ADALAH seorang laki-laki bernama Pian Wijaya alias Oei Seng
Pian. Ia banyak mempergunakan alamat tempat tinggal di Sibolga,
ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah. Dikatakan begitu karena ia
juga sering beralamat di Medan.
Suatu hari di tahun 1976, Pian mendatangi sekitar 50 orang
nelayan yang biasa beroperasi di Teluk Sibolga. Tak panjang
cerita. Meskipun ia dikenal sebagai seorang pengusaha angkutan
swasta, tapi kepada nelayan-nelayan itu ia menawarkan kredit
(KIK) untuk motorisasi penangkapan ikan mereka. Dikatakannya
untuk mendapatkan KIK dari BRI (Bank Rakyat Indonesia) Cabang
Sibolga mudah. Para nelayan hanya tinggal menandatangani surat
permohonan. Tak lama uang akan keluar.
Para penangkap ikan yang dikenal selama ini hidup megap-megap
tentu saja senang menerima tawaran itu. Teken-meneken
dilakukan, termasuk surat-surat jaminan harta milik nelayan. Dan
benar. Sekitar 2 bulan kemudian uang KIK siap untuk diambil.
Maka Pian Wijaya muncul lagi di hadapan para nelayan,
menyodorkan surat kuasa mengambil uang itu di bank. Merekapun
ramai-ramai meneken lagi.
Tapi Pian mulai mencurigakan ketika ternyata uang yang jumlahnya
sekitar Rp 100 juta itu tak diberikannya kepada para nelayan. Ia
mengharuskan para nelayan membeli mesin boat merek Yanmar yang
diageninya. Barangsiapa menolak, katanya, KlK-nya akan dicabut.
Meskipun harga yang disodorkan Pian jauh lebih mahal dari
biasanya, para nelayan setuju juga. Begitu pula ketika Pian
mengharuskan nelayan-nelayan itu agar membuat tubuh perahu
melalui dia.
Menurut salah seorang nelayan itu, Jaher Sinaga, ia harus
meneken tanda pembayaran sebanyak Rp 2.350.000 untuk mesin boat
berkekuatan 33 PK. Biasanya hanya berharga Rp 1,9 juta. Ia juga
menerima harga kapal/perahu Rp 700.000 untuk ukuran 5 ton. Lalu
ia diberi pinjaman oleh Pian sebanyak Rp 91.000. Sinaga mendapat
KIK sebesar Rp 3,5 juta. Sisanya tak pernah diberikan Pian
Wijaya.
Ke Kejaksaan
Machkota Tanjung, nelayan yang lain, mendapat KIK Rp 4 juta. Ia
harus membayar Rp 1,5 juta untuk mesin kapal 16 PK, tubuh kapal
ukuran 6 ton Rp 600.000, alat-alat jaring Rp 500. 000 dan
pinjaman Rp 300.000. Ia tak pernah menerima sisa uangnya. Semua
ini dialami oleh nelayan-nelayan lain yang berjumlah sekitar 50
orang itu. Tapi lebih menyakitkan lagi ialah KIK itu keluar
Oktober 1976 tapi mesin kapal maupun kapal dan pinjaman maupun
jaring baru diterima para nelayan Maret 1977.
Malapetaka pertama bagi para nelayan: mereka tak dapat
mengoperasikan kapal mereka karena tak punya modal kerja. Karena
itu kebanyakan mereka memburuh pada kapal-kapal nelayan lain.
Musibah kedua, hantu penyitaan dari BRI atas barang jaminan
maupun kapal motor mereka. Sebab sampai sekarang mereka hampir
tak pernah membayar cicilan kepada bank akibat nganggurnya kapal
yang mereka beli dengan terpaksa dari Pian Wijaya.
Karena itu belum lama ini mereka telah mengadukan Pian Wijaya
kepada Kejaksaan Sibolga. Mereka merasa ditipu pedagang itu dan
meminta agar kejaksaan menuntutnya. Pihak kejaksaan membenarkan
telah berkali-kali memeriksa Pian Wijaya. Barangkali karena ini
pula maka akhir-akhir ini pedagang itu lebih banyak berada di
Medan daripada di Sibolga. Sayang pihak kejaksaan tak
menyebutkan apakah ada pihak lain yang terlibat perkara itu.
Misalnya oknum-oknum di BRI yang menyebabkan Pian Wijaya begitu
mudah mengantongi KIK para nelayan tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini