Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dari Bau Busuk Di Sudut Cawang

10 organisasi pencinta kelestarian lingkungan bersama wakil menteri lingkungan dan wakil gubernur DKI meninjau penimbunan sampah di Jakarta terutama gunung sampah Di Cawang yang tingginya 15 meter.(ling)

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAH juga akhirnya tak dapat dianggap remeh. Selasa, 10 Oktober, 10 organisasi pencinta kelestarian lingkungan ditemani oleh wakil Menteri Lingkungan dan wakil Gubernur DKI keliling meninjau pusat-pusat penimbunan sampah di Jakarta. Sasaran utama turne sampah itu, tak salah lagi, adalah gunung sampah Cawang yang tingginya konon sudah mencapai 15 meter. Gunungan sampah itu memang waduh! Ketika PM Pham Van Dong berkunjung ke Jakarta, 20 September petang, dia nyaris disambut kabut asap tebal yang menepul-ngepul dari kiri-kanan Jembatan Cawang. Api kebakaran sampah itu mulai berkobar jam setengah enam sore. Walaupun dapat dipadamkan, asapnya masih terus sampai berhari-hari. Di samping itu: baunya. Bau sampah Cawang itu paling top, justru kalau sedang dibongkar untuk diangkut kembali. Antara lain, untuk produksi kompos bagi para petani buah di Pasar Minggu. "Kami yang tinggal di kampus Cawang juga bisa menciumnya," tutur dr. Nico Marbun dokter FK-UKI yang tinggal di kompleks perumahan dosen UKI, sekitar 2 km dari sana. Maka sudah ada 12 Rukun Warga di sekitar gundukan sampah Cawang Atas yang mengeluh. Apalagi setelah 35 anak menderita penyakit muntah-muntah. Ciliwung Meskipun Puskesmas Fakultas Kedokteran UKI di Cawang belum menyelidiki akibat bau sampah itu terhadap kesehatan penduduk di sana, dr. Nico Marbun menduga tak ayal lagi ada hubungannya dengan gunungan sampah Cawang. "Bau busuk yang terus menerus menyengat hidung, bisa naik ke syaraf pula. Apalagi muntah-muntah, itu gejala yang paling mudah ditimbulkannya," tuturnya kepada TEMPO. Dia berniat mendorong fakultas dan Puskesmasnya agar menangani dengan serius masalah itu. "Sampah Cawang sudah meliwati atap kantor kami," tulis S. Boedidarrno, seorang karyawan PT Paramount di Sinar Harapan, 29 September lalu. Kantornya berada persis di samping gunung sampah Cawang yang masih berasap sampai 10 hari sesudah kebakaran. Namun akibat pembuangan sampah di sarnping Jembatan Cawang itu tak terbatas akibatnya bagi lingkungan Cawang saja. Kali Ciliwung asli yang mengalir dari Jatiluhur (yang oleh DKI dianggap sudah merupakan kali mati), kini sudah habis tertutup sampah. Kalau banjir datang, sampah itu pun ikut terseret air, tersebar ke berbagai penjuru kota. Boleh dikata, kasus Cawang itu menunjukkan secara nyata pergeseran teknik pembuangan sampah. Dulunya tanah diuruk berdasarkan aturan-aturan kesehatan. Kini sampah dilontarkan begitu saja. Soetjipta Wirosarjono M.Sc. dari Pusat Penelitian Masalah Perkotaan & Lingkungan (PPMPL) -- DKI sendiri dalam diskusi sampah di Bulungan mengakui: cara menguruk memang makin sukar dijalankan. Mencari tanah urukan untuk dicampur dengan sampah kini kian sulit. Tapi banyak saran yang dikemukakan dalam diskusi kelompok pencinta alam dengan Gubernur Tjokropranolo. Ada yang mengusulkan pembakaran sampah untuk enerji. Contoh: di kota Den Haag, Belanda, 230 ribu ton sampah bisa diubah menjadi 85 ribu Mega Watt jam listrik setahun. Ada pula yang mengusulkan supaya pabrik kompos, yang kini cuma satu, di Pasar Minggu, ditambah . Mana? Namun setiap usul yang dikemukakan, terbentur pada jawaban yang sama. "Mana duitnya?", tanya Gubernur. Anggaran untuk pemeliharaan kebersihan DKI memang kurus. Cuma Rp 2,5 milyar, sementara seluruh anggaran belanja DKI 1977/1978 hampir Rp 90 milyar. Ini dipakai untuk membayar 7000 karyawan dengan 300 truk sampah dan ratusan gerobaknya. Itupun, menurut seorang anggota DPRD-DKI, "belum dikelola dengan baik." Maka ada kecaman terhadap prioritas yang begitu rendah bagi aspek kebersihan lingkungan hidup dalam strategi pembangunan Ibukota. Sementara itu, para petugas Dinas Kebersihan DKI tetap bergulat dengan porsi kecil dari seluruh sampah kota Jakarta yang dapat mereka angkut. Artinya hanya 3 dari 11 ribu m3 sehari. Sisanya diatur oleh masyarakat sendiri. Termasuk para gelandangan yang rajin mengumpulkan puntung rokok, pecahan kaca, kaleng, plastik, dan entah apa lagi untuk diolah kembali melalui proses recycling gelap maupun terang ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus