Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUBUH lelaki itu tenggelam hingga sepinggang di lubang genangan air cokelat yang digalinya di tengah bekas bantaran sungai yang menghilir ke rawa-rawa. Sungai itu sudah tak jelas lagi arah alirannya. Daerah bekas badan sungai boyak oleh beberapa lubang yang menganga. Kedua tangannya sibuk mengayak sebuah kuali berisi butiran pasir, yang sesekali diangkatnya untuk melihat temuannya. Sejurus kemudian dia tersenyum. Beberapa butiran kuning berkilau di antara butiran pasir hitam di dasar kuali. Emas.
"Ini baru satu titik. Terapung pula, jadi masih ringan. Paling-paling Rp 3.000 saja kalau dijual," kata Rudi, lelaki itu. Dia sedang mendulang emas di daerah Satuan Pemukiman 2, tak jauh dari Desa Watu-watu, Kecamatan Lantari Jaya, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Satuan pemukiman adalah daerah-daerah yang semula disiapkan pemerintah untuk para transmigran.
Para pendulang seperti Rudi menilai emas dengan titik, kaca, dan gram. Satu gram setara dengan 10 kaca, dan satu kaca setara dengan 10 titik. Rudi harus mengumpulkan 100 titik untuk mendapat 1 gram emas. "Di sini satu kaca baru bisa didapat setelah menggali 10 lubang yang dalamnya sekitar 1 meter. Sehari paling untung saya dapat setengah gram emas," kata lelaki berusia 33 tahun itu pada Ahad, 20 Desember lalu.
Sederhananya cara mendulang emas di daerah itu-cukup dengan kuali dan pacul-telah memikat orang untuk menyerbunya. Rudi meninggalkan pekerjaannya sebagai pedagang ikan di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, setelah mendengar kabar temuan ladang emas besar di Bombana pada Mei 2008. Dia datang bersama ribuan warga dari berbagai daerah di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Bombana pun menjelma menjadi bonanza bagi para pendatang yang mencari nafkah sebagai penambang liar.
Para penambang liar itu sempat beberapa kali ditertibkan pemerintah dan aparat keamanan setempat, terutama yang merambah kawasan milik perusahaan pemegang kuasa pertambangan. Kini sebagian besar penambang itu terkonsentrasi di Desa Tahi Ite, Kecamatan Rarowatu. Mereka tinggal di ratusan tenda biru yang tersebar di lembah dan bukit. Kawasan itu mirip desa kecil, lengkap dengan toko, bengkel, warung makan, kafe, dan rumah pelacuran. Transaksi seks di sini bahkan dilakukan dengan emas. "Perempuan dapat dibeli dengan satu atau dua gram emas," kata Anto, bekas pedagang emas di daerah itu.
Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bombana memperkirakan sekitar 165 ribu ton deposit emas tersimpan di daerah itu. Dinas itu juga mencatat 81 ribu orang terdaftar sebagai pendulang emas di lahan seluas 500 hektare. Mereka bekerja di kedalaman 150-200 meter.
Para penambang ini menggali lubang di sekitar sungai. Penambang rakyat, yang cuma berbekal pacul, membuat lubang tikus, berupa sumur selebar 1x1 meter dan sedalam 20 meter, yang di dasarnya dibuat lagi lubang horizontal ke kiri dan kanan. Bila potensi emas dianggap habis, galian lama dibiarkan dan mereka membuat galian baru di tempat lain. Penggalian semacam ini jelas berbahaya. Tak kurang dari 23 orang meninggal karena tertimbun galian.
Para penambang besar yang menggali di daerah-daerah kuasa pertambangan, sekitar dua kilometer dari lokasi tambang Rudi, membuat lubang yang lebih besar. Lubang-lubang raksasa seluas separuh lapangan sepak bola dengan kedalaman 10-15 meter itu terbentuk oleh mesin penyedot lumpur. Mesin ini mengalirkan air ke karpet penangkap bijih emas, lalu membuang limbahnya ke sungai.
Saat ini ada 30 perusahaan yang mengantongi izin kuasa pertambangan di lahan seluas 68 ribu hektare. Izin dikeluarkan Bupati Bombana Atikurahman. Sebagian besar masih melakukan eksplorasi, tapi dua perusahaan, PT Panca Logam Makmur dan PT Tiram Indonesia, telah melakukan eksploitasi. Ketika Tempo melintasi kawasan milik Panca Logam Makmur pada pekan terakhir Desember lalu, tanah di daerah itu telah digali dengan traktor-traktor besar.
Penggalian besar-besaran ini membuat sungai rusak parah. Alur sungai pun kacau. Krisis air bersih dan kekeringan terjadi di sedikitnya dua kecamatan, Rarowatu Utara dan Lantari Jaya, karena beberapa daerah aliran sungai sengaja dibendung penambang untuk mencuci material tambang.
Praktek penambangan yang menggunakan merkuri atau air raksa untuk memisahkan emas dari unsur lain juga mengakibatkan sumber air tercemar. "Kami biasa memakai merkuri untuk memisahkan emasnya," kata Rudi. "Merkuri ini mudah didapat. Tanya saja sama pedagang emas atau toko dekat sini."
Tim peneliti Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo baru-baru ini menemukan pencemaran merkuri dengan kadar di ambang batas pada air dan sedimen di empat sungai sekitar pertambangan. Dari contoh air yang diambil pada Oktober-November lalu, mereka menemukan bahwa air di Bendungan Langkowala mengandung kadar merkuri paling tinggi, yakni 0,93 ppm (bagian per sejuta), jauh dari ambang batas 0,002 ppm yang ditetapkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Adapun kandungan merkuri tertinggi pada sedimen ditemukan di Kali Langkowala, yakni 0,05 ppm.
"Kami juga menemukan penurunan jumlah keanekaragaman plankton di lokasi tersebut, tapi ada peningkatan jumlah mikroalga. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi tersebut telah tercemar," kata Emiyarti, dosen yang menjadi ketua tim penelitian ini.
Logam berat seperti merkuri, kata Emiyarti, sangat berbahaya karena tak dapat dikeluarkan oleh tubuh makhluk hidup, tapi terus menumpuk dan akan turut terbawa bila dikonsumsi oleh makhluk lain. Orang yang mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi merkuri dapat menderita berbagai penyakit, seperti kanker darah, kanker kulit, kebutaan, keracunan, sampai meninggal dunia.
Emiyarti mengaku sudah mendengar beberapa kasus warga di dekat Sungai Langkowala yang mengidap penyakit dengan gejala awalnya seperti dampak merkuri. "Bahkan ada yang, maaf, kehilangan alat vitalnya. Mungkin alat vitalnya luka dan kemudian terkena air yang tercemar merkuri," katanya.
La Ode Mohammad Aslan, dekan fakultas tersebut, menilai pertambangan di sana sudah tak terkendali lagi. "Kami mengusulkan moratorium atau jeda pertambangan di provinsi ini," kata Aslan ketika memaparkan hasil penelitian kampusnya kepada DPRD Sulawesi Tenggara di Kendari, 22 Desember lalu.
Sekretaris Daerah Kabupaten Bombana Rustam Supendi meragukan hasil penelitian itu. "Peneliti tidak mengambil sampel secara keseluruhan di wilayah pertambangan. Wilayahnya luas, penelitian itu tak bisa hanya mengambil spot-spot begitu," kata Rustam lewat telepon pada Rabu pekan lalu.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Bombana Diding M. juga meragukannya karena penelitian dilakukan di musim kering dan hanya di sentra-sentra pertambangan. Dia juga mengaku belum menerima laporan adanya gejala pencemaran di sungai maupun di teluk.
Peningkatan perekonomian yang diimpikan Bombana dari pertambangan ternyata hanya pepesan kosong. Sekretaris Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bombana Hernawaty pernah menyampaikan kepada wartawan setempat bahwa pendapatan asli daerah yang berasal dari sektor pertambangan hingga September 2009 baru mencapai 1,5 persen atau Rp 923 juta dari Rp 62 miliar yang ditargetkan. Khusus hasil tambang emas baru mencapai Rp 522 juta. Padahal dana yang digunakan tim penertiban kawasan tambang mencapai Rp 3 miliar lebih.
Abady Makmur, anggota DPRD Bombana, heran dengan laporan pemerintah ini. Menurut dia, Bupati telah mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Bombana Nomor 10 Tahun 2008, yang mewajibkan setiap penambang lokal membayar Rp 300 ribu dan penambang luar Rp 500 ribu untuk penambangan selama 6 bulan. Selain itu, ada retribusi bulanan Rp 100 ribu untuk penambang lokal dan Rp 300 ribu untuk pendatang.
"Kalau 80 ribu penambang itu dari lokal saja, dalam setahun pemerintah seharusnya mendapat Rp 144 miliar," kata politikus Partai Serikat Indonesia itu.
Di atas kertas, kata Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Sulawesi Tenggara M. Hakku Wahab, tambang emas Bombana seharusnya menangguk penghasilan Rp 185 miliar pada 2008 untuk pendapatan negara bukan pajak. Tapi kini pemerintah, kata Hakku, malah harus menombok lagi untuk memulihkan lahan bekas penambangan liar.
Ketua DPRD Bombana Andhy Ardian juga menyesalkan kerugian yang begitu besar ini. Dewan, kata dia, akan segera membentuk panitia khusus setelah pelantikan pimpinan Dewan yang baru. "Panitia itu akan mengkaji dampaknya lebih dalam. Kalau ditemukan terlalu banyak kerugian, kami akan mengusulkan moratorium," katanya. Desakan untuk moratorium itu, kata Andhy, telah didukung 80 persen anggota Dewan.
Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara Sutan Harahap juga mendukung seruan moratorium itu. "Ada tiga hal yang perlu dilakukan kini, yakni moratorium, penegakan hukum, dan audit," katanya.
Moratorium, kata Sutan, berlaku untuk semua pertambangan. Selain penambangan emas di Bombana, provinsi itu menghadapi masalah penambangan nikel di Kabupaten Kolaka. Penambangan nikel itu telah mencemari perairan di pesisir pantai Kolaka. Menurut Sutan, Gubernur Nur Alam telah mengeluarkan surat edaran untuk meninjau ulang semua kuasa pertambangan. "Jadi, tidak ada lagi kata mundur dalam hal ini," katanya.
Rustam Supendi kurang setuju terhadap rencana moratorium itu. "Kalau ada kekurangan pada perusahaan-perusahaan itu, mari kita perbaiki, tapi bukan menghentikan penambangannya," katanya.
Kurniawan
Sungai di Bombana dengan Kandungan Merkuri
yang Melebihi Ambang Batas (ppm)
Lokasi sampel | Air | Sedimen | Baku Mutu |
Kali Langkowala | 0,073 | 0,05 | 0,002 |
Sungai Langkowala | 0,25 | 0,0424 | 0,002 |
Sungai Wumbu Bangka | 0,41 | 0,0359 | 0,002 |
Bendungan Langkowala | 0,93 | 0,0391 | 0,002 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo