Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADANG lumpur terbentang sepanjang pesisir pantai Desa Tambea, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Tak ada debur ombak dan pasir pantai lagi di sana pada akhir Desember lalu. Perahu-perahu nelayan teronggok di dekat dermaga kayu kecil yang tegak di atas lumpur kecokelatan.
Dulu sepanjang pesisir pantai itu menjadi lahan besar tambak teripang— bonanza warga desa—seperti halnya rumput laut dan ikan. Namun, setelah para pemilik pertambangan nikel membangun dermaga sendiri-sendiri di sepanjang pesisir pantai itu dan menumpuk barang tambangnya begitu saja, pantai pun tercemar dan teripang pun punah.
”Dulu sekali panen teripang bisa dapat Rp 40 juta per hektare. Panennya setiap enam bulan. Kini tak ada lagi teripang yang bisa hidup,” kata Bahar, nelayan yang menetap di desa itu sejak lahir.
Sekretaris Desa Tambea, H. Mursalin, mengakui bahwa lumpur tambang itu telah mencemari tambak teripang penduduk. ”Para pemancing tradisional juga terganggu. Kalau biasanya kami bisa dapat dua-tiga tusu, kini satu pun susah,” katanya. Satu tusu setara dengan 6-7 ekor ikan seukuran tiga jari.
Usman, warga Desa Tambea dan anggota Forum Swadaya Masyarakat Daerah, menyatakan bahwa mereka pernah mengukur endapan lumpur di Teluk Sopura yang dalamnya hingga 3 meter. ”Dampak lumpur itu terlihat nyata di tiga desa di pesisir ini, yakni Tambea, Hakatutobu, dan Toturo,” katanya.
Hasil penyelidikan tim Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kendari juga menyimpulkan telah terjadi limpasan lumpur yang berasal dari bekas penambangan yang mengeruhkan area budi daya teripang dan mematikan organisme budi daya laut. Akibatnya, kadar oksigen terlarut air laut menurun.
Menurut warga, perusahaan-perusahaan yang menambang atau mengapalkan barang tambang di sana hanya mengumbar janji sebagai kompensasi terhadap dampak kegiatan mereka. ”Tapi selama ini janjinya tak dipenuhi,” kata Bahar.
Kerusakan tambak teripang, kata Bahar, juga diganti seadanya. Perusahaan membayar ganti rugi sekitar Rp 35 juta untuk setiap satu hektare lahan tambak yang rusak. Menurut Bahar, lahan itu akan kembali menjadi milik warga bila nanti perusahaan itu berhenti beroperasi. ”Namun, untuk saat ini kami berharap warga dapat dipekerjakan, karena kegiatan tambak teripang sudah tidak bisa dilakukan,” katanya.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sulawesi Tenggara M. Hakku Wahab menyatakan bahwa kerugian dan dampak lingkungan dari pertambangan ini terjadi karena lemahnya pengawasan. ”Selayaknya di setiap lokasi kuasa pertambangan itu terdapat kantor pertambangan untuk mengawasinya,” kata dia.
Kuasa pertambangan itu pun sebenarnya belum layak untuk beroperasi di sana. ”Izin prinsip mereka tidak punya. Mereka cuma mengandalkan izin dari bupati,” kata Usman.
DPRD Kabupaten Kolaka pernah membentuk panitia khusus pada 2008 untuk menyelidiki perizinan pertambangan yang dimiliki sembilan kuasa pertambangan. Panitia khusus yang diketuai legislator Rustam Sabona itu menyimpulkan bahwa semua perusahaan itu bermasalah dalam perizinan.
Parmin Dasir, Ketua DPRD Kolaka, berjanji akan memperjuangkan nasib para nelayan di Kolaka yang menderita. ”Baik eksekutif, legislatif, maupun kuasa pertambangan harus duduk bersama untuk membahas masalah ini. Bila memang sesuai, mengapa tidak dikeluarkan peraturan daerah yang menetapkan daerah ini dapat apa dan dapat berapa, misalnya,” kata dia.
Pemerintah provinsi, kata Hakku Wahab, berencana menata kembali outlet pertambangan di Bombana, Kolaka, Kolaka Utara, dan Konawe. Outlet ini akan menjadi satu-satunya pintu keluar bagi ekspor hasil tambang, sehingga memudahkan pengawasan. ”Kalau setiap perusahaan membangun outlet sendiri dengan membangun dermaga ekspor masing-masing, bagaimana kami mengawasinya?” kata dia.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo