Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Bukan sekadar taman rekreasi

Taman safari indonesia (tsi) meskipun belum resmi dibuka, sudah ramai pengunjung. hewan liar hidup di alam bebas. penonton harus melihat dari kendaraan. sudah ada 350 ekor hewan dari 40 jenis. (ling)

28 Juni 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEROMBOLAN macan loreng itu rupanya tengah santai. Tiga ekor jenis Bengali tampak tiduran di bawah keteduhan pohon akasia. Sesekali mereka menggeliat atau menguap, memamerkan taringnya. Dengan wajah tak acuh, mereka memandang para pengunjung yang terlindung di balik kaca mobil, yang melintas pelan di depan tempat tinggal mereka. Lain halnya dengan jerapah. Binatang ini ternyata lebih berani mendekati manusia. Mereka menundukkan leher panjang mereka dan seperti mengintai wajah-wajah pengunjung di dalam mobil - yang memanfaatkan ini untuk menjepretkan kamera mereka. Begitu juga beruang. Binatang ini dengan kalem berlalu lalang di antara kendaraan pengunjung. Pemandangan seperti itu sejak dua bulan lalu bisa disaksikan di Taman Safari Indonesia (TSI) yang terletak di Cisarua, Bogor, sekitar 80 km dari Jakarta. Taman wisata ini terletak di kawasan berbukit-bukit yang berjarak 2,5 km dari jalan raya Bandung - Jakarta. Di sini, tak. seperti di kebun-kebun binatang, pengunjung bisa menyaksikan kehidupan satwa liar secara lebih alamiah, karena mereka tidak hidup dalam kerangkeng. Pengunjung bisa memakai mobil pribadi untuk mengunjungi TSI ini, atau memakai bis yang secara gratis disediakan. TSI memiliki beberapa jip untuk patroli, serta mobil derek untuk menarik mobil pengunjung yang mogok. Tempat wisata di lereng Gunung Pangrango ini terbagi menjadi dua blok: taman satwa seluas 30 hektar, dan taman hiburan, 25 hektar, yang dipisahkan dengan pagar kawat kukuh setinggi 4,5 meter. Kini kawasan itu dihuni sekitar 350 ekor hewan dari 40 jenis. Sebuah jalan, berkelok dan naik turun, membelah taman satwa ini. Di sini kelompok binatang masing-masing ditempatkan dalam suatu kapling. Untuk permukiman binatang buas, seperti harimau, singa, dan beruang, ada pagar kawat setinggi 4,5 meter yang memisahkan tiap-tiap Jenis. Suatu pmtu berlapis dua menghubungkan tiap-tiap kapling tadi. Pintu yang dapat dibuka tutup secara elektris itu dimaksudkan untuk mencegah hewan buas itu keluar dari kaplingnya. Para pengunjung, yang diharuskan tetap berada dalam kendaraannya, dapat memasuki setiap kapling melalui pintu yang dikontrol darl sebuah menara. Melihat kehidupan satwa liar di alam bebas, meski terbatas, rupanya merupakan daya tarik tersendiri. Meski TSI ini belum diremikan pembukaannya, hampir tiap hari ribuan pengunjung meramaikan tempat atraksi baru ini. Adalah Jansen Manangsang, 42, yang punya gagasan mendirikan TSI. Jansen, pimpinan grup sirkus Oriental, telah beberapa tahun merasakan usahanya terancam. Ia sulit memperoleh tanah lapang yang strategis di kota untuk menggelar tenda sirkusnya. "Kami hampir selalu memperoleh tempat yang jelek. Mana mau penonton datang?" ujarnya. Mulailah dia memikirkan membelokkan usahanya. Lalu ketemu. Ya, Taman Safari itu, seperti yang pernah dilihatnya di Malaysia, Jepang, Spanyol, dan Jerman. Maka, sekitar 1978, Jansen mulai berupaya memperoleh tanah. Syukur, gagasan itu memperoleh sambutan dari Pemda Jawa Barat. Diperolehlah 60 hektar tanah bekas kebun teh di Desa Cibeureum, Cisarua. "Sejak tahun 1946, kebun teh itu tidak terawat,' kata Bupati Bogor, Sudardjat Nataatmadja. Lalu didirikanlah PT Taman Safari Indonesia, yang kini menguasai tanah itu dalam status HGB. Jansen, yang juga pemilik Hotel Safari Garden, Cibulan, dekat Cisarua, mulai membangun tamannya pada 1981 . Para penghuni taman satwa itu tidak didatangkan langsung dari rimba raya. Sebagian besar dibeli dari suatu taman safari di Jerman Barat yang dikelola L. Ruhe KG Administration Zoologischer Garten (RAZG), termasuk beberapa ekor harimau Sumatera. Seekor gajah dibeli dengan harga Rp 20 juta lebih murah dibanding jerapah yang Rp 21 juta seekor. Badak putih Afrika harus ditebus Rp 26 juta seekor. Seliar hewan rimbakah satwa-satwa di TSI ini? Ternyata, tidak. Hewan-hewan itu, menurut Bernd Lindle, pawang ahli dari RAZG yang didatangkan di Cisarua, bahkan tak pernah mengenali komunitas aslinya. Mereka lahir dan besar di lingkungan buatan. "Sebagian besar mereka adalah generasi keenam yang lahir di taman satwa," tutur Bernd. Maka, mereka lebih mengenal peradaban manusia ketimbang komunitas aslinya. Mereka tetap berbahaya. "Binatang-binatang itu paham betul kelemahan manusia. Mereka tak segan-segan menyerang kita," kata Bernd. Pawang ini tak khawatir akan nasib hewan asuhannya yang mulai berdatangan sejak Februari lalu. "Cuaca di sini tak mengagetkan. Tak terlalu panas, juga tak terlalu dingin," ujarnya. TSI memang terletak sekitar 800 meter dari permukaan laut. Udara di sana cukup sejuk, rata-rata 24C di siang hari, dan 18"C di malam hari. TSI kini memiliki tiga ratusan karyawan, 115 di antaranya dari sirkus Oriental, yang sekarang menggelar tenda di taman hiburan di situ. "Setiap hari kami harus mempersiapkan dua ekor kerbau, ditambah rumput kering (hay), pelet, dan jagung, untuk makanan hewan," tutur Tony Sumampouw 39, pelatih dan pengawas bagian binatang di TSI. Dua ekor kerbau itu dikurbankan untuk menjadi santapan satwa liar TSI ini. Maklum, 15 ekor harimau dan 20 ekor singa penghuni TSI ini masing-masing memerlukan 5 dan 6 kg daging segar tiap hari. Tidak jelas berapa investasi yang ditanamkan untuk membangun TSI ini. Jansen dan Tony menolak mengungkapkannya. Namun, sebuah sumber menyebutkan, untuk mengimpor hewan-hewan itu saja diperlukan dana sekitar Rp 1,5 milyar. Menurut Jansen, untuk makanan hewan saja TSI harus mengeluarkan Rp 1 juta sampai Rp 2 juta sehari, "dan sampai sekarang biaya tersebut belum tertutupi" Dari harga karcis masuk yang Rp 2.500 per orang, yang Rp 1.500 direncanakan untuk biaya makanan hewan. Tampaknya, dlbangunnya taman hiburan, yang antara lain berisi kolam renang, komidi putar, air terjun, dan arena gokart, dimaksudkan untuk menambah atraksi dan penghasilan TSI Ini. Jansen tidak bisa memastikan kapan pembangunan TSI benar-benar tuntas. Tahap pertama, pembangunan taman safari dianggapnya sudah selesai. "Tinggal lagi menambah jumlah dan jenis binatangnya," katanya. Rencananya, TSI akan dihuni sekitar 650 ekor hewan, dengan perbandingan separuh-separuh antara hewan impor dan domestik. Tidak semua hewan akan ada di sana. Ular, misalnya, tidak akan dipelihara. Burung-burung juga hanya dipilih beberapa jenis. Jansen optimistis, dalam jangka lima tahun modal yang ditanamnya untuk membeli dan memelihara satwa ini bisa kembali. Ia menginginkan nantinya TSI bisa menjadi lebih dari sekadar tempat rekreasi, dan bisa menjadi semacam museum hidup. "Kami mengharapkan bisa mengembangbiakkan binatang-binatang yang terbilang langka. Bukan sesuatu yang tidak mungkin kalau suatu waktu nanti kita bisa mampu mereekspor binatang hasil pengembangbiakan TSI ini," kata Jansen. Ia memberi contoh. Taiwan, yang juga mempunyai taman safari, sudah mampu mengekspor binatangnya hanya dalam tempo 3-4 tahun. Pemda Kabupaten Bogor tampaknya cukup gembira dengan hadirnya taman safari terbesar di Asia Tenggara ini. "Tempat itu akan menjadi primadona obyek wisata Kabupaten Bogor," ujar seorang pejabat Pemda optimistis. Menurut taksirannya, TSI akan mampu menyumbang Rp 100 juta bagi ABPD melalui pungutan pajak tontonan. Toh pembangunan TSI ini juga membuat kesal banyak orang. Kabarnya, banyak masyarakat setempat yang kecewa karena tanah garapan mereka hilang. Kalangan pecinta lingkungan juga ada yang mempersoalkan karena kawasan TSI ini sebenarnya merupakan daerah hutan lindung. Keberatan mereka belakangan ini konon melunak karena ternyata yang dibangun secara fisik di TSI ini cuma sekitar 10 persen, yakni untuk taman hiburan. Sisanya dibiarkan tetap hijau, bahkan ditambah dengan banyak tanaman baru. Yang tampaknya akan lama membuat kesal: kemacetan lalu lintas di jalan raya Puncak yang makin menjadi-jadi sejak TSI ini dibuka. Jalan keluar, dengan membangun jalan tembus sepanjang 12 km sampai ke Gadog, mungkin memerlukan waktu lama. "Biayanya sangat besar. Kami belum siap untuk itu," kata Jansen. Putut Tri Husodo Laporan Biro Jakarta & Didi Sunardi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus