Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Tegal, Jawa Tengah, barang bukti sebesar Stasiun Gambir di Jakarta dengan berat 2.000 metrik ton bisa lenyap dari pelabuhan. Simsalabim , Jumat dua pekan lalu atau dua hari pascalenyap, barang bukti itu sudah nongkrong di Cilincing, Jakarta Utara.
Kesampingkan dulu soal "keajaiban" itu. Yang mendesak, raksasa itu adalah kapal tanker Viking yang membawa 800 metrik ton MDO (marine diesel oil/minyak mesin kapal) di dalam perutnya. Sepintas, tak ada yang istimewa dari kapal berusia 29 tahun ini. Namun, tanker ini telah meninggalkan jejak pencemaran di Pantai Tegal.
Februari lalu, sekitar 200 metrik ton minyak yang dibawanya tumpah di Pantai Tegal. Saat bersandar, badai dan ombak besar Laut Jawa menghantamnya. "Badan kapal yang sudah rapuh itu bocor," cerita Sutomo, Administratur Pelabuhan Tegal. Tanker itu terendam hingga sebatas lambung. Minyak yang berat jenisnya lebih enteng dari air laut itu kontan menyembur keluar.
Angin kencang menggotong minyak ke arah timur sejauh sepuluh kilometer. Perairan Tegal terlihat kental, dan air itu masuk ke tambak-tambak sekitar pantai. Rusita, petambak udang putih, mengaku rugi Rp 20 juta. Sekitar 500 ribu bibit udangnya mati, sementara penyaring dan sejumlah instalasi tambak rusak. Petambak lain, Susmoro, kehilangan 30 ribu udang dan 3.000 bandeng yang siap panen.
Daerah tangkapan ikan bagi nelayan ikut mengerut. Sebulan terakhir, wajah laut di Tegal berubah warna kekuning-kuningan dengan bau busuk yang membuat pening kepala serta rasa mual. Hingga hari ini, setiap kali nelayan menjaring ikan, mereka hanya memperoleh gumpalan-gumpalan minyak yang mulai mengendap masuk ke air. "Kami tak bisa menangkap ikan, sampai laut benar-benar bersih," kata Kasmuri, 50 tahun, Ketua Kelompok Nelayan Kota Tegal. Makanya, para petambak dan nelayan ini bergabung menuntut ganti rugi sebesar Rp 1,6 miliar.
Siapa yang harus mengganti? Nah, ini masalahnya. Semua pihak angkat tangan. Dari dokumen Administrasi Pelabuhan Tegal, Viking diduga kapal curian. Pertengahan tahun lalu, tanker yang nama aslinya Steadfast itu dicuri dari perairan Singapura dan dilarikan ke Indonesia untuk dijual kiloan. Dalam perjalanannya, si pencuri ngobyek mengangkut 1.200 metrik ton minyak dari Dumai, Riau.
September lalu, kapal berbendera Honduras itu merapat di Tegal. Setelah mengetahui dokumennya palsu, Satuan Polisi Perairan dan Udara (SatPol Airud) Tegal menahannya. Perusahaan minyak Hiap Joo Petroleum dari Singapura, sebagai pemilik, minta tanker itu dikembalikan.
Selama menunggu proses pengadilan, 800 metrik ton minyak bawaan itu malah dilelang Ajun Komisaris Besar Polisi Arif Rachman Lubis, Kepala SatPol Airud Polda Jawa Tengah. Baru separuh barang lelang itu diambil pembelinya, Viking mulai ngompol dan mencemari Laut Tegal. SatPol Airud baru membersihkan pencemaran dua hari kemudian, setelah minyak menyebar luas. Pembersihan dengan ember dan pemasangan perangkap minyak kalah cepat dengan rembesan minyak. Belum lagi semua kasus beres, SatPol Airud malah mengizinkan Viking digeret ke Cilincing, Jakarta Utara. "Untuk masuk di penitipan rawat, agar lebih terurus," begitu alasan Arif.
Saat ini polisi sedang memeriksa Ahmad Rui, pengusaha dari Batam yang tercatat sebagai pemilik Viking, yang dianggap memalsukan dokumen kapal. Namun, Ahmad mengaku tak pernah memerintahkan membawa minyak yang kini mencemari Pantai Tegal itu.
Lembaga Penelitian & Penyelamatan Lingkungan Laut Indonesia (LPLI), sebuah LSM yang ikut mendampingi nelayan dalam kasus ini, menyebut Pemerintah Daerah Tegal terlalu lambat bertindak. Harusnya, pemda segera membersihkan lingkungan dan mengganti kerugian nelayan sebelum jelas siapa yang bersalah. Jika kasus ini tak terselesaikan, peme-rintah Indonesia bisa mengajukan klaim ke lembaga asuransi International Oil Pollution Compensation (IOPC), yang berkedudukan di London.
Namun, menurut ahli hukum lingkungan, Mas Achmad Santosa, klaim ke IOPC biasanya hanya berlaku untuk pencemaran di perairan internasional. "Jika pencemarannya di perairan nasional, harusnya ada lembaga pendanaan sendiri di negara yang bersangkutan," katanya. Ia mencontohkan Amerika Serikat, yang memiliki Super-Fund Act untuk membayar klaim ganti rugi jika tak jelas biang pencemarnya. Uang diambil dari pajak dunia industri.
Dalam kasus Tegal, seharusnya yang bertanggung jawab adalah Pemda Tegal sebagai pemilik wilayah, dan SatPol Airud sebagai pemegang barang bukti. Caranya, seperti dikatakan Alamsjah Mapparessa, Kepala Direktorat Pengendalian Kerusakan Ekosistem Pesisir dan Laut di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pusat, kapal itu dijual dan hasilnya untuk ganti rugi dan rehabilitasi lingkungan. Untuk itu, keajaiban dibutuhkan: uang penjualan jatuh ke tangan petambak.
Agung Rulianto dan Ecep S. Yasa (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo