Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Golek yang semakin kece

Dalang asep sunandar sunarya, 31, mengotak-atik wayang golek sehingga bisa bergerak lebih terampil: bisa muntah, menengadah, kepala copot, dll. sempat muncul di tvri. pertunjukan goleknya laku keras. (ter)

28 Juni 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI era teknologi. Kesenian rakyat Sunda tak mau ketinggalan. Pergelaran wayang golek, selama ini, selain menyuguhkan kenikmatan cerita, juga gerakan sederhana dari boneka wayang tiga dimensi. Seperti wayang kulit, yang paling dominan adalah gerakan tangan boneka, untuk menandai siapa yang sedang bicara. Lalu paling-paling gerakan tubuh - yang kaku. Pergelaran seperti itu sudah "kuno", rupanya - dan itu pulalah yang konon menjadikan pementasan wayang golek semakin dijauhi golongan muda. Bahkan awal 1970-an, dalam pengamatan Dalang Asep Sunandar Sunarya, "merupakan awal kemandekan dunia wayang golek." Apalagi sudah ada televisi, layar tancep, kaset musik, Jaipongan. Adalah Asep, kini 31, yang mendalang sejak usia 17, yang gelisah dengan kemandekan ini. Atas izin ayahnya, yang punya reputasi tinggi sebagai dalang di tahun 1960-an, Abah Sunarya, Asep diperbolehkan mengotak-atik boneka-boneka wayang itu. Dan jadilah, wayang golek yang lain: tak cuma tangannya bisa digerakkan, tapi juga kepala. Bisa menengadah, bisa menunduk, bisa memutar. Bahkan pada tokoh-tokoh punakawan dan raksasa, golek rancangan Asep bisa lebih terampil: bergerak semua anggota badannya, misalnya menirukan seorang penari jaipongan. Dan itu dilakukan hanya dengan permainan tali di tangkai pegangan boneka itu. Belakangan, teknologi - dalam bahasa rakyatnya akal-akalan - masuk lagi. Dibuatlah boneka yang kepalanya bisa pecah, mulut yang bisa menganga - asyik, deh - lalu mengeluarkan air. Itu untuk menirukan orang muntah. Juga selang-selang kecil yang diisi cairan merah, yang kalau dipencet memuncratkan "darah". Akal-akalan seperti itulah yang membuat pertarungan Cepot, Dawala, dan Petruk melawan raksasa bisa lebih"serem". Jumat pekan lalu, warga kompleks Cenderawasih, yang dihuni keluarga AURI, di Cibeureum, Kabupaten Bandung, terpingkal-pingkal selama tiga jam (tidak terus-menerus, memang) menyaksikan keterampilan Acep Sunandar dengan golek-goleknya. Dalam pementasan yang pendek ini (seperti halnya wayang kulit, pergelaran wayang golek biasa semalam suntuk), cerita sudah tak penting lagi. Yang ditonton, itu tadi, perang konyol-konyolan. Seorang penonton bahkan bergumam sadistis, ketika seorang raksasa, sambil memegangi perutnya, minta ampun kepada Cepot. Dari mulut si raksasa itu keluar air dan mi. Bukan, bukan si raksasa suka jajan. Itu visualisasi bhunta yang muntah. Pergelaran yang lebih banyak penontonnya tentu saja ketika Asep muncul di TVRI dalam acara Cakrawala Budaya, pertengahan bulan lalu. Banyak yang tersentak - tak cuma mereka yang sudah akrab dengan kesenian Sunda - bahwa wayang golek bisa dimainkan selincah itu. Apalagi lewat layar televisi akal-akalan Kang Asep bisa diperjelas, di close up. "Sekarang pementasan saya diminati anak sekolah hingga pejabat tinggi. Ini membanggakan saya," kata Asep. "Dulu, masyarakat tak acuh." Banyolan Asep bisa kurang ajar. Tidak cuma geraknya. Dialognya pun mewakili ciri dalang muda. Umpatan seperti anjing sudah tidak lagi jadi makian kasar. Perbendaharaan kata-kata "baru", seperti memble, kece, IQ jongkok, masuk dan bersanding dengan lu, gua dan dialek-dialek Jakarta lain. Untuk lebih leluasa mengumbar kata-kata, maupun memunculkan adegan ngawur, separuh dari 30 cerita yang biasa dimainkan Asep adalah cerita yang melenceng dari pakem wayang purwa, alias carangan. Misalnya cerita yang diberi judul Cepot Detektif, kisah para Pandawa yang menghukum si tukang hasut Resi Durna. Ini tak akan bisa ditemui dalam kisah Mahabharata, yang standar, ya Apalagi judulnya. Untuk "penemuan" ini, Asep sudah mendapatkan hasil. Penanggapnya harus memesan jauh-jauh hari, karena tiada hari kosong tanpa pementasan. Ayah empat anak ini, yang cuma berpendidikan kelas satu SMP, bisa pula memasang tarif tinggi - antara Rp 800.000 dan Rp 1,5 juta, tergantung jarak si pemesan dari Bandung. Pola pentas Asep lalu diikuti dalang-dalang seangkatannya dan itu biasa, memang. Apalagi, cara baru mengangkat wayang golek di tengah banyak pilihan hiburan ini sudah mendapat pujian banyak orang. Juga di mata Atiek Supandi, pengamat kesenian Sunda, dosen ASTI Bandung. "Saya memuji kreativitas Asep. Itu jawaban bagi perkembangan masyarakat Indonesia sekarang, masyarakat industri yang punya norma-norma tersendiri," katanya. Alternatif yang disodorkan Asep dianggap resep mujarab untuk tetap hidupnya wayang golek. Tapi Tatang, juga dosen ASTI Bandung, melihat Asep tidak sedang memainkan wayang. "Lebih cocok disebut teater boneka," katanya. Karena, "simbol-simbol yang tertanam pada tiap karakter tokoh wayang tak tampil". Adiwijaya, 70, sesepuh dalang golek, tampaknya arif pula. Ia bisa melihat yang dikerjakan Asep adalah "kebutuhan masa kini, dan semangat seorang anak muda". "Tapi saya tak akan melakukan hal itu," kata orang tua yang sesekali masih mendalang ini. Bagi dia, "Wayang bukan cuma benda semata, tapi cerminan bayangan kita yang perlu kita baca. Memang, pada Asep unsur "berjelas-jelas" sangat menonjol, bagai tak ada yang disisakan. Seperti yang dikatakan seorang dalang terkemuka, biasanya seorang tokoh (wayang) yang mati remuk cukup dipaparkan lewat antawacana (narasi). Pada Asep: kepalanya lepas, sarung terkoyak, tangannya buntung. Wayang golek memang memungkinkan penggambaran itu. Tidak seperti wayang kulit. Sarung saja tidak punya. Putu Setia Laporan Didi Sunardi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus