Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMDAN, 43 tahun, tak pernah bermimpi akan berhenti menjadi nelayan. Gairah darah pelaut yang diwarisi dari kakek buyutnya harus disudahi. Bukan ia enggan melaut, tapi ikan-ikan yang biasa berenang di sekitar Pulau Buluh kini menghilang entah ke mana. Jadilah Hamdan penarik perahu pancung, alat transportasi antarpulau di sekitar Pulau Batam di Kepulauan Riau.
Hilangnya ikandan kepitingini diawali ketika 12 tahun lalu, PT Indotirta Suaka, anak perusahaan kelompok Salim, milik konglomerat Sudono Salim, membuka peternakan babi, ayam, dan buaya di Pulau Bulan, Kepulauan Riau, Provinsi Riau. Pulau seluas 38,9 kilometer persegi itu kemudian dipadati oleh 380 ribu ekor babi serta puluhan ribu ayam dan buaya.
Selain memproduksi daging dan kulit, ternak-ternak ini "memproduksi" kotoranbaca: tahiorganik. Dari babi saja, Indotirta mengeluarkan 70-80 ton kotoran setiap harinya. Maka, datanglah bencana itu. Setiap akhir Mei dan Juli, ketika masanya angin bertiup kencang, menebarlah aroma busuk yang bisa membuat orang muntah, pusing, dan sesak napas ke belasan pulau sekitarnya. Pulau itu antara lain Pulau Buluh, Bulanglintang, Bulangkebam, Pulau Air, Pulau Labu, Seraya, Temoyong, Selatnenek, Cenkoi, Terong, Pecung, Jaloh, dan Pulau Kasu. "Banyak yang menderita sesak napas akibat menghirup udara kotor," kata Budi, 27 tahun, nelayan Pulau Tanjunggundap.
Menurut data petugas puskesmas pembantu di Pulau Buluh, penderita sesak napas, batuk, dan pilek setiap bulannya terus meningkat rata-rata 40-50 pasien. Kebanyakan adalah balita. "Jelas itu akibat kualitas udara yang buruk," kata Asep, petugas puskesmas.
Bukan hanya Hamdan dan Budi yang terganggu oleh limbah tersebut. Sebanyak 4.177 warga di sekitar Pulau Bulan juga terganggu dan mengajukan protes. Surat protes dan permintaan ganti rugi sudah diajukan ke Indotirta. Namun, pihak perusahaan bergeming. Tak aneh jika warga melayangkan protes dan tuntutannya ke Presiden Abdurrahman Wahid. Hingga kini, mereka masih menunggu tanggapannya.
Indotirta, yang pemiliknya dekat dengan penguasa Orde Baru, Soeharto, kala itu mendirikan perusahaannya tanpa dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Bahkan, menurut hasil analisis petugas Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Otorita Batam, Maret lalu, perusahaan tersebut melakukan pengelolaan limbahnya dengan cara yang sederhana saja, yakni dengan diendapkan.
Berdasarkan beberapa parameter pencemaran bahan organik, seperti nitrit, COD, E. Collie, dan Coliform, limbah yang dihasilkan Indotirta sudah melewati ambang batas baku mutu lingkungan untuk biota laut. Hasil analisis itu tak mengejutkan. Sebab, limbah tersebut dibuang melalui sungai dan, akibatnya, kualitas air pun menurun.
Sungai Kucing, misalnya. Tempat warga dulu mengambil air tawar untuk kebutuhan sehari-hari itu kini berwarna hijau kecokelatan dengan aroma tak sedap menusuk hidung. Semakin dekat ke tempat pembuangan, air sungai semakin cokelat mengental, bau semakin menjadi. "Kami dulu mengambil air tawar di Pulau Bulan, tapi setelah dikuasai orang berduit, itu tinggal kenangan," kata Hamdan. Kini, warga pulau di sekitar Pulau Bulan terpaksa membeli air tawar seharga Rp 5.000 per drum untuk keperluan sehari-hari.
Menurut Andi Ibrahim, Ketua Komisi E DPRD Kota Batam, peternakan babi di Pulau Bulan lebih banyak menimbulkan kerugian bagi warga ketimbang hasil yang diperoleh. "Lebih banyak mudaratnya daripada baiknya. Sebaiknya peternakan itu ditutup saja," katanya kepada TEMPO. Wali Kota Batam, Drs. Nyat Kadir, dalam sebuah dialog, ikut mendukung aksi para nelayan. "Kita akan mengurus soal pencemaran laut. Sebab, akan merugikan nelayan," katanya. Anehnya, tidak pernah ada tindakan nyata dari pihak pemerintah Kota Batam hingga hari ini.
Pihak Indotirta sendiri terlihat tidak peduli akan keluhan warga dan terus beroperasi serta mengekspor 60 persen produknya ke Singapura. Perusahaan dengan nilai investasi S$ 64 juta ini pun masih menyetor pajak ke kas pusat sebesar Rp 608 juta per bulan. Sayang, mereka menampik permintaan konfirmasi dari TEMPO.
Ironis, memang. Sementara Indotirta dan pemerintah pusat menikmati uang ratusan juta rupiah setiap bulan, warga di Kepulauan Riau harus membayarnya dengan kualitas kehidupan dan lingkungan yang semakin buruk.
Agus Hidayat, Rumbadi Dalle (Pulau Bulan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo