Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KADO ulang tahun ke-50 Bacharuddin Jusuf Habibie, Rabu pekan ini, sangat istimewa: Pameran Dirgantara Indonesia. Ia punya kebanggaan tersendiri karena saat itu ia boleh memamerkan hasil jerih payahnya kepada dunia, yang dimulainya 12 tahun lalu. Saat itu ia dipanggil khusus oleh Presiden Soeharto. "Di sanalah saya pertama kali mendengar perkataan 'tinggal landas' diluar konteks pesawat terbang," kata Habibie. Ia ternyata mendapat kepercayaan untuk "mewujudkan gagasan-gagasan Pak Harto di bidang teknologi canggih, yang nantinya diharapkan bisa mengangkat derajat bangsa. " Kepada Jim Supangkat, Ahmed K Soeriawidjaja, dan James R. Lapian dari TEMPO Habibie mengungkapkan pemikiran-pemikirannya. Petikannya. Mengapa Bapak mengambil Teknologi Dirgantara? Ada dua alasan. Pertama, karena saya punya latar belakang dunia kedirgantaraan. Adapun hal berikutnya adalah hal yang tak mungkin lagi diperdebatkan: kalau kita bisa membuat pesawat terbang, tentunya kita bisa membuat lainnya. Soalnya, kecanggihan teknologi dirgantara jauh melebihi teknologi lainnya. Dunia memberikan indikator kemampuan satu bangsa dengan menilai apakah bangsa tersebut memiliki industri pesawat terbang atau tidak. Kalau dia mempunyainya, maka bangsa tersebut dianggap mampu menyedot dan mengembangkan teknologi lainnya. Ada pendapat bahwa keberhasilan industri pesawat terbang juga dilihat dari keberhasilan menjual produknya. Tidak betul. Jangan bandingkan misalnya dengan Boeing - yang telah memasarkan ribuan pesawat - dengan kita. Perusahaan itu telah berkiprah selama 80 tahun, seiring dengan sejarah dunia kedirgantaraan. Adapun IPTN baru sepuluh tahun. Kendati begitu, ia telah berani duduk satu meja dengan nama-nama itu dalam mendesain pesawat. Apa itu bukan satu prestasi? Kalau saja masih ada orang yang mempersoalkan, berarti dia nggak ngerti persoalannya. Sejauh ini bagaimana pemasaran hasil-hasil IPTN? Selama ini kami berupaya menguasai pasaran dalam negeri dulu. Namun, kami tidak menutup pengembangan ke luar negeri. Strategi itu kami jalankan sekaligus. Sebab, bagaimana saya mau menjual pesawat ke luar negeri, misalnya ke Malaysian Airline System, kalau mereka tanya sudah berapa pesawat yang Anda jual di negara Anda sendiri, sementara saya hanya bisa menjawab: tidak satu pun. Berarti kalau kita membuat suatu teknologi, kita harus bisa memasarkannya. Karena pasar itu merupakan motor penggerak transformasi teknologi tadi. Dengan demikian, adalah wajar jika pasar domestik Indonesia menjadi penggerak transformasi teknologi yang canggih itu. Manakala saya selalu mengatakan bahwa pasaran domestik adalah pasaran saya, itu adalah reaksi normal dari seorang wiraswastawan industrialis. Dan, rasanya, tidak ada persoalan lagi. Karena, bukankah bangsa Indonesia telah sepakat menerimanya? Bagaimana menghitung keuntungan dari adanya industri pesawat di sini? Dalam hal ekonomi, sebagai satu bangsa, sampai saat ini kita masih berpikir dalam dua dimensi: hasil ekspor migas. Berikutnya adalah hasil ekspor nonmigas tradisional, seperti kelapa sawit, kopra, tembakau, kayu lapis, dan tekstil. Untungnya, kita masih bisa bertahan di atas ombak migas dan nonmigas tradisional itu. Dengan perkataan lain, skenario ekonomi kita selalu bergerak di antara kedua dimensi tadi. Padahal, belakangan ini, kita menghadapi kenyataan pahit. Komoditi migas anjlok harganya. Sementara itu, nilai rupiah semakin turun dibandingkan dengan mata uang dolar. Adapun komoditi nonmigas tradisional susah dipasarkan: banyak proteksi di sana sini dan harga pun ditentukan. Karena itu, saya menawarkan dimensi ketiga, yang akan mendobrak cara berpikir kita: teknologi tinggi. Ia tidak seperti minyak yang sudah merupakan anugerah Tuhan yang tidak mungkin diperbarui lagi. Atau, seperti komoditi nonmigas tradisional yang sangat tergantung musim dan tekanan pihak luar. Nah, kalau kita mengekspor satu Tetuko dengan harga US$ 6 juta, berapa ekuivalen kelapa sawit yang harus diekspor untuk bisa setara dengan harga jual pesawat itu. Berapa pula ekuivalen kayu atau blue jeans. Karena dia merupakan produk teknologi tinggi, maka harganya akan selalu mengikuti perkembangan teknologi tinggi tersebut. Sudah terbukti bahwa, selama masa resesi, industri yang tetap bertahan adalah industri teknologi tinggi. Kalau begitu, bagaimana peranan industri berteknologi tinggi itu dalam masa lima tahun ini? Akankah dia menggeser sektor migas? Kurun lima tahun ini, perekonomian kita masih akan dikuasai oleh sektor migas. Seperti kata Menteri Pertambangan & Energi Subroto, dalam jangka tiga tahun mendatang, harga minyak akan kembali mendekati US$ 20 per barel. Saya percaya itu! Namun, untuk sepuluh tahun lagi, saya yakin, industri teknologi tinggi di sini (IPTN dan PAL) sudah bisa menyumbang sedikitnya sebesar sumbangan yang diberikan oleh sektor nonmigas tradisional. Namun, jangan pula heran jika pada abad mendatang, tahun 2006, 2016, industri teknologi tinggi kita sudah bisa mencakup 60-70 persen dari pendapatan ekspor Indonesia. Tunggu saja. Dalam hal ini saya optimistis. Berilah bangsa ini maksimal 40 tahun untuk membuktikannya. Mengapa 40 tahun? Bagaimana pula hita memperhitungkan risiko selama masa tersebut? Jepang, dari masa Meiji hingga mencapai tahap industri, membutuhkan waktu satu abad. Indonesia bisa mempercepat proses tersebut. Mengapa? Karena Indonesia ditunjang oleh keadaan infrastruktur. Pada masa Jepang itu mereka mengalami hambatan dalam kecepatan arus informasi dari pusat teknologi. Sedangkan pada saat ini hambatan tersebut hampir tidak ada. Karena itu, kita bisa mempercepat proses tadi 40 sampai 50 persen. Kalau kita memakai titik awal 1976 (yaitu dengan diresmikannya IPTN), jika proses itu akan memakan waktu 50 tahun, maka kita akan sampai pada tahun 2026. Itu berarti 40 tahun dari saat ini. Dengan rasio dan pengalaman, saya perkirakan, masa tersebut bisa tercapai. Bahkan menurut beberapa kalangan industrialis kepada saya, mereka malah memperkirakan masa itu akan tiba pada tahun 2006. Namun, saya tidak gegabah. Lebih baik saya mengatakan kepada rakyat tahun 2026. Sehingga, bila kita bisa mencapainya lebih awal dari saat itu, merupakan prestasi. Adakah keinginan untuk mengembangkan industri berteknologi tinggi itu, seperti IPTN, sebagai industri persenjataan? Menghadapi ancaman, suatu bangsa selalu akan menengok persenjataan yang dimilikinya. Kalau kita membuat persenjataan karena adanya ancaman itu, maka makin tinggi ancaman tadi makin banyak yang akan saya keluarkan untuk persenjataan tadi. Namun, kalau saya tidak menghasilkan persenjataan, dikhawatirkan, orang nantinya akan menyelundupkannya ke sini. Akibatnya, revolusi di sana sini dan tidak ada stabilitas. Maka, tersedialah tiga alternatif pengembangan. Jika kondisi pasar cukup besar di sini, maka kita akan membuat dan mengembangkan persenjataan sendiri. Namun, jika pasar tidak begitu besar, maka saya akan memilih alternatif membuatnya di bawah lisensi. Inilah yang sekarang saya lakukan dengan torpedo, uguided missile, senapan otomatis ringan. Tetapi, kalau pasarnya lebih kecil, saya juga sudah menyiapkan satu alternatif. Misalnya, untuk kebutuhan pesawat tempur. Pesawat yang diperlukan cuma delapan F-16. Paling banyak 12 pesawat. Untuk itu saya tidak akan membuatnya di bawah lisensi. Namun, saya akan mengatakan kepada pembuat pesawat tadi, dan saya juga akan menggunakan pengaruh saya kepada pemerintah, agar hanya meladeni mereka yang mau menawarkan offset kepada saya. Artinya, kalau saya membeli delapan pesawat tadi dengan suku cadang dan macam-macam lainnya, maka nilainya US$ 300 juta. Namun, sekarang, dengan dimensi ketiga tadi, saya menginginkan agar penjualnya mau membeli produk-produk atau memakai jasa IPTN. Misalnya saja, mereka akan memesan sayap tengah dari IPTN. Inilah yang disebut sebagai offset tadi. Saya cuma menginginkan maksimal 50 persen saja dari keseluruhan nilai jual itu. Maka, jangan heran nantinya kalau Presiden tidak jadi memilih F-16.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo