Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AFRIKA Selatan di tubir perang saudara. Dan sementara itu segera negeri itu akan menjadi gelap bagi dunia luar. Awal pekan lalu Presiden P.W. Botha mengusir semua wartawan asing, dan melarang surat kabar setempat memberitakan segala kerusuhan dan penangkapan. Reaksi langsung muncul. Sowetan, surat kabar hitam, esok paginya terbit dengan pengumuman: "Semua diam pada 16 Juni silam. Dan bila sesuatu terjadi, kami dilarang memberitahukannya kepada Anda." Esok harinya lagi, tiga kolom halaman pertama surat kabar itu hanya putih kertas. Di sampingnya sebuah tulisan: "Soweto permukiman warga hitam terbesar." Ketakutan pemerintah Afrika Selatan memang beralasan. Senin 16 Juni adalah genap 10 tahun peristiwa berdarah di Soweto. Kerusuhan di kota yang didiami dua juta warga hitam waktu itu melenyapkan setidaknya 600 nyawa, sebagian besar kulit hitam, dan di antaranya anak-anak sekolah. Tentu, tonggak perjuangan ini tak akan dilewatkan begitu saja pada peringatan 10 tahunnya. Dan karena itu, pagi-pagi, 12 Juni, Botha telah mengumumkan keadaan darurat buat seluruh negeri. Lalu terjadilah ini: ratusan warga negara, baik hitam maupun putih, mendengar ketukan pada pintu rumahnya. Begitu pintu dibuka, segera tentara atau polisi menangkap dan membawa pergi mereka. Paling sedikit seribu pemimpin mahasiswa, pemimpin gereja, para aktivis antiapartheid ditahan. Kemudian, polisi berpakaian sipil menggeledah kantor mingguan liberal Weekly Mail. Semua bahan berita disita. Toh, antisipasi yang tak simpatik itu tak membuat Afrika Selatan diam. Hingga Rabu pekan lalu paling sedikit 41 jiwa melayang dalam berbagai kerusuhan. Pernyataan resmi pemerintah mengatakan, sebagian besar terbunuh akibat bentrokan antarwarga hitam sendiri - hal yang sulit dipercaya. Ini mengingatkan 10 tahun lalu, menjelang meletusnya peristiwa berdarah itu. Desmond Tutu, seorang pendeta Gereja Anglikan, mengirim surat kepada Perdana Menteri Afrika Selatan, waktu itu dijabat oleh John Voster. Yakni tentang keadaan rawan yang sewaktu-waktu bisa meledak jadi kerusuhan besar di Soweto. Tak ada tanggapan. Huru-hara pun berkobar, dimulai ketika polisi menembak mati seorang remaja 13 tahun bernama Hector Peterson. Kali ini, beberapa saat setelah pengumuman keadaan darurat, Tutu yang sama, yang kini telah menjadi pemimpin Gereja Anglikan Afrika Selatan. berusaha menemui Presiden Botha. Diterima. Mereka berbicara sekitar 1 1/2 jam. Tutu, demikian kemudian diberitakan, mengatakan kepada Presiden bahwa keadaan darurat itu tak akan menolong. Dan pemimpin 13 juta umat Kristen Afrika Selatan itu benar. Desmond Mpilo Tutu barangkali merupakan gambaran yang mewakili semangat perjuangan warga hitam. Orang ini, yang mengaku tak punya ambisi politik, tampil ke depan di luar maunya sendiri. Ketika Nelson Mandela, pemimpin perjuang kaum hitam Afrika Selatan, ditangkap hampir 25 tahun lalu, nyaris pemimpin perjuangan yang berkharisma nasional di negeri itu tak lagi ada. Lalu muncullah Tutu pada pertengahan 1970-an. Segera, ia yang dalam khotbah-khotbahnya mengecam pemerintahan apartheid itu menjadi tumpuan harapan. Tapi sikapnya yang memilih damai tak membuatnya cepat disukai semua orang. Pendeta ini bukanlah tipe pemimpin yang apriori, yang menarik garis tegas antara kawan dan lawan. Ia, oleh banyak pengamat politik internasional, disebut sebagai orang yang persuasif. Mungkin ini sebabnya ia tak ditangkap dan disimpan di balik jeruji. Dan itu pula agaknya yang menjadikan Desmond Tutu memperoleh Nobel perdamaian, 1984. Tapi setahun lalu sikapnya berubah. Tutu kini pun menganut garis keras. "Kita yang mengacung-acungkan perdamaian menjadi tak relevan," katanya suatu saat. "Kita berbicara tentang perdamaian, mereka (pemerintah) menjawab dengan peluru karet, peluru sungguhan, gas air mata, anjing pelacak, penangkapan, pemenjaraan, dan pembunuhan." Bila sebelumnya di bawah Gereja Anglikan di Afrika Selatan berlindung pula orang-orang kulit putih, perubahan sikap Tutu menyebabkan banyak kaum putih keluar dari rumah ibadat ini. Kemudian makin sering Kepala Gereja Anglikan Afrika Selatan ini menerima ancaman telepon. Dalam hal satu ini, gaya Tutu tetap seperti dulu: mendengarkan dengan sabar semua caci maki dan ancaman itu, kemudian ia memberkahi si penelepon, sebelum memutuskan hubungan. Bila selama ini ia luput dari tindak kekerasan, tak demikian dengan keluarganya. Istrinya pernah disiksa. Putrinya pernah dicederai dengan gas air mata. Dan putranya pernah dipenjarakan. Orang yang sehari-harinya tampak kalem ini, ternyata, menyimpan pula keliatan dalam dirinya: baik fisik maupun sikap mentalnya. Dan bila ia berubah dalam sikap perjuangannya, betapapun, Tutu bukanlah Yesus itu sendiri. Di balik kaca jendela mobil Toyota merahnya, yang sering dipacunya di jalur cepat, simfoni Beethoven atau irama jazz Afrika membuatnya tenang pada hari-harinya yang sibuk. Dan untuk mempertahankan kesegaran jasmani dan rohaninya, untuk melawan kekecewaan yang tentu dihadapinya, tiap pagi, pukul 04.30, Tutu melakukan jogging. Sebuah laporan tentang profil Tutu ditulis oleh Peter Godwin dalam The Sunday Times Magazine nomor akhir bulan lalu. Ketika lapis tengah kebijaksanaan politik golongan hitam kian menjadi tak jelas, Tutu tampil sebagai pemimpin hitam yang leluasa geraknya, yang mendapat respek dari golongan hitam radikal. Peranannya sebagai orang yang 'moderat', tak ayal, kian bertambah sukar. Dan bila ia beranjak dari kotak moderat, ini bisa dipahami. "Sejumlah orang," katanya mengeluh, "menganggap perdamaian pilihan yang empuk, bagai menambal retak dengan sepotong kertas. Padahal, pengertian injili tentang rekonsiliasi adalah melihat fakta di wajah, dan itu memerlukan pengorbanan: Tuhan saja harus mengorbankan anaknya untuk itu." Berbagai pengalaman memang telah menggiring Tutu untuk bersikap lebih tegas. Umpamanya, dalam salah satu insiden dramatis tahun lalu, pada sebuah acara pemakaman, ia terpaksa melompat ke tengah gerombolan yang sedang mengamuk untuk menyelamatkan seorang - yang diduga sebagai informan - dari tindakan main hakim sendiri. Ia saksikan betapa massa yang marah, frustrasi, bisa dengan gampang melakukan tindakan membabi buta. Pada peristiwa yang lain ia tak berhasil mencegah massa. Dan seorang gadis dibakar hidup-hidup di depan lensa kamera televisi. "Jika kalian melakukan lagi tindakan seperti ini," Tutu dengan geram mengancam gerombolan yang sedang murka, "akan sulit bagiku untuk terus memperjuangkan pembebasan yang ingin kita desakkan. Aku akan memboyong keluargaku dan meninggalkan negeri yang kucintai ini." Semua itu mendorong Tutu selalu merenungkan kembali sikap dan peranannya di Afrika Selatan. Pada akhir tahun silam, Tutu seperti mencampakkan hadiah Nobel perdamaian yang diterimanya pada 1984. Ia menunjukkan tanda-tanda kian yakinnya pada tak terelakkannya kekerasan sebagai satu-satunya katalisator perubahan di Afrika Selatan. Berbicara pada sidang darurat Dewan Gereja Sedunia, ia berkata kepada rekan-rekannya bahwa jin apartheidlah yang membuat tindakan kekerasan sah adanya. "Orang Kristen secara individual," menurut pandangannya, "sudah waktunya mengambil keputusan untuk merontokkan sistem laknat itu dengan kekerasan." Setahun lalu Tutu masih menentang cara perlawanan terhadap sistem apartheid dengan kekerasan. "Aku menentang semua bentuk kekerasan," katanya waktu itu, "termasuk bila tindakan itu guna meruntuhkan sistem apartheid sekalipun". Tetapi kemudian kejengkelannya meningkat. Tindakan pemerintah Afrika Selatan yang makin ganas terhadap para penentang politik apartheid, memutar sikap pendeta ini, setidaknya lebih dari 90 derajat, kalau tak 180 derajat. Meningkatnya sikap keras pemerintah bisa dilihat dari jatuhnya korban. Misalnya, selama 21 bulan terakhir ini lebih dari 1.700 orang telah menemukan ajalnya dalam bentrokan hitam-putih. Dan modus penjagalan acap kali melalui penganiayaan. Dan kadang-kadang, kaum radikal hitam sendiri sering salah sasaran. Rekan-rekan hitamnya sendiri, yang dicurigai berkomplot dengan pemerintah putih, atau menjadi informan, juga menjadi sasaran pembantaian. Mereka, yang juga disebut kaum vilantes, mulai suka memakai cara baru: mengalungkan ban bekas. Setelah dikalungkan di leher calon korban, ban kemudian dibasahi dengan bensin, lalu disulut api. Kematian yang mengerikan. Golongan ekstrem ini memang hanya terdiri dari segelintir orang hitam. Tapi bila seorang pendeta bisa berubah sikapnya, siapa tahu golongan ini akan membesar karena makin banyak orang yang putus asa di bawah rezim yang biadab. Mereka yang menyesal karena telah salah menghakimi saudara seperjuangan sendiri, masuk akal bila jadi lebih beringas. Dan tampaknya politik adu domba pun dijalankan oleh Botha. Bagi Desmond Tutu - yang pada hari pemberlakuan peraturan darurat baru tiba dari perlawatannya ke Amerika dan Eropa - ketenteraman tak mungkin dipaksakan, apalagi dengan diundangkannya keadaan darurat. Menteri Ketertiban Louis le Grange, tuduh Tutu, memang sengaja membuat provokasi agar orang hitam melanggar larangan. "Melarang orang paling tertindas agar tidak memperingati peristiwa penindasan, suatu tindakan menusuk perasaan dan sangat provokatif," ujarnya. "Mereka (orang kulit putih) menginjak-injak martabat kita sebagai manusia, dan membenamkan muka kita ke dalam lumpur." Sedangkan konperensi uskup Katolik Afrika Selatan menyebut larangan peringatan Soweto Berdarah sebagai "resep penciptaan huruhara." Selain memperketat pembatasan pemberitaan pers, bahkan, kabel-kabel telepon yang menghubungkan tempat-tempat permukiman golongan hitam - di kota-kota Johannesburg, Cape Town, Durban, Kimberly, dan Port Elizabeth - dipotong. Para wartawan dilarang masuk ke perkampungan mereka, dalam upaya memberangus berita kerusuhan dan berita tindakan pembungkaman pemerintah terhadap gerakan antiapartheid. Padahal, Sidang Umum PBB sendiri, November 1985, menyetujui resolusi yang menyerukan diadakannya peringatan tahunan, tiap 16 Juni. Tanggal itu disepakati sebagai Hari Solidaritas Internasional bagi perjuangan bangsa Afrika Selatan, diresmikan dengan nama Soweto Day. Resolusi PBB mendapat sambutan luas, terutama di negara-negara demokrasi di Amerika dan Eropa. Di New York, misalnya, lebih dari 140 ribu orang turun ke jalan, 16 Juni lalu, mendesak agar Ronald Reagan segera menjatuhkan sanksi ekonomi kepada rezim Pretoria. Lebih dari 100 ribu demonstran unjuk rasa di Paris. Perdana menteri Inggris Margaret Thatcher, pertengahan Juni, dikabarkan sedang bersiap menjatuhkan sanksi terbatas kepada Afrika Selatan. Tapi pemungutan suara di parlemen Inggris menggugurkan niat Thatcher. Dan kata Thatcher kemudian, sanksi terhadap Afrika Selatan tentunya harus dijaga agar tak berakibat buruk terhadap perekonomian negara itu. Dan, juga jangan sampai merugikan modal Inggris sebesar US$ 18 juta yang ditanam di negeri apartheid itu. Israel pun, yang selama ini dipandang sebagai sahabat Afrika Selatan, mengecam keras tindakan rezim Pretoria. Tetapi Perdana Menteri Shimon Peres menolak menjatuhkan sanksi ekonomi. Soalnya, itu akan mengancam kepentingan sebagian besar masyarakat Yahudi di sana. Masyarakat hitam Afrika Selatan sendiri urung mengadakan rapat-rapat umum peringatan Hari Soweto. Ini karena peraturan darurat tersebut. Mereka hanya dapat memperingatinya dengan menyelenggarakan kebaktian di dalam atau di halaman gereja. Toh masih mendapat gangguan pasukan keamanan rezim apartheid. Misalnya, ketika Uskup Agung Desmond Tutu memimpin misa terbuka di halaman gereja di Evation, selatan Johannesburg, 16 Juni. Sebelum Tutu berbicara, sepasukan serdadu Afrika Selatan yang bersenjata lengkap melompati pagar. Untung, mereka cuma mengawasi acara kebaktian, lalu pergi tanpa suatu insiden. Desmond Mpilo Tutu lahir di Rand barat, 1932. Ibunya dari suku Motswana bekerja sebagai babu cuci. Sedangkan ayahnya, dari suku Xhosa, seorang uru sekolah. Berlainannya asal kesukuan orantua menimbulkan soal bagi para birokrat yang hanya tahu mengangkat angguk kepada sistem kependudukan berdasarkan kesukuan yang diterapkan paham apartheid. Dalam paspornya, yang berulang kali dicabut sebagai hukuman kepada ketajaman kritiknya, pada kolom kebangsaan tertulis "sekarang tidak ada". Inilah "cara penyelesaian masalah" model apartheid, komentar Tutu. Tutu tampaknya menghayati benar kemiskinan bangsanya. Ia selalu terkenang pada teman-teman sekolah kulit hitamnya, yang diam-diam menyelinap ke halaman main anak-anak sekolah kulit putih untuk mengorek-ngorek tong sampah, mencari sisa makanan yang dibuang. Maka ia, dengan mudah, di sekolah menengah atas di Johannesburg, terpengaruh seorang pendeta kulit putih, Trevor Huddleston, tokoh utama pada tahun-tahun awal perjuangan antiapartheid di Afrika Selatan. Huddleston kini menjadi uskup dan presiden Gerakan Antiapartheid (Inggris). Adalah nasib tampaknya, yang mengubah cita-citanya, hingga ia kini muncul di barisan depan perjuangan warga hitam Afrika Selatan. Tutu sebenarnya diterima masuk pada fakultas kedokteran Universitas Witwaterstand, tapi karena tak ada biaya ia melepaskan kesempatan bagus itu. Ia lalu melanjutkan ke Bantu Normal College, yang semua mahasiswanya kulit hitam, di Pretoria. Untuk menambah uang saku, ia menjadi tukang pungut bola di padang golf kulit putih setempat. Tapi ia mengaku selalu tak berhasil menemukan bola yang hilang. Setelah lulus empat tahun kemudian, Tutu mengajar di sebuah sekolah menengah. Di situlah ia bertemu dan kemudian menikahi Leah, seorang rekan guru di situ. Ketika pemerintah memberlakukan Akta Pendidikan Bantu, pada 1957, ia memilih berhenti. Ia menolak mengajar di bawah sistem baru yang sengaja dirancang agar kaum hitam tidak mencapai taraf yang umum berlaku bagi golongan kulit putih. Dengan cara baru itu murid hitam diarahkan agar hanya menjadi buruh kasar. Pada usia 25, Tutu bergabung dengan Gereja. Setelah mengikuti sekolah tinggi teologia di Johannesburg, ia pergi ke Inggris dan di sana Tutu memperdalam soal-soal ketuhanan pada King's College, London. Ia praktek mengajar selama setahun di Bletchingley, London Selatan, sebelum kembali untuk mengajarkan teologi di Afrika Selatan dan Lesotho. Tiga tahun kemudian, ia kembali ke London bersama istri dan keempat anaknya, bekerja di Dewan Gereja Dunia. Pada 1975, Tutu menjadi pemimpin gereja (dean) hitam pertama di Johannesburg. Dari sini, melalui masa keuskupan yang singkat di Lisotho, ia menempati posisi yang panas: selaku sekretaris jenderal Dewan Gereja Afrika Selatan, juru bicara resmi bagi 13 juta umat Kristen negeri itu. Ini adalah penugasan yang kontroversial, dan ia segera menggunakan Dewan sebagai papan luncur rentetan kecaman pedas terhadap apartheid. Maka, kegusaran pemerintah kepadanya mulai tumpah. Dan pada 1981, sebuah komisi dibentuk untuk menyidik segala sesuatu yang terjadi di sekitar Dewan. Tapi, sebaliknya, dengan lancar, Tutu menyerang komisi, yang terdiri dari orang kulit putih melulu. Kini, lima tahun kemudian, serangannya itu rasanya masih relevan sekaligus masih terasa ketajamannya: "Adakah di antara mereka atau keluarganya menjadi bagian dari tiga setengah juta orang hitam yang tercabut sampai ke akar-akarnya di bawah rencana penggusuran penduduk secara paksa? Adakah mereka hidup di kamp-kamp permukiman yang bertebaran dan tercabik-cabik? Adakah istri mereka pernah ditangkap dan diganggu? Pernahkah mereka dipaksa duduk di bawah siraman hujan musim dingin yang membekukan? Pernahkah tempat tinggal mereka dimusnahkan pada pukul dua tengah malam? Pernahkah mereka terpaksa menempati rumah di kompleks pelacuran pernahkah mereka harus membayar uang sekolah untuk pendidikan yang cuma bermaksud menghinakan harkat manusia? Apakah yang mereka ketahui tentang kelaparan di tanah air sendiri sebagai suatu pengalaman langsung? Apa sajakah yang mereka ketahui tentang tindakan pencegatan di tengah jalan menuju tempat kerja dan kemudian dilemparkan ke mobil kerangkeng polisi karena surat pas yang kaupegang tidak memenuhi selera para petugas? "Pernahkah mereka berada dalam sel-satu-orang atau ditahan tanpa peradilan? Pernahkah mereka dilarang ini-itu tanpa tahu sebab-sebabnya? Atau, punyakah seorang saja di antara yang mereka sayangi menanggungkan salah satu dari penghinaan ini?" Dalam nada suara yang terjaga iramanya - dari nada berat yang menekan sampai pekik kemarahan - Tutu menyerang para pengecamnya. Ia memperingatkan bahwa mereka "menghadapi gereja Tuhan". Bahwa para tiran nasibnya telah ditentukan sebelum mereka pernah mencoba menghancurkan gereja - Nero, Amin, Hitler, Bokassa. "Di mana mereka sekarang? Mereka telah tersungkur ke dalam lumpur yang menjijikkan. Aku kembali memperingatkan pemerintah Afrika Selatan - mereka bukan tuhan, mereka cuma makhluk hidup yang hanya akan meninggalkan tanda pada halaman sejarah, sebagian dari puing runtuhan, sebagian dari pecahan sisa-sisa kapal yang tenggelam. Aku tidak takut kepada mereka." Komisi menyimpulkan bahwa Gereja Anglikan Afrika Selatan lebih revolusioner ketimbang evolusioner. Lebih bersifat politik daripada keagamaan. Tutu dituding memihak dan diilhami oleh Kongres Nasional Afrika (ANC), organisasi antiapartheid yang dibentuk pada 1961, yang kemudian dinyatakan terlarang. Tutu malah berterus terang. Ia setuju dengan tujuan ANC: demokrasi nonrasial di Afrika Selatan. Perdamaian, katanya, tidak dapat dilaksanakan bila rasialisme tetap di jalankan. Tutu sebegitu jauh berusaha agar tidak dipenjarakan oleh penguasa Afrika Selatan. Ia memang tak pernah bergabung dengan suatu organisasi politik. Ia pun tak secara langsung menganjur-anjurkan kekerasan. Dan, sosok internasionalnya cukup menyukarkan penguasa setempat untuk bertindak sembarangan kepadanya. Ketika ia menerima hadiah Nobel perdamaian pada 1984, setelah masuk nominasi dua kali, pemerintah tak dapat menyembunyikan kegusarannya. Sementara Tutu menerima penghargaan itu atas nama "seluruh rakyat yang setiap hari hidungnya dibenamkan ke dalam lumpur", dan orang-orang hitam bersorak dalam sukacita, pemerintah diam seribu bahasa, bersembunyi di balik ungkapan "no comment". Sedangkan pers Afrikaans mengecam dengan keras dan mengatakan Alfred Nobel bisa berontak di dalam kuburnya. Poll diadakan untuk menunjukkan bahwa tiga perempat orang kulit putih Afrika Selatan yakin ia tak berhak mendapat hadiah tersebut. Dr. Beyers Naude, pendeta Afrikaner yang tak sepaham dengan Tutu, dan yang menggantikan Tutu sebagai kepala gereja-gereja Afrika Selatan, punya kritik tajam. Bishop Tutu, katanya, mengancam pemerintah karena ia sendiri terancam oleh "kepandaiannya berbicara dan rasa yakin diri". Bagi Naude, pemenang hadiah Nobel ini "tak lebih dari kaffir (Negro Afrika Selatan) bermuka tebal. Ia menujukan ancamannya kepada konsep dasar tentang ras, yang pada kenyataannya, berdasar konsep tersebut telah dibangun seluruh kerangka kehidupan dan ideologi." Bagi kebanyakan orang putih, Tutu adalah contoh utama dari spesies manusia berbahaya: 'pendeta yang berpolitik'. Ia telah menciptakan musuh-musuhnya bahkan di kalangan para uskup konservatif dalam gerejanya sendiri. Ia membangkitkan pekik kemarahan ketika berkhotbah di Kathedral St. Paul di London. Ia menyatakan bahwa sebagian besar orang hitam Afrika Selatan mungkin saja dapat menerima orang Rusia sebagai pembebasnya. Tapi belakangan ia menjelaskan, "Aku membenci komunisme dengan setiap jaringan dalam tubuhku, seperti, aku yakin, orang hitam lainnya - tapi bila kalian sedang berada dalam kamar tahanan bawah tanah dan tiba-tiba ada tangan yang terjulur menarik kalian keluar, kalian tak akan bertanya-tanya dulu asal usul si pembebas." Meski banyak di antara para pengikutnya di Johannesburg menghormatinya, seperti yang ia sebut sendiri, ada saja yang menyimpan rasa tak senang, dan menyebut pendeta ini "sebagai gergasi yang menakutkan". Memang, meski beberapa ancaman maut telah diterimanya dari kaum ekstremis kulit putih, Tutu selalu lebih suka berbicara dalam term multirasialisme. Secara tak terelakkan ia dituduh telah "berkhianat", karena mengadakan pertemuan dengan presiden Afrika Selatan, Pieter Botha. "Aku memandangnya sebagai paradigma keinjilan," Tutu menjelaskan. "Pergi dan temui Firaun, walaupun hatinya sekeras batu." Tutu sendiri dengan tegas menolak pendekatan sepotong-sepotong dari pemerintah. Misalnya soal "mengubah apartheid". Itu cara yang tidak bermoral, katanya, yang tidak mampu mengadakan perubahan. Yang dia inginkan membuang, bukan mengubah. Belakangan Tutu muncul, untuk pertama kali, dengan seruan agar dijatuhkan sanksi ekonomi terhadap Afrika Selatan. Itu tampaknya seperti seruan memberlakukan sabotase ekonomi yang berbau tindak kejahatan. Toh sebegitu jauh ia tidak ditindak penguasa. Dan memang, seruan itu sendiri masih tinggal seruan: AS, Inggris, misalnya masih punya banyak pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi itu. Desmond Tutu sering dibandingkan dengan Martin Luther King dalam perjuangannya bagi hak-hak golongan hitam. Tapi kedua mereka punya perbedaan. Gaya pidato Tutu menerkam langsung dan menggigit, berbeda dengan gaya pidato King yang menggelinding. Akan halnya situasi yang mereka hadapi, sudah jelas sangat berlainan. King terbantu hukum yang memihaknya, dan mendapat sejumlah simpati dari golongan kulit putih. Tutu tidak. King pasifis. Tutu, mengaku sendiri, tidak. Seorang pasifis, Tutu menjelaskan, mencanangkan tidak pernah membenarkan pembunuhan. "Aku menerima bahwa mungkin suatu keadaan bisa membenarkan pembunuhan." Naisme, katanya, salah satu keadaan yang membuat dia menerima pembunuhan sebagai bukan kejahatan. Yang lain, tentu saja, politik apartheid itulah. Bila seorang pendeta, seorang yang mula-mula berbicara secara persuasif, telah mengeluarkan kata-kata keras, apalagi yang bisa diharapkan terjadi di Afrika Selatan? Negeri dengan 24 juta warga hitam, tapi diperintah oleh lima juta warga putih, ini memang sedang berada di tubir jurang. Sebuah perang saudara, agaknya, siap berkobar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo