Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Goei Siauw Hong*)
*) Kepala Riset Nomura Sekuritas
ANGGARAN pendapat dan belanja negara (APBN) sering kali digunakan sebagai instrumen untuk memuluskan siklus ekonomi. Ia dapat digunakan sebagai alat untuk mencegah pertumbuhan ekonomi yang berlebihan ataupun kontraksi ekonomi yang tidak perlu. Bila ekonomi mengalami pertumbuhan yang berlebihan, agar tak terjadi overheating, pemerintah dapat meningkatkan pajak atau mengurangi belanjanya. Dengan melakukan langkah ini, pemerintah akan menjalankan suatu anggaran belanja yang surplus yang akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, saat ekonomi mengalami penurunan, anggaran belanja dapat digunakan sebagai stimulus dengan defisit anggaran belanja. Defisitnya sendiri dapat ditutupi dengan beberapa cara, meminjam dari luar negeri, misalnya, menerbitkan pinjaman di dalam negeri, atau melakukan program privatisasi. Menutupi defisit dengan menggunakan pinjaman dalam negeri dapat mengakibatkan crowding out, yaitu pinjaman pemerintah akan menyebabkan bunga naik sehingga sektor swasta tidak mampu melakukan investasi. Bagaimana halnya dengan kondisi pertumbuhan ekonomi di Indonesia? Tahun ini diperkirakan akan menjadi tahun yang berat untuk perekonomian dunia secara umum. Perlambatan pertumbuhan ekonomi di AS, Jepang, dan Eropa akan menyebabkan mundurnya permintaan terhadap barang-barang ekspor kita. Investasi juga mungkin terganjal oleh meningkatnya risiko, dengan ramainya gonjang-ganjing politik. Sektor konsumsi rumah tangga pun, yang merupakan komponen terbesar GDP, kemungkinan akan terganjal oleh inflasi yang tinggi, yang menjatuhkan daya beli masyarakat. Di samping itu, melemahnya rupiah dan berkelanjutannya pertikaian politik mungkin akan menurunkan kepercayaan konsumen, yang membuat mereka menunda pembelian. Dalam kondisi seperti inilah sektor belanja pemerintah seharusnya bisa menjadi stimulus dengan fiskal defisit yang ditujukan untuk mendongkrak ekonomi. Indonesia menganggarkan suatu fiskal defisit untuk APBN 2001 (menurut anggaran saat ini sekitar 3,7 persen dari GDP). Namun, yang menjadi masalah, seperempat dari anggaran belanja kita digunakan untuk pembayaran bunga utang, baik itu bunga utang dalam negeri yang berasal dari obligasi rekapitalisasi perbankan maupun bunga utang luar negeri. Pembayaran bunga ke bank tersebut tidak akan langsung menghasilkan permintaan untuk barang-barang. Jadi, agak susah juga untuk mengandalkan anggaran pemerintah sebagai stimulus ekonomi. Sudah tentu, kebijakan fiskal defisit ini tidak bisa dijalankan terus-menerus di suatu negara. Kebijakan ini menghasilkan utang yang suatu ketika harus dibayar, juga harus dicari pihak yang bersedia membiayai fiskal defisit tersebut. Saat ini saja bunga utang pemerintah Indonesia sudah mencapai 25 persen dari total pengeluaran pemerintah dan hampir 30 persen dari penerimaan pemerintah. Andalan pemerintah untuk membayar pokok utang tersebut adalah penjualan aset BUMN ataupun aset BPPN. Sayangnya, situasi politik yang buruk dan perselisihan dengan IMF bisa membuat ketidakpastian, sehingga harga aset akan turun. Campur tangan DPR juga banyak memberi andil dalam ketidakpastian penjualan aset, seperti dalam kasus penjualan perkebunan Salim ke Guthrie, dan spin-off Semen Padang dari Semen Gresik. Masalah pembiayaan fiskal defisit menjadi semakin signifikan dengan melesetnya beberapa asumsi yang digunakan oleh pemerintah dalam APBN. Asumsi suku bunga SBI sebesar 11,5 persen menjadi masalah yang penting, mengingat setiap 1 persen kenaikan suku bunga SBI akan menambah beban pengeluaran bunga rekapitalisasi perbankan sebesar Rp 2 triliun. Melemahnya rupiah juga akan menjadi beban pemerintah, mengingat semakin lemah rupiah, akan semakin besar subsidi pemerintah untuk BBM dan non-BBM. Kedua subsidi tersebut menghabiskan uang sampai Rp 54 triliun pada tahun ini, dengan asumsi Rp 7.800 per dolar AS. Dengan melemahnya rupiah, beban subsidi (terutama untuk BBM) akan meningkat. Pembayaran bunga utang luar negeri pun akan membengkak, mengingat 30 persen dari pembayaran bunga utang Indonesia adalah untuk menutupi bunga utang luar negeri. Hal yang sedikit menghibur adalah bertahannya harga minyak pada level yang diinginkan pemerintah. Dengan melesetnya asumsi-asumsi tersebut, pemerintah harus melakukan revisi terhadap APBN dengan mempertimbangkan ketersediaan dana untuk menutupi kelebihan defisit. Untuk itu, ada beberapa jalan yang bisa dilakukan. Pertama, menerbitkan obligasi. Namun, ini memerlukan persetujuan DPR, dan juga pasar obligasi lokal belum cukup besar untuk menutupi kebutuhan pembiayaan dari pemerintah. Menerbitkan utang di luar negeri juga akan mahal, mengingat rendahnya credit rating Indonesia. Menggenjot penerimaan pajak atau mengurangi pengeluaran pembangunan mungkin akan membuat APBN menghambat pertumbuhan ekonomi pada saat stimulus diperlukan. Langkah berikutnya adalah mengurangi pos pengeluaran. Pos yang mungkin dikurangi adalah subsidi. Pertanyaannya, apakah pemerintah berkeinginan melakukan tindakan yang tidak populis yang pada kenyataannya sering kali menguntungkan orang yang tidak seharusnya menikmati subsidi tersebut, seperti orang-orang kaya yang bermobil ataupun penyelundup minyak. Ketidakmampuan pemerintah menutupi defisit APBN, bila sampai menyebabkan default pada salah satu utangnya (apakah itu utang luar negeri ataupun obligasi rekapitalisasi), akan mempersulit pembiayaan anggaran untuk tahun-tahun yang akan datang. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo