SAMPAH juga akhirnya tak dapat dianggap remeh. Selasa, 10
Oktober, 10 organisasi pencinta kelestarian lingkungan ditemani
oleh wakil Menteri Lingkungan dan wakil Gubernur DKI keliling
meninjau pusat-pusat penimbunan sampah di Jakarta. Sasaran utama
turne sampah itu, tak salah lagi, adalah gunung sampah Cawang
yang tingginya konon sudah mencapai 15 meter.
Gunungan sampah itu memang waduh! Ketika PM Pham Van Dong
berkunjung ke Jakarta, 20 September petang, dia nyaris disambut
kabut asap tebal yang menepul-ngepul dari kiri-kanan Jembatan
Cawang. Api kebakaran sampah itu mulai berkobar jam setengah
enam sore. Walaupun dapat dipadamkan, asapnya masih terus sampai
berhari-hari.
Di samping itu: baunya. Bau sampah Cawang itu paling top, justru
kalau sedang dibongkar untuk diangkut kembali. Antara lain,
untuk produksi kompos bagi para petani buah di Pasar Minggu.
"Kami yang tinggal di kampus Cawang juga bisa menciumnya," tutur
dr. Nico Marbun dokter FK-UKI yang tinggal di kompleks perumahan
dosen UKI, sekitar 2 km dari sana.
Maka sudah ada 12 Rukun Warga di sekitar gundukan sampah Cawang
Atas yang mengeluh. Apalagi setelah 35 anak menderita penyakit
muntah-muntah.
Ciliwung
Meskipun Puskesmas Fakultas Kedokteran UKI di Cawang belum
menyelidiki akibat bau sampah itu terhadap kesehatan penduduk di
sana, dr. Nico Marbun menduga tak ayal lagi ada hubungannya
dengan gunungan sampah Cawang. "Bau busuk yang terus menerus
menyengat hidung, bisa naik ke syaraf pula. Apalagi
muntah-muntah, itu gejala yang paling mudah ditimbulkannya,"
tuturnya kepada TEMPO. Dia berniat mendorong fakultas dan
Puskesmasnya agar menangani dengan serius masalah itu.
"Sampah Cawang sudah meliwati atap kantor kami," tulis S.
Boedidarrno, seorang karyawan PT Paramount di Sinar Harapan, 29
September lalu. Kantornya berada persis di samping gunung sampah
Cawang yang masih berasap sampai 10 hari sesudah kebakaran.
Namun akibat pembuangan sampah di sarnping Jembatan Cawang itu
tak terbatas akibatnya bagi lingkungan Cawang saja. Kali
Ciliwung asli yang mengalir dari Jatiluhur (yang oleh DKI
dianggap sudah merupakan kali mati), kini sudah habis tertutup
sampah. Kalau banjir datang, sampah itu pun ikut terseret air,
tersebar ke berbagai penjuru kota.
Boleh dikata, kasus Cawang itu menunjukkan secara nyata
pergeseran teknik pembuangan sampah. Dulunya tanah diuruk
berdasarkan aturan-aturan kesehatan. Kini sampah dilontarkan
begitu saja.
Soetjipta Wirosarjono M.Sc. dari Pusat Penelitian Masalah
Perkotaan & Lingkungan (PPMPL) -- DKI sendiri dalam diskusi
sampah di Bulungan mengakui: cara menguruk memang makin sukar
dijalankan. Mencari tanah urukan untuk dicampur dengan sampah
kini kian sulit.
Tapi banyak saran yang dikemukakan dalam diskusi kelompok
pencinta alam dengan Gubernur Tjokropranolo. Ada yang
mengusulkan pembakaran sampah untuk enerji. Contoh: di kota Den
Haag, Belanda, 230 ribu ton sampah bisa diubah menjadi 85 ribu
Mega Watt jam listrik setahun. Ada pula yang mengusulkan supaya
pabrik kompos, yang kini cuma satu, di Pasar Minggu, ditambah .
Mana?
Namun setiap usul yang dikemukakan, terbentur pada jawaban yang
sama. "Mana duitnya?", tanya Gubernur. Anggaran untuk
pemeliharaan kebersihan DKI memang kurus. Cuma Rp 2,5 milyar,
sementara seluruh anggaran belanja DKI 1977/1978 hampir Rp 90
milyar. Ini dipakai untuk membayar 7000 karyawan dengan 300 truk
sampah dan ratusan gerobaknya. Itupun, menurut seorang anggota
DPRD-DKI, "belum dikelola dengan baik." Maka ada kecaman
terhadap prioritas yang begitu rendah bagi aspek kebersihan
lingkungan hidup dalam strategi pembangunan Ibukota.
Sementara itu, para petugas Dinas Kebersihan DKI tetap bergulat
dengan porsi kecil dari seluruh sampah kota Jakarta yang dapat
mereka angkut. Artinya hanya 3 dari 11 ribu m3 sehari. Sisanya
diatur oleh masyarakat sendiri. Termasuk para gelandangan yang
rajin mengumpulkan puntung rokok, pecahan kaca, kaleng, plastik,
dan entah apa lagi untuk diolah kembali melalui proses recycling
gelap maupun terang ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini