Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pidato Hashim Djojohadikusumo, adik Presiden Prabowo Subianto, meramaikan pembukaan COP29 di Baku, Azerbaijan.
Alih-alih menjabarkan agenda mencapai target mitigasi krisis iklim, Hashim sebagai Ketua Delegasi RI menawarkan proyek-proyek baru.
Pidato Hashim menuai kritik kelompok masyarakat sipil karena dianggap sebagai langkah mundur komitmen Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim.
BARU saja dimulai, konferensi perubahan iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, sudah menarik perhatian. Lakonnya bukan Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dalam setiap penyelenggaraan COP sebelumnya dan beberapa waktu terakhir terus mendengungkan betapa nyatanya dampak krisis iklim. Para pegiat lingkungan hidup di Indonesia lebih menunggu pernyataan Hashim Djojohadikusumo, adik Presiden Prabowo Subianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja perhatian lebih terhadap kehadiran Hashim dalam konferensi tahunan tersebut bukan karena ia lebih kondang dibanding Guterres. Penunjukan Hashim sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi serta Ketua Delegasi RI pada COP29 sudah memancing pergunjingan di antara para aktivis sejumlah organisasi masyarakat sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toh, terlepas dari bisik-bisik tentang anggapan konflik kepentingan dalam keputusan Prabowo tersebut, pernyataan Hashim yang mewakili Prabowo memang paling ditunggu. Pidato Hashim bisa menjadi sinyal arah pemerintahan baru terhadap penanganan krisis iklim, isu yang sejauh ini selalu absen dalam pidato Presiden Prabowo sejak dilantik pada 20 Oktober 2024.
Dan hal yang ditunggu-tunggu itu akhirnya disampaikan Hashim ketika meresmikan Paviliun Indonesia untuk COP29 di Blue Zone, Area E, Kompleks Stadion Baku, pada Senin, 11 November 2024. Hashim mengatakan akan memanfaatkan betul acara peresmian Paviliun Indonesia karena memberikan lebih banyak waktu baginya untuk berbicara. Keesokan harinya, Hashim dijadwalkan membacakan pernyataan Prabowo di mimbar World Leader Climate Action Summit (WLCAS), bagian dari acara COP29 pada keesokan harinya, yang durasinya dibatasi tiga menit per negara.
"Jadi, mohon maaf, Ibu Mari Pangestu, saya akan menganggap pidato ini sebagai ocehan yang panjang. Pidato ini pada dasarnya adalah pesan dari Presiden Prabowo tentang visi pemerintahan Indonesia pada tahun-tahun mendatang," katanya sebelum menyampaikan pidato di Paviliun Indonesia.
Utusan Khusus Presiden untuk Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC, Hashim Djojohadikusumo, menyampaikan pernyataan pada konferensi perubahan iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, 12 November 2024. Reuters/Maxim Shemetov
Dalam peresmian Paviliun Indonesia yang diikuti sekitar 30 tamu itu, hadir pula Mari Elka Pangestu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia yang baru saja didapuk Prabowo menjadi Utusan Khusus Presiden bidang Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Multilateral. Mari duduk di belakang Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.
Siang itu, Hashim berbicara selama lebih-kurang 20 menit. Kendati negosiasi hingga kesepakatan COP29 masih berlangsung hingga akhir pekan depan, pidato awal Hashim ini sudah cukup untuk memancing beragam respons kelompok masyarakat sipil.
Tawaran Baru Prabowo
Dalam pidato perdananya, Hashim tak banyak membahas soal angka-angka target penurunan emisi gas rumah kaca. Namun dia menegaskan sikap Prabowo untuk melanjutkan berbagai komitmen internasional yang dibuat oleh presiden-presiden sebelumnya dalam forum-forum iklim global.
Prabowo, menurut Hashim, menawarkan beberapa program baru ke dunia. Satu di antaranya, kata dia, berupa pembangkit anyar berkapasitas total 100 gigawatt yang mayoritas pembangkit listrik energi baru dan terbarukan, dari tenaga angin, surya, air, panas bumi, hingga nuklir. "Semuanya akan selesai dalam 15 tahun ke depan," katanya.
Hashim juga menawarkan komitmen Prabowo terhadap program baru berupa penyiapan gudang penyimpanan emisi karbon (carbon capture storage/CCS). Dia menyebutkan beberapa perusahaan multinasional, seperti ExxonMobil dan British Petroleum, telah menyodorkan rencana mereka untuk berinvestasi pada CCS. Indonesia, kata Hashim, mendapat berkah karena punya potensi yang amat besar untuk penyimpanan karbon, yang diestimasikan bisa mencapai kapasitas 500 gigaton.
"Kami akan menyodorkan ini kepada banyak negara dan perusahaan di seluruh dunia yang tertarik mencari kapasitas penyimpanan untuk emisi karbon dioksida mereka," ujarnya.
Proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya terapung di atas Waduk Cirata, Jawa Barat, September 2023. Tempo/Tony Hartawan
Tak cukup di situ, Hashim juga mengatakan Indonesia akan menawarkan 577 juta ton stok karbon. Berbeda dengan sikap pemerintahan era Presiden Joko Widodo yang belakangan cenderung menutup peluang pasar karbon sukarela, dalam pernyataannya, Hashim justru menyatakan gembira atas beberapa negara yang telah menawarkan pembelian karbon.
"Seperti sahabat kami Norwegia yang telah berkomitmen atas 30 juta ton," tuturnya. "Salah satu sahabat di Teluk juga telah menawarkan pembelian 287 juta ton."
Menurut Hashim, saat ini Kementerian Lingkungan Hidup telah memfinalkan penilaian ulang terhadap 600 juta ton stok karbon. "Kami harap bisa menawarkannya kepada dunia dalam beberapa bulan ke depan," ujarnya.
Hashim menuturkan Prabowo telah menyetujui program reforestasi berskala besar terhadap hutan dan lahan yang terdegradasi. Merujuk pada data Kementerian Kehutanan, luas kawasan hutan yang terdegradasi mencapai 12,7 juta hektare. Sebagian besar di antaranya dipicu oleh kebakaran hutan dan lahan dalam kurun waktu tiga dekade terakhir.
"Apa yang kami ingin lakukan adalah menciptakan ulang hutan. Kami akan melakukannya seiring dengan berjalannya waktu," kata Hashim.
Hashim mengakui tak mungkin anggaran negara cukup untuk membiayai semua program baru tersebut. Karena itu, dia mengundang semua mitra luar negeri untuk turut serta dalam pendanaan. "Karena kita semua tahu anggaran negara terbatas," ujarnya.
Pada akhir pidatonya, Hashim menyinggung program ketahanan pangan pemerintah Indonesia yang menuai kritik masyarakat internasional. Dia menegaskan program tersebut harus dilakukan untuk menjaga independensi Indonesia dalam menghadapi guncangan eksternal, seperti pandemi Covid-19. Hashim menampik tudingan program ketahanan pangan telah merusak hutan. "Indonesia sedang menciptakan ulang, merevitalisasi, meremajakan hutan yang terdegradasi," katanya.
Memantik Kritik Pegiat Lingkungan
Sebenarnya, para peneliti dan aktivis dari beberapa organisasi masyarakat sipil yang turut hadir memantau jalannya COP29 sudah bersiap untuk tak terlalu banyak berharap kepada pemerintahan baru. Maklum, mereka menilai kebijakan pemerintah selama ini sangat tidak memadai untuk memenuhi komitmen Indonesia dalam mencegah aksi bersama mencegah kenaikan suhu bumi. Namun pidato awal Hashim di gelanggang pertamanya sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi ternyata menjadi kejutan yang lebih tak mengenakkan mereka.
Bantahan Hashim terhadap dampak deforestasi dalam proyek food estate jelas memantik kritik para pemerhati lingkungan. Sebanyak 30 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki) dalam pernyataan sikapnya menyesalkan bantahan tersebut. "Ironis, hal itu (bantahan) digaungkan di COP29, di tengah nyata dampak proyek lumbung pangan terhadap lingkungan, masyarakat, dan komitmen Indonesia," kata Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Fanny Tri Jambore, yang tergabung dalam Aruki.
Foto udara areal lumbung pangan nasional 'food estate' komoditas singkong di Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Maret 2021. Antara/Makna Zaezar
Mereka juga menilai program-program Prabowo yang ditawarkan Hashim di COP29 justru menjauhkan komitmen Indonesia dari aksi mitigasi krisis iklim. Fanny mencontohkan ambisi pemerintah memperluas skema perdagangan karbon serta menjadikan Indonesia pusat penangkapan dan penyimpanan karbon sebagai langkah yang bertolak belakang dengan agenda Perjanjian Paris.
"Skema perdagangan karbon, khususnya melalui offset, dan CCS secara nyata tidak menjawab akar masalah krisis iklim, malah menguntungkan korporasi penyumbang emisi gas rumah kaca," Fanny menuturkan.
Syaharani, pelaksana tugas Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), juga mendesak pemerintah untuk berani berkomitmen menyelaraskan antara agenda pembangunan ekonomi dan target menekan kenaikan suhu kurang dari 1,5 derajat Celsius. Dia mengingatkan bahwa komitmen pemerintah belum cukup untuk mencegah pemanasan global yang justru makin mendekati 3 derajat Celsius di atas level masa pra-Revolusi Industri. Karena itu, menurut dia, program kerja pemerintah dalam mitigasi krisis iklim dan transisi energi berkeadilan seharusnya mendorong phase out energi fosil, melindungi ekosistem, serta mempercepat pengembangan energi terbarukan.
"Ini termasuk dengan tidak menggunakan sumber energi dan teknologi yang justru memperpanjang energi fosil, seperti co-firing PLTU, produksi bioenergi berskala besar, dan CCS," kata Syaharani.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo