah Indonesia juga perlu membenahi kebijakan-kebijakan yang menghambat penggunaan energi terbarukan.
Survei PPIM UIN Jakarta memperlihatkan ada koneksi yang kuat antara perilaku peduli lingkungan dan ekonomi. Bila berkaitan dengan perilaku peduli lingkungan yang memiliki insentif ekonomi, masyarakat muslim Indonesia akan sering melakukannya. Misalnya, menghemat air (62,41 persen) dan menghemat listrik (52,45 persen).
Sementara itu, muslim Indonesia cenderung melakukan kegiatan lingkungan yang berbiaya lebih sedikit, seperti berdonasi untuk gerakan peduli lingkungan (20,33 persen) dan mendaur ulang sampah (11,73 persen).
Temuan di atas sebetulnya bisa menjadi petunjuk bagi para pemangku kebijakan, khususnya yang bertalian dengan kebijakan transisi energi terbarukan. Sejauh ini pemerintah justru menggalakkan kebijakan insentif dan subsidi untuk perluasan adopsi mobil listrik yang memakan anggaran serta berbiaya mahal. Padahal sebagian besar warga Indonesia tergolong kelas menengah ke bawah (85 persen).
Di lain pihak, pemasangan pembangkit listrik tenaga surya atap, yang lebih murah dibanding pembelian mobil listrik, malah kurang digenjot dan disosialisasi kepada masyarakat. Pun upaya memperluas penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap masih dibatasi oleh regulasi pemerintah.
Baca Juga:
Langkah Beriringan
Indonesia masih memiliki pekerjaan besar untuk mengejar target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun depan. Untuk memastikan transisi energi kita berada di jalur yang benar, pemerintah perlu memastikan masyarakat memahami urgensi literasi energi dengan segala upaya.
Memang tidak ada solusi tunggal untuk mempercepat kebijakan energi terbarukan. Namun literasi adalah kunci. Swedia—negara dengan bauran penggunaan energi terbarukan terbesar di Eropa—pun sempat memiliki tantangan perihal literasi energi bersih karena pemakaian energi berlebih dalam rumah tangga meningkatkan biaya pembangunan infrastruktur energi terbarukan.
Karena itu, pemerintah sesungguhnya bisa memaksimalkan beragam agen sosialisasi. Literasi soal energi bersih dan transisi energi bisa dilakukan lewat tokoh agama di masjid, pesantren, majelis taklim, madrasah, dan forum-forum keagamaan lainnya. Pemahaman ini juga perlu disertai penekanan urgensi bahwa keseimbangan emisi karbon bumi sudah sangat terganggu dan membawa dampak yang merusak.
Harapannya, pemahaman ini juga memantik motivasi religius masyarakat muslim dalam melakukan perilaku-perilaku lingkungan lainnya, yang selama ini masih lebih banyak dilakukan karena alasan ekonomi.
Artikel ini ditulis oleh Khalid Walid Djamaludin bersama Endi Aulia Garadian, pengajar sekaligus peneliti pada Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Terbit pertama kali di The Conversation.