Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Korea Selatan bakal mengurangi subsidi untuk pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) dan PLTU.
Ekspor pelet kayu Indonesia akan terdampak karena Korea Selatan konsumen kedua terbesar.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengklaim energi biomassa menjadi salah satu pilihan utama pemerintah.
KABAR tentang Korea Selatan yang mengumumkan bakal mengurangi subsidi untuk pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) pada tahun depan membuat Anggi Putra Prayoga sedikit lega. Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) tersebut menilai kebijakan itu akan memberi harapan bagi hutan alam di Indonesia tidak lagi dibabat untuk memproduksi biomassa pelet kayu yang menggantikan batu bara. Korea Selatan adalah importir terbesar pelet kayu Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Karena selama ini perusakan hutan alam dilakukan atas nama transisi energi untuk melayani permintaan biomassa domestik ataupun global,” kata Anggi pada Senin, 23 Desember 2024. Selain untuk bahan bakar PLTBm, biomassa menjadi co-firing batu bara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Co-firing batu bara dengan biomassa diklaim dapat mengurangi emisi gas rumah kaca PLTU sehingga bisa disetarakan dengan pembangkit energi terbarukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Industri co-firing biomassa ini mulai gencar dibangun lima tahun belakangan oleh negara-negara yang selama ini menggantungkan energi dari PLTU. Tujuannya adalah transisi energi untuk mengurangi pelepasan emisi karbon dioksida (CO2) sesuai dengan Perjanjian Paris 2015. Di Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) merintis bauran energi dari pelet kayu sejak 2018 dan diklaim berhasil menekan emisi sebesar 1,05 juta ton setara CO2 (CO2e) pada 2023.
Realitasnya tak demikian, kata Anggi, pembakaran kayu yang dibuat untuk memutar sudu turbin justru telah melenyapkan bentangan hutan. Sedikitnya terdapat 1,9 juta hektare hutan alam digunduli hanya dalam kurun dua tahun, dari 2021 hingga 2023. Pohon-pohon hutan ditumbangkan, dihancurkan menjadi serbuk, lalu diubah menjadi pelet. Adapun hamparan bekas hutan yang gundul ditanami dengan pohon monokultur, seperti kaliandra dan akasia.
Adapun Korea Selatan selama ini disebut berkontribusi membabat hutan karena menjadi salah satu di antara negara importir kayu pelet Indonesia terbesar setelah Jepang. Laporan FWI mencatat nilai ekspor kayu pelet ke dua negara itu mencapai US$ 13,4 juta atau setara dengan 102,2 juta ton pelet kayu pada periode 2023-2024. Pasokan ekspor itu berasal dari delapan korporasi yang beroperasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Gorontalo.
Laporan Solutions for Our Climate—organisasi nirlaba untuk perubahan iklim berbasis di Korea Selatan—mencatat kayu pelet dari Asia Tenggara dipasok ke pembangkit-pembangkit listrik negara mereka. Besarannya mencapai 71 persen dari kebutuhan nasional pada 2030, yang mayoritas berasal dari Indonesia dan Vietnam. Realitas ini mendorong ide pemerintah Korea Selatan menghentikan pembakaran kayu melalui pengurangan subsidi yang berlaku pada 2025.
Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi (MOTIE) Korea Selatan sebelumnya mengumumkan pengurangan subsidi untuk biomassa ini pada 18 Desember 2024. Langkah tersebut merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mengurangi ketergantungan biomassa, apalagi melihat dampaknya terhadap lingkungan. “Karena berbagai masalah telah muncul seiring dengan perluasan pasar biomassa,” demikian pernyataan MOTIE dalam keterangannya.
Salah satu masalah yang dipersoalkan adalah meroketnya harga sertifikat energi terbarukan (REC)—dokumen yang membuktikan bahwa tenaga listrik yang dihasilkan berasal dari pembangkit terbarukan. Menurut mereka, peningkatan itu menimbulkan persaingan antara kebutuhan bahan baku untuk pembangkit dan daur ulang. “Sementara itu, kritik mengenai deforestasi dan emisi karbon yang disebabkan oleh pembangkit listrik biomassa terus meningkat.”
Anggi mengapresiasi kebijakan Korea Selatan yang berupaya meninggalkan industri pembakaran kayu. Namun dia mewanti-wanti bahwa Indonesia masih berpotensi menjual pelet kayu ke Jepang dan negara lain yang masih mengandalkan PLTBm. Tak hanya itu, pelet kayu juga dibutuhkan di pasar dalam negeri karena pemerintah mencanangkan membangun PLTBm dan akan memberi subsidi biomassa.
“Parahnya, dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, disebutkan pemerintah justru akan membangun PLTBm di pulau-pulau kecil,” ucap Anggi. Proyek PLTBm ini dibangun untuk mengurangi emisi dengan cara menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel. Target pemerintah, bauran energi biomassa akan menyumbang 3,62 persen atau 16,13 gigawatt-jam dari rancangan transisi energi bersih pada 2030.
Pekerja menyortir cacahan limbah kayu bahan bakar biomassa di salah satu pabrik di Kota Serang, Banten, untuk selanjutnya dijual ke beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Uap, di Provinsi Banten, Oktober 2024. ANTARA/Angga Budhiyanto
Rencana pembangunan PLTBm juga masuk ke dalam draf perombakan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2024-2040 yang sedang digodok Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Di dalamnya mengatur penerapan teknologi co-firing PLTU dengan campuran bahan bakar kayu, amonia atau gas, ataupun nuklir melalui retrofitting PLTU. “Pilihan retrofitting agar umur teknis dan ekonomis PLTU batu bara dapat diperpanjang,” demikian tulisan dalam dokumen rancangan yang diperoleh Tempo.
Usulan ini merujuk pada potensi biomassa di Indonesia yang mencapai 53,4 gigawatt dari 57 gigawatt potensi energi terbarukan secara nasional. Rencananya, 54 persen PLTBm dibangun di Riau dan Sumatera Selatan. Sedangkan sisanya akan dibangun tersebar di Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. Syarat co-firing nantinya hanya menyisakan 10 persen emisi pada PLTU sesuai dengan target net zero emission pemerintah.
Cita-cita tersebut dinilai bakal memperparah kerusakan lingkungan, terutama akibat deforestasi untuk kebutuhan bahan bakar biomassa. Direktur Eksekutif FWI Mufti Fathul Barri menyebutkan pemerintah terus mendorong co-firing PLTU sebagai rencana transisi energi. “Padahal itu adalah sebuah kesalahan besar karena tidak mau melihat dampak yang ditimbulkan dan praktiknya tak dimonitor dan dievaluasi dalam upaya pengurangan emisi.”
Program Manager Trend Asia Amalya Reza Oktaviani menyebutkan selama ini terjadi dampak kerusakan lingkungan yang nyata di Gorontalo. Provinsi seluas 50 ribu hektare di Pulau Sulawesi tersebut menjadi wilayah terbesar pembangunan hutan tanaman energi untuk pelet kayu. “Salah satunya yang dilakukan oleh PT Biomasa Jaya Abadi yang telah mengekspor 267,11 ribu ton pelet kayu ke Jepang dan Korea Selatan pada 2020-2024,” ujar Amalya.
PT Biomasa Jaya Abadi disebut mengancam Bentangan Alam Popayato-Paguat, yang merupakan area konservasi tinggi. Bentangan Alam Popayato-Paguat, yang terletak di Kabupaten Pohuwato dan Boalemo, memiliki luas 354.237,78 hektare. Di sana juga terdapat habitat berbagai spesies endemis, seperti tarsius, anoa, dan rangkong. Konsesi perusahaan berada di wilayah rawan bencana dan wilayah perlindungan air, yang akan memperparah risiko banjir serta kekeringan.
Warga menunjukkan cacahan limbah kayu pantai untuk pembuatan bahan bakar biomassa di Desa Meureubo, Kecamatan Meureubo, Aceh, untuk selanjutnya dijual ke perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Nagan Raya, Agustus 2024. ANTARA/Syifa Yulinnas
Direktur Operasional PT Biomasa Jaya Abadi Burhanuddin pernah menjelaskan bahwa perusahaannya memiliki konsesi dan beroperasi secara sah. Dia membenarkan ihwal ekspor yang dikirim ke Jepang dan Korea Selatan karena telah mengantongi dokumen V-Legal atau sertifikasi kayu berkelanjutan. “Hutan tanaman energi merupakan bisnis masa depan. Nanti semua bahan baku pelet kayu dipasok dari tanaman gamal,” demikian pernyataan Burhanuddin seperti yang dipublikasikan Tempo pada 8 September 2024.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Wiluyo Kusdwiharto menceritakan pihaknya menyokong rencana pemerintah untuk mempercepat implementasi energi biomassa. Dia mengatakan saat ini pemerintah sedang mensinkronisasi pelbagai regulasi, terutama yang berkaitan dengan harga. “Hal ini lumayan menghambat kami, para pengembang biomassa, dalam memanfaatkan biomassa,” ucapnya pada 4 Oktober 2024.
Pria yang juga menjabat Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan PT PLN (Persero) itu menyebutkan pemerintah sudah memiliki potensi PLTBm berkapasitas 313 megawatt. Sebarannya ada di Deli Serdang, Ujung Batu, Pasir Mandoge, Arung Dalam, dan Sandai dengan kapasitas 27 megawatt. Nantinya ditingkatkan menjadi 1 gigawatt di masa mendatang.
Kementerian ESDM juga mengklaim energi biomassa justru menjadi salah satu pilihan utama pemerintah. Rencana co-firing biomassa secara bertahap bakal diberlakukan di 113 unit PLTU milik PLN yang tersebar di 52 lokasi. Sumber biomassa nanti adalah serbuk gergaji, pelet kayu, serpihan kayu, dan limbah sawit sehingga semua PLTU akan dipensiunkan pada 2050 dengan proses transisi menjadi energi terbarukan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo