Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Arca Singosari dan Gelombang Repatriasi Kedua

Koleksi ratusan artefak budaya hasil repatriasi tahap kedua dari Belanda dipamerkan di Museum Nasional Indonesia.

10 November 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESIBUKAN terjadi di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, pada 27 September 2024, ketika sejumlah benda bersejarah rampasan Hindia Belanda kembali ke Indonesia. Truk garpu tampak lalu-lalang mengantarkan kotak-kotak kayu besar di kompleks museum yang juga disebut Museum Gajah itu. Di dalamnya ada empat arca dari masa Singasari yang selama ini disimpan di museum etnologi nasional Wereldmuseum di Leiden, Belanda. Gunawan, Ketua Tim Pengelolaan Koleksi Museum Nasional Indonesia, segera memerintahkan anak buahnya memeriksa dan membuka kotak-kotak itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebanyak 288 benda bersejarah itu tiba dengan pengawalan dari perwakilan Wereldmuseum. “Senang tugas mengantarkan obyek selesai dengan selamat. Tantangan tersendiri untuk memindahkannya karena obyeknya sangat berat,” kata Machteld Jaques, ahli restorasi Belanda yang bertugas mengawalnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepulangan artefak ini juga disambut Hilmar Farid, yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Hilmar pula yang menandatangani nota kesepahaman repatriasi ini dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda Eppo Bruins di Wereldmuseum pada 20 September 2024. Pemulangan kali ini merupakan tahap kedua upaya repatriasi yang dilakukan kedua negara sejak beberapa tahun lalu dan dipimpin oleh Ketua Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja.

Pengunjung melihat koleksi Museum saat Pembukaan Museum Nasional Indonesia (MNI), Jakarta, Jumat, 11 Oktober 2024. Tempo/Ilham Balindra

Di Indonesia, Hilmar kemudian secara resmi menerima obyek-obyek itu dari Adriaan Palm, Wakil Duta Besar Belanda untuk Indonesia. Hilmar makin semringah saat Museum Nasional Indonesia dibuka kembali pada Selasa, 15 Oktober 2024, setelah terbakar pada September 2023. “Koleksi ini adalah keping dari gambar sejarah yang terpisah waktu sekian lama. Kami berharap, dengan kembalinya koleksi ini, gambar sejarah kita makin lengkap,” ucapnya.

Selama 1977-2019, Indonesia telah memulangkan 1.750 benda bersejarah. Proses repatriasi ini makin gencar sejak 2020 dan tak kurang dari 760 benda bersejarah akhirnya kembali dalam dua tahun, yakni pada 2023-2024. Saat ini 300 koleksi pilihan hasil repatriasi dari Belanda dipamerkan di Museum Gajah hingga 31 Desember 2024.

•••

SEBUAH arca Ganesha berdiri tegak di pojok dekat tangga lantai pertama gedung baru Museum Nasional Indonesia. Arca itu berbadan anak-anak dengan kepala gajah bermahkota yang ukirannya masih sangat jelas dan ornamen tengkorak menghiasi bagian dekat kepala. Kedua tangannya membawa bokor. Ukiran di bagian bawahnya sederhana dan tak ada tengkorak di bagian pedestal.

Arca Ganesha ini ditemukan di Desa Simojayan, kaki gunung Semeru, Jawa Timur, oleh Residen Pasuruan Johan Frederik Walraven van Nes pada 1836. Penemuannya saat itu diberitakan di Javasche Courant edisi 10 September 1836. Pada 1843, Van Nes membawa arca itu ke Belanda dan dihadiahkan kepada Museum Nasional Barang Antik pada 1904 sebelum kemudian dipindahkan ke Museum Etnografi Rijks—pendahulu Wereldmuseum di Leiden.

Setelah 181 tahun bermukim di Negeri Kincir Angin, Ganesha itu akhirnya pulang. Reca ini serupa dengan arca Ganesha yang berada di Karangkates, Malang, Jawa Timur.

Di seberang Ganesha berdiri, ada arca Nandi, yang kaya perhiasan. Kendaraan Syiwa dari periode Singasari ini dalam posisi siap diduduki. Arca Brahma yang berkepala empat dengan pahatan cukup kompleks berada di sebelahnya. Pada tiga kepala arca Brahma masih terlihat jelas pahatan angsa dan teratainya. Kedua tangannya dalam posisi meditasi memegang teratai. Dalam keterangan arca tertulis Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles mencatatnya sebagai patung dengan kepala-kepala yang dipahat mewah.

Arca Singasari lain yang baru direpatriasi adalah Bhairawa, yang diperkirakan berasal dari ruang utama Candi Singasari. Arca ini berwajah krura (menakutkan) dan dalam keadaan telanjang duduk di atas serigala yang berada di atas tumpukan tengkorak. Pada bagian sandaran kanan terdapat inskripsi “chakra-chakra”, yang berhubungan dengan upacara cakrapuja yang dipimpin cakreswara (imam).

Museum Nasional Indonesia (MNI) menampilkan Arca Bhairawa dalam Pameran Repatriasi. Sabtu, 12 Oktober 2024. Tempo/Ilham Balindra

Supratikno Rahardjo, ahli arca di Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, mengatakan arca-arca ini telah banyak diteliti sarjana Belanda. Kembalinya arca-arca ini akan memudahkan penelitian para sarjana Indonesia. Menurut dia, arca-arca yang ditemukan di kompleks Candi Singasari ini merupakan contoh arca terbaik dalam sejarah seni arca di Jawa dan Indonesia. Karena itu, dia menerangkan, pemerintah kolonial dulu menjadikan himpunan arca ini koleksi utama di museum Leiden dan menjadikannya simbol penaklukan serta keunggulan bangsa penjajah yang perlu disampaikan kepada rekan-rekan bangsa Eropa lain. “Kini bangsa Indonesia beruntung karena warisan nasional yang adiluhung ini dapat kita nikmati langsung di negeri sendiri,” katanya.

Supratikno menjelaskan bahwa arca Durga, Ganesha, Mahakala, dan Nandiswara merupakan empat arca paling meyakinkan yang bercorak Hindu yang berasal dari Singasari. Yang kini masih berada di Candi Singasari adalah Agastya, yang tampaknya sengaja ditinggalkan karena rusak. Berdasarkan pola umum yang dikenal dalam sistem penempatan arca-arca Hindu di Jawa, posisi keempat arca itu dulu di Candi Singasari dapat dikenali.

Supratikno menuturkan, Candi Singasari menghadap ke barat. Maka arca Durga seharusnya berada di sisi utara dan Ganesha di timur, sementara Mahakala dan Nandiswara adalah pasangan arca yang ditempatkan di sisi barat mengapit pintu masuk ke bilik candi. Adapun Agastya berada di tempat semula di sisi selatan.

“Lalu siapa yang ada di ruang tengah yang menjadi tokoh utamanya? Seharusnya ada tokoh Syiwa sebagai dewa utamanya,” tutur Supratikno. Sayangnya, dia menambahkan, tidak pernah ada laporan mengenai temuan arca Syiwa di tempat ini ataupun area sekitarnya. Saat ini obyek yang tersisa hanyalah yoni, yang biasanya dipasangkan dengan lingga yang berdiri di atasnya dan merupakan simbol Syiwa. Batu lingga sudah hilang dan diduga obyek di atasnya adalah perwujudan Syiwa.

Museum Nasional Indonesia (MNI) menampilkan Arca Prajñamaramita dalam Pameran Repatriasi. Sabtu, 12 Oktober 2024. Tempo/Ilham Balindra

Supratikno juga menjelaskan bahwa arca dari Singasari ini mempunyai ciri khusus dan dianggap penanda gaya seni zaman Singasari. Cirinya adalah pahatan bunga teratai yang keluar dari bonggol atau umbinya dan pakaian arca bagian atasnya seperti rompi. “Tapi masih banyak misteri yang belum terpecahkan mengenai temuan arca lain di candi sekitarnya yang berlatar agama Hindu atau Buddha.”

Bhairawa, Supratikno melanjutkan, adalah arca baru yang menarik dan langka dalam wujud laki-laki telanjang dengan mulut terbuka dan gigi bertaring serta menaiki serigala di atas tumpukan tengkorak manusia. Tangannya empat dan membawa trisula, gendang kecil, golok, serta tempurung kepala terbalik dengan rangkaian hiasan untaian tengkorak. Menurut dia, tokoh ini diduga menempati ruang utama Candi Singasari. Dugaan ini diperkuat laporan Nicolaus Engelhard pada 1804 yang menyatakan arca ini ditemukan bersama empat arca sebelumnya. Tapi pengecekan pada batu yoni membuktikan ukuran pedestalnya tidak sesuai.

“Saya menduga ini bukan bagian dari kelompok Candi Singasari, melainkan bagian kelompok lain candi di sekitar Singasari, yakni Brahma, Tenawindu, Marici, dan lainnya yang disebut Resi Ketiga oleh Jessy Blom, penulis buku The Antiquities of Singasari,” ujar Supratikno. “Cirinya ada hiasan bunga teratai keluar dari pot, bukan umbi atau bonggol seperti di Candi Singasari. Lalu di sandarannya ada inskripsi, seperti di Bhairawa tertulis 'chakra-chakra'. Menurut Blom, perlu dipahami bahwa Candi Singasari bukanlah satu-satunya bangunan yang memuat arca.”

•••

DI ruangan di belakang tempat arca-arca dipajang, pengunjung bisa menjumpai keindahan karya dan kehebatan para perupa Batuan, Bali. Koleksi ini semula disimpan Tropenmuseum, Belanda, dan dikembalikan sebagai bagian dari upaya repatriasi. Koleksi Pita Maha ini memperlihatkan kebudayaan yang berkembang di bawah bayang-bayang kolonialisme pada 1930-1940-an. Salah satunya karya I Made Djata yang melukiskan suasana Bali yang cemas akan kedatangan pasukan Sekutu pada masa pendudukan Jepang tanpa menggambarkan imaji pendudukan Jepang atau serdadu Sekutu.

Sabila Duhita Drijono, asisten kurator koleksi Pita Maha, menyatakan sekilas lukisan Djata seperti lukisan Bali pada umumnya. Tapi Djata melukiskan suasana mencekam pada masa di antara dua penjajah itu dengan beragam perlambang. “Kupu-kupu kuning, kupu putih, dan serbuan tikus yang saat itu melanda Bali menjadi simbol yang dilukiskan di kanvas,” katanya. Sabila juga menyebutkan koleksi Pita Maha termasuk patung-patung kayu, salah satunya karya Ida Bagus Nyana, Praying Woman. “Foto patung ini menjadi ikon dalam pameran internasional di Brussels (Belgia).”

Koleksi Pita Maha karya Made Jata. Tempo/Dian Yuliastuti

Beberapa seniman Pita Maha yang koleksinya dipajang antara lain I Made Bagus Togog, Ida Bagus Made Nadera, Ida Bagus Made Poleng, I Made Windu, I Dewa Gede Tjukit, I Gusti Made Deblog, I Wayan Tohjiwa, dan I Gusti Ketut Kobot. Dalam pameran ini ditampilkan karya 40 perupa, termasuk empat karya anonim dari sekitar 150 anggota Pita Maha. Pita Maha adalah perhimpunan perupa Bali yang didirikan pada 1936 oleh seniman Tjokorda Gde Raka, Tjokorda Gde Agung Sukawati, I Gusti Nyoman Lempad, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet.

Menurut catatan kuratorial, koleksi Pita Maha ini boleh dikatakan anomali dalam konteks benda repatriasi. Ia bukan jarahan atau curian, tapi berada di Belanda karena serangkaian peristiwa diplomasi untuk memperkenalkan Bali dalam konteks Negara Indonesia Timur—negara bagian Republik Indonesia Serikat. Pada 1948, koleksi ini dipamerkan di Indisch Instituut, Amsterdam, untuk kemudian dibawa berkeliling Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat pada 1948.

Sayangnya, rencana tur ini tak terwujud dan koleksi itu berada di Belanda hingga Negara Indonesia Timur bubar pada 1950. Ketika menjadi Duta Besar RI untuk Belgia, Ida Anak Agung Gde Agung membawa koleksi ini dalam pameran di Palais des Beaux-Arts, museum seni rupa di Brussels, pada 1952. Ia meminta koleksi ini disimpan di Belanda, tapi, jika pemerintah Indonesia meminta kembali, Belanda wajib mengembalikannya.

Koleksi yang dipamerkan Museum saat Pembukaan Museum Nasional Indonesia (MNI), Jakarta, Jumat, 11 Oktober 2024. Tempo/Ilham Balindra

Beragam perhiasan dan senjata jarahan Belanda, di antaranya koleksi keris Klungkung, pusaka Kerajaan Lombok, lukisan, litografi, tandu, dan patung Raja Lombok Ratoe Agoeng Agoeng Gde Ngoerah Karang Asem, juga dipamerkan di lantai 2 Museum Nasional. Benda-benda itu dipajang bersama hasil repatriasi sebelumnya, seperti Kakawin Nagarakretagama dan koleksi Pangeran Diponegoro berupa payung, tombak, keris, pelana kuda, serta tongkat.

Sebanyak 1.500 koleksi dari Museum Nusantara di Delft yang tutup karena masalah pendanaan dan dipindah ke Museum Prinsenhof juga telah tersimpan di Museum Nasional pada 2019. Termasuk keris Bugis dan artefak tertua, kapak dari Kalimantan yang bertarikh 5000-1000 tahun sebelum Masehi, juga arca terakota dari Trowulan yang menggambarkan wajah orang Cina hingga Eropa di era Majapahit.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus