Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Perubahan Iklim Memicu Paradoks di Sektor Properti

Peneliti tata kota mengkaji dampak perubahan iklim terhadap properti di wilayah pantai utara Jawa yang rawan bencana.

2 Januari 2025 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana di Desa Wonorejo, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, yang terdampak banjir sejak 10 hari lalu akibat jebolnya tanggul Sungai Wulan, Februari 2024. ANTARA/Aji Styawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hasil riset menunjukkan dampak perubahan iklim memicu penurunan harga rumah di wilayah rentan bencana.

  • Penurunan harga properti di wilayah rentan bencana justru mendorong tumbuhnya permukiman masyarakat berpenghasilan rendah.

  • Kebijakan penataan pasar properti sangat penting dalam upaya adaptasi perubahan iklim.

PESISIR pantai utara Jawa alias pantura, rumah bagi lebih dari 50 juta orang, merupakan salah satu kawasan yang mengalami dampak perubahan iklim. Mayoritas penduduknya menghuni rumah yang kurang layak, bahkan masuk kategori kumuh. Sehari-hari mereka menghadapi banjir rob, krisis air bersih, dan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski tak sedikit warga pantura yang berpindah, bahkan bedol desa, studi terbaru kami yang terbit di International Journal of Disaster Risk Reduction menunjukkan bahwa banjir di pesisir telah memicu geliat pasar perumahan baru yang terus berkembang di daerah rawan banjir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasar ini terbentuk akibat penurunan sekitar 3 persen harga rumah di kawasan pantura, khususnya di Pekalongan, Jawa Tengah. Tren ini mengundang masyarakat berpenghasilan rendah untuk membeli rumah, kemudian tinggal di daerah berisiko.

Kondisi rumah yang ditinggalkan pemiliknya akibat abrasi air laut yang mengikis garis pantai, di Simonet, Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Januari 2021. ANTARA/Harviyan Perdana Putra

Geliat Pasar Rumah di Tengah Banjir

Analisis kami menemukan bahwa salah satu pasar properti baru yang berada di daerah rawan banjir terus bertumbuh sekitar 1,2 persen per tahun.

Dalam studi ini, kami menggunakan data penjualan 1.029 unit rumah pada 2015-2020 dan 1,9 juta data pajak rumah atau surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) dalam kurun waktu 1993-2020 di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.

Daerah ini—terletak di daerah pinggir utara Pekalongan—termasuk kawasan kumuh karena jarak antar-rumah yang berimpitan dan ukuran bangunan yang kecil serta cenderung seragam. Kawasan kumuh juga terlihat dari kapasitas listrik kebanyakan rumah di daerah tersebut, yakni 450-900 volt-ampere (VA).

Perubahan kepemilikan rumah, berdasarkan analisis kami atas data bea atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (BPHTB), ditandai oleh pergantian nama pemilik. Dari data itu, kami menyimpulkan bahwa rumah yang mereka tempati adalah rumah yang dijual oleh pemilik sebelumnya.

Adapun para penjual ini merupakan penduduk setempat yang telah tinggal lebih dari 30 tahun kemudian berpindah ke tempat yang lebih aman dari banjir. Kepergian mereka, sebagaimana kami temukan dalam penelitian berbeda, berhubungan dengan bencana pesisir.

Perpindahan ini kemudian menarik para pembeli—mayoritas merupakan pendatang yang sebelumnya tinggal di daerah pinggiran.

Studi lain kami mencatat, selama 2014-2017, harga rumah di daerah ini pernah naik hingga 12,4 persen. Namun, pada periode 2018-2020, harga properti di daerah rawan banjir terus menurun sebesar 2,4-3 persen.

Perpindahan rumah akibat bencana pesisir. (Foto disediakan S. Sariffuddin via The Conversation)

Bertumbuh Lebih Cepat dari Banjir

Kami mengelaborasi pemodelan genangan banjir pesisir yang sebelumnya dilakukan oleh lembaga kemanusiaan MercyCorps pada 2001. Kami memperkuat analisis data dengan memantau daerah genangan air di pesisir menggunakan citra satelit Sentinel 1 yang kami olah menggunakan Google Earth Engine.

Selanjutnya, kami membandingkan perubahan luasan pasar rumah di daerah berisiko dengan perubahan luasan genangan banjir pesisir. Kami mendapatkan luasan pasar properti melalui analisis kluster ruang. Sementara itu, luasan banjir kami ukur berdasarkan zona genangan air permukaan menggunakan sistem informasi geografis (GIS).

Dari data 2015-2020 dan analisis spasial tersebut, kami melihat pertumbuhan pasar properti lebih cepat dibanding zona genangan air permukaan. Ini mengindikasikan bahwa pasar properti di daerah banjir yang dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah telah meluas bahkan melebihi area genangan banjir yang cenderung tetap.

Karena keterbatasan ekonomi, pembeli rumah di kawasan ini tidak mampu merenovasi rumah serta memperbaiki lingkungan untuk beradaptasi dengan banjir dan penurunan muka tanah.

Walhasil, selain bertumbuh, pasar properti telah bertransformasi dari rumah layak huni menjadi rumah kumuh. Karena terus-menerus dilanda banjir, kualitas lingkungan perumahan ini kian menurun.

Selain itu, pasar ini ikut berkontribusi terhadap peningkatan kerentanan pesisir karena terus bertumbuh di daerah berisiko terkena dampak banjir.

Rumah Rawan Bencana, tapi Menguntungkan

Temuan kami mengindikasikan adanya tindakan spekulatif yang dilakukan masyarakat berpenghasilan rendah untuk membeli rumah di daerah rawan banjir tapi aman karena lokasi pilihan mereka jauh dari pantai.

Literatur global menjelaskan fenomena ini sebagai “disinvestasi” yang kemudian mempengaruhi dinamika perubahan dan penurunan lingkungan perumahan.

Dinamika pertumbuhan pasar properti di daerah banjir. (Foto disediakan S. Sariffuddin via The Conversation)

Aksi masyarakat berpenghasilan rendah untuk membeli rumah di daerah rawan tapi aman ini merupakan akibat logis terhadap skema pasar terkait dengan daya beli penduduk di permukiman tersebut. Di satu sisi kebutuhan akan hunian murah sangat tinggi, tapi di sisi lain mereka tak sanggup membeli hunian layak karena keterbatasan ekonomi.

Meskipun harus rutin menghadapi banjir, penghuni permukiman ini juga tetap mendapat sejumlah manfaat turunan. Sebab, daerah pesisir merupakan lokasi berkumpulnya fasilitas perkotaan, seperti sekolah, rumah sakit, dan pusat belanja yang mendukung pemenuhan kebutuhan warga.

Tak hanya di Indonesia, fenomena ini juga terjadi di Mumbai, India. Di sana masyarakat berupaya menghuni rumah di kawasan kumuh yang rentan banjir—bahkan sampai memaksa penghuni aslinya untuk berpindah.

Upaya Adaptasi Bencana via Pasar Properti

Studi kami makin memperkuat gagasan bahwa kebijakan penataan pasar properti dalam upaya adaptasi perubahan iklim sangatlah penting. Tak hanya di daerah pesisir, penataan pasar perumahan juga semestinya berlaku di dataran tinggi yang rawan bencana banjir bandang dan tanah longsor.

Pada umumnya, keputusan membeli rumah setiap keluarga didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Mereka ingin mendapatkan manfaat sebesar-besarnya di balik keterbatasan finansial rumah tangga. Pemerintah dapat memanfaatkan pertimbangan untuk melibatkan para calon pembeli sebelum membuat keputusan.

Pemerintah bisa melihat gagasan yang disampaikan oleh Tatiana Filatova, akademikus dari University of Twente. Dia menyarankan pemerintah menambahkan komponen adaptasi terhadap bencana, contohnya risiko biaya perawatan rumah terkena dampak banjir.

Strategi ini membuat masyarakat dapat melihat risiko biaya yang akan timbul dari perolehan rumah yang sekilas terlihat murah.

Dengan perubahan harga, para calon pembeli akan berpikir rasional untuk memutuskan apakah akan tinggal di daerah rawan bencana dengan adanya beban biaya tambahan akibat bencana di masa depan. Tentunya alokasi atas kebencanaan ini tidak bisa disepelekan jumlahnya.

Ini merupakan sinyal agar para calon pembeli berpikir lebih rasional berdasarkan faktor-faktor ekonomi sebelum berinvestasi di lokasi berisiko.

Upaya menambahkan komponen harga dapat kita terapkan dengan berbagai cara. Salah satunya kewajiban membeli asuransi rumah bagi calon pembeli di zona rawan banjir.

Bangunan rumah yang ditinggalkan pemiliknya akibat abrasi di Simonet, Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Januari 2021. ANTARA/Harviyan Perdana Putra

Upaya lain bisa dilakukan melalui pemberlakuan disinsentif, seperti pembatasan pembangunan infrastruktur yang berpotensi mengundang para calon pembeli.

Instrumen pasar itu bisa menjadi pelengkap aturan negara untuk mengendalikan perkembangan rumah di daerah rawan bencana. Sebab, aturan itu terkadang terkunci baik oleh administrasi, politik, ataupun tumpang-tindih kebijakan.

Sebaliknya, pemerintah bisa memberikan insentif pembangunan rumah di daerah aman. Dalam hal ini, program subsidi perumahan bisa menjadi opsi yang baik agar masyarakat berpenghasilan rendah bisa mengakses rumah murah di daerah aman.

Upaya mengatur pasar properti meningkatkan perencanaan tata ruang lebih luas dalam menyikapi perubahan iklim. Harapannya, pengaturan ini tak hanya menjadi instrumen mitigasi bencana, tapi juga langkah adaptasi terhadap perubahan iklim yang efektif.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.

S. Sariffuddin

S. Sariffuddin

S. Sariffuddin adalah asisten profesor dan staf pengajar di Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro. Saat ini dia sedang studi S3 bidang real estate dan pembangunan lahan di Nijmegen School of Management, Universitas Radboud, Belanda.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus