Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Climate Policy Initiative (CPI), Tiza Mafira, memastikan proyek energi terbarukan berskala komunitas juga layak mendapatkan pendanaan seperti proyek berskala besar. Saat ini para investor cenderung berpikir proyek energi selalu berisiko tinggi. Prinsip investasi high risks high returns kemudian membuat proyek jumbo lebih dilirik daripada proyek bentukan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Perlu ada diversifikasi agar proyek besar maupun proyek kecil mampu mengakses pendanaan,” katanya kepada Tempo, Senin, 4 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu proyek potensial yang disinggung Tiza adalah panel surya alias solar PV. Teknologi energi matahari ini bisa dikembangkan dalam skala besar, namun masih cocok dimanfaatkan untuk kebutuhan energi skala komunitas. “Siapa saja bisa memilih untuk memasang satu atau seribu panel dengan teknologi yang sama,” katanya.
Studi CPI bejudul ‘Energi Terbarukan Berbasis Komunitas di Indonesia Timur’, ucap Tiza, menunjukkan keberhasilan tiga dari empat proyek energi terbarukan skala kecil. Proyek-proyek ini tersebar di Desa Muara Enggelam (Kalimantan Timur), Desa Mata Redi (Nusa Tenggara Timur), dan Desa Treweng (Alor, Nusa Tenggara Timur).
Dengan konsep community ownership, pembangkit surya ini dikelola dan dipakai langsung oleh masyarakat lokal. Melalui panel surya, Tiza meneruskan, masyarakat bukan hanya menjadi konsumen, melainkan juga produsen energi terbarukan.
“Kalau hanya proyek besar yang memperoleh pendanaan, terjadi ketimpangan akses memproduksi energi,” tuturnya.
Koalisi organisasi masyarakat sipil sebelumnya juga mengkritik lembaga pembiayaan yang pilih kasih terhadap proyek energi besar. Dalam kajian bertajuk "Banking on Renewables: Powering People, Protecting the Planet" yang dirilis pada Rabu, 16 Oktober 2024, mereka menemukan bahwa proyek hijau berskala komunitas lokal bisa terbengkalai karena pembiayaanya macet.
Saat ini permodalan condong mengalir ke proyek jumbo yang dikelola swasta, alih-alih oleh warga lokal. Padahal risiko lingkungan dan sosial dari megaproyek justru lebih tinggi. Masalah pendanaan yang berat sebelah ini bisa dibaca lebih lengkap dalam Laporan Premium Tempo; Mengapa Dana Energi Pilih Kasih
Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia Beyrra Triasdian mengatakan proyek energi terbarukan juga butuh dana awal yang besar tak ubahnya pembangkit konvensional. Proyek mini seperti pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), menurut dia, juga berhak mendapatkan investasi asing, terutama yang mengalir dari bank pembangunan multilateral (MDB). Faktanya, pembangkit listrik yang dikelola masyarakat ini dipandang sebelah mata.
“Yang dilihat (perbankan) hanya keuntungan bisnis secara langsung, bukan ekonomi kolektif yang dibangun oleh masyarakat,” kata Beyrra kepada Tempo, Rabu, 30 Oktober 2024.
Dalam kajian Banking on Renewables, koalisi menganggap pembiayaan energi terbarukan harus jauh lebih merata bagi negara berpendapatan rendah dan menengah. Kajian itu juga menyimpulkan tiga prinsip yang harus ditegakkan, yaitu pendanaan hanya untuk energi yang 100 persen terbarukan tanpa jejak fosil, harus demokratis, serta memprioritaskan publik dan alam.
Yang terjadi, kata Beyrra, pemerintah dan perbankan justru terobsesi membiayai pembangkit skala besar yang sarat masalah. Misalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatigede berkapasitas 110 megawatt di Sumedang, Jawa Barat, yang menenggelamkan lahan 30 desa seluas 4.896 hektare.
Pilihan Editor: Penasihat Khusus Presiden Prabowo, Bambang Brodjonegoro: Untuk Transisi Energi, Perlu Perubahan Pola PIkir Masyarakat