Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah danau di Virginia Beach, Amerika Serikat, perahu kecil itu beraksi. Bernama lambung Diponegoro Boat Jangkarbumi, ia lepas jangkar dari dermaga, lalu meliuk-liuk menyusuri lintasan yang ditandai 13 pelampung merah dan hijau, sambil sesekali menghindari pelampung kuning. Dalam 15 menit, dia mencapai ujung danau, yang berjarak dua ratusan meter dan kembali lewat jalur yang sama. Penonton di tepian memberi tepuk tangan meriah. Semua manuver dilakukan tanpa campur tangan manusia.
Misi singkat itu membawa Jangkarbumi, buatan sepuluh mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang, ke posisi terhormat dalam Kompetisi Robot Air yang diselenggarakan Asosiasi Sistem Kendaraan tanpa Awak Internasional atau AUVSI pada pertengahan bulan lalu. Mengungguli 15 peserta dari berbagai universitas ternama Amerika Serikat dan Taiwan. "Terus terang, kami tidak mengira bakal menang," kata Ahlan Zulfakhri, 22 tahun, ketua tim, kepada Tempo pekan lalu.
Maklum, ini pertama kalinya mereka membuat robot air, yang tingkat kesulitannya lebih tinggi ketimbang robot darat. Di air, menurut Ahlan, robot beroperasi di media yang tidak solid. "Sehingga harus punya kontrol dan keseimbangan yang lebih sempurna," ujarnya. Itu belum terhitung kerumitan lain, seperti menjaga perangkat elektronik tetap kering agar tidak korslet.
Ahlan cs membuat Jangkarbumi setelah membaca undangan terbuka kompetisi AUVSI di Internet, April lalu. Mengejar tenggat, mereka menghabiskan hampir saban malam selama satu setengah bulan di laboratorium kampus di Tembalang, Semarang bagian selatan.
Bagian awal yang mereka kerjakan adalah lambung berbahan serat kaca, yang menelan biaya terbesar, Rp 2,5 juta. Bentuknya perahu gandeng berukuran 85 x 50 sentimeter. Ada ruang khusus untuk menampung cipratan air agar air tidak menggenang di geladak dan membasahi komponen elektronik. Baling-balingnya digerakkan motor, seperti yang digunakan mobil-mobilan remote control. Satu kamera sirkuit dekat dan dua kamera sensor jadi "mata" robot. Ini dilengkapi magnetometer atau sensor gravitasi sebagai indra penyeimbang bagi kapal, thermal array untuk mendeteksi panas, dan global positioning system guna mengetahui posisi lintang dan bujur. Semua terhubung dengan "otak", yaitu laptop Toshiba 14 inci dengan prosesor Intel Core 2 Duo.
Tidak semua komponen menggunakan alat canggih. Penghubung motor dan baling-baling memakai tali kawat yang diambil dari speedometer Honda Megapro, pelindung laptop diambil dari kotak perkakas, dan pendingin mesin dari kipas angin bekas. Total biayanya Rp 15 juta, berasal dari saweran bersepuluh. "Di luar laptop, yang kami pinjam dari teman," kata Ahlan.
Jangkarbumi menggunakan prinsip autonomous alias otomatis penuh. Robot mampu berpikir dan bertindak, tanpa masukan dari luar. Mata robot menangkap sensor, misalnya citra pelampung berwarna kuning, lalu mengirim data ke otak. Sesuai dengan algoritma dalam program, komputer pinjaman itu memutuskan tindakan: wajib menghindari pelampung. Maka otak mengirim data ke kemudi dan baling-baling untuk menjauhi obyek terlarang itu.
"Melihat robot beraksi, sangat mengasyikkan," ujar Ahlan. Dari komputer yang tersambung dengan kamera, bisa disaksikan apa yang "dilihat" si robot. Ada juga pengendali jarak jauh, sebagai antisipasi jika ada gangguan dalam sistem autonomous. Namun peranti ini diharamkan selama kompetisi.
Meski mereka pede setelah sukses menguji coba Jangkarbumi di kolam renang dekat kampus, optimisme para mahasiswa pupus terbentur biaya. Demi perjalanan lebih dari 16 ribu kilometer itu, mereka pontang-panting mencari dana. Berbagai perusahaan yang diminta jadi sponsor tak menjawab. Universitas mengucurkan Rp 10 juta. Jumlah yang sama mereka terima dari Fakultas Teknik. Jika ditambah fasilitas pengembangan robot, jumlahnya jadi Rp 22,5 juta. "Masih jauh dari cukup," kata Ahlan.
Akhirnya diputuskan hanya lima orang yang berangkat. Total biaya perjalanan Rp 90 juta, dengan tombokan dana keluarga. Demi menghemat uang, selama lima hari di Virginia, mereka empet-empetan di satu kamar di Hotel Founders Inn, sepelemparan batu dari arena lomba. Makanannya mi instan, dibawa dari Tanah Air, diselingi biskuit.
Level pede mereka merosot setelah melihat pesaing. "Robot-robot lain lebih besar, canggih, dan desainnya bagus," kata Tri Bagus Susilo, 23 tahun.
Tengok saja pesaing dari Georgia Tech Aerospace Systems Lab, yang mengandalkan kapal berbobot 17,5 kilogram, dilengkapi sensor tiga dimensi. Jangkarbumi tercatat sebagai peserta paling ringan dengan berat 13 kilogram. Panitia pun memandang sebelah mata. Ada yang ragu kapal itu bisa berlayar sendiri. Ada yang mewanti-wanti kepada panitia agar tak memberi kesempatan penggantian jika kapal rusak. Bahkan, Bagus melanjutkan, banyak yang khawatir kapal itu tenggelam.
Debut Jangkarbumi tak mulus. Kameranya bermasalah: beberapa kali membentur pelampung dan melenceng dari jalur. Bagus, yang paling paham program, mengotak-atik algoritma pada komputer kapal. Hasilnya, si mungil bisa menyelesaikan misi dengan baik.
Karena keburu minder, kelima mahasiswa itu ngeluyur meninggalkan lokasi sebelum babak penyisihan usai. Mereka tergoda tawaran traktiran makan di restoran Cina dari seorang alumnus Universitas Diponegoro yang tinggal di sana. Kelar makan, mereka berleyeh-leyeh di penginapan. Pada saat yang sama, panitia menyatakan Jangkarbumi lolos ke final.
Pengumuman yang disebar dari pengeras suara sampai Twitter tak sampai ke delegasi Indonesia. Mereka kena diskualifikasi jika Bagus tidak jalan-jalan ke arena lomba setelah kekenyangan melahap nasi goreng. Pontang-panting, dia memboyong teman-temannya, juga si robot. Karena mereka telat, panitia tak memberi cukup waktu untuk menyiapkan ini-itu. Masa sepuluh menit hanya untuk mengisi baterai laptop. "Waktu itu lagi habis total," ujarnya. Baterai 22 volt, yang jadi penggerak kapal, juga program di laptop, tak tersentuh. Ujungnya ngenes, Jangkarbumi mogok setelah melewati dua—dari total 13—check point.
Mereka menempati urutan keenam, di bawah kampus elite Amerika Serikat, seperti Universitas Rhode Island, Central Florida, dan Virginia Tech. Wakil dari Semarang ini berhak atas hadiah US$ 500, sekitar Rp 4,2 juta. Plus hadiah tambahan bernilai sama karena dianggap memiliki desain paling inovatif dan biaya produksi paling ekonomis.
Meski tekor, mereka ogah kapok. Dengan persiapan lebih matang, juga tak mengulangi kesalahan konyol di final, Ahlan yakin bisa jadi juara di kompetisi yang sama tahun depan. Alasannya, robot-robot lawan sudah berkali-kali tampil, dengan unit yang sama dan makin dipercanggih. "Undip baru ikut saja sudah bisa dapat posisi lumayan," katanya. Jangkarbumi disiapkan untuk menyelesaikan misi tambahan: mengambil bola di bibir danau, memadamkan api, dan memencet tombol untuk mematikan air mancur. Di kompetisi lalu, misi ini tak terpenuhi, bahkan oleh robot jawara bikinan Universitas Rhode Island.
Menurut Direktur Pengembangan Yayasan AUVSI Wendy Siminski, kompetisi tahunan sejak 2007 itu bertujuan meningkatkan minat mahasiswa mengembangkan perahu tanpa awak. Teknologi ini masih seumur jagung. Situs Popular Mechanics menyebutkan Israel jadi negara pertama yang mengembangkannya dengan meluncurkan Protector USV (singkatan dari Unmanned Surface Vehicle) enam tahun lalu. Robot ini dibuat setelah serangan teroris ke kapal perang Amerika Serikat, USS Cole, di Yaman pada 2000. Sebagai pengintai, kapal dengan panjang 9 meter dan kecepatan 50 knot atau sekitar 92,6 kilometer per jam ini unggul karena siap diterjunkan ke medan paling gawat, tapi tidak membahayakan personel.
Meski berukuran miniatur, kata Ahlan, "Jangkarbumi menggunakan prinsip kerja yang mirip."
Reza M., Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo