SEUSAI melantik Gubernur Sulawesi Tengah akhir September lalu,
Menteri Dalam Negeri Amirmachmud tiba-tiba bicara keras. Sebagai
Administrator Pemerintahan, kata Menteri, gubernur "bukan
maharaja-diraja yang mendiktatori wilayahnya dan memerintah atas
dasar kehendak nuraninya sendiri!" Juga, seorang gubernur,
"bukanlah presiden direktur pemborong pembangunan di
wilayahnya!"
Ibukota Sul-Teng, Palu, belakangan ini memang terasa agak
'gerah'. Brigjen TNI Moenafri SH (53 tahun), setelah melalui
liku yang cukup pelik, akhirnya berhasil duduk di kursi
gubernuran. Saingannya, Azis Lamajido SH, seorang jaksa dan
putera daerah yang menjabat Bupati Donggala, kalah separoh suara
dari lawannya dalam pencalonan di Gedung DPRD Sul-Teng yang
baru. Siapa Moenafri? "Kami baru mengenalnya pada masa
pencalonan ini saja," kata seorang anggota DPRD dari Golkar.
Calon yang dianggap kuat sebenarnya Azis. Setidaknya, bekas
Kepala Kejaksaan Negeri setempat ini, apalagi sebagai bupati
selama 2 kali masa jabatan, ia tentu lebih dikenal masyarakat
daerahnya. Sedangkan Moenafri, orang Padang, Kepala Staf
Kekaryaan Wilayah III dan anggota tambahan MPR utusan Golkar dan
ABRI, boleh dikatakan "orang asing" di Sul-Teng. Di atas kertas,
begtu menurut seorang anggota DPRD dari Golkar tadi,
"sebenarnya Azis boleh menang".
Pasir & Kerikil
Tapi dukungan yang menentukan ternyata diperoleh Moenafri. Mulai
dari Kadapol, Pangdam sampai Pangkowilhan, "pokoknya perwira
berbintang emas," kata orang, semuanya turun bermain dalam masa
pencalonan membabat suara-suara yang mendukung Azis. Nama bupati
ini lalu dicela dan dikaitkan dengan Opstib yang tengah
menggarap keuangan (retribusi) pasar dan manipulasi beras di
Depot Logistik setempat. Azis cuma mendapat 13 suara sedangkan
27 suara untuk Moenafri.
Tapi amanat Mendagri ketika melantik gubernur baru itu agaknya
mengalihkan perhatian masyarakat daerah ini ke soal lain.
Gubernur, sebagai penguasa tunggal, "tidak mengandung makna
pengusaha tunggal di daerahnya." Jadi, misalnya, fungsi gubernur
sebagai kepala daerah yang membina bidang keagrariaan dan
mengelola pertanahan, "perlu dijaga agar tidak berkembang
menjadi fungsi penjual tanah atau penjual kekayaan alam yang ada
di dalamnya".
Amirmachmud memang eidak menunjuk hidung pejabat mana yang
dimaksudkannya. Tapi, karena diucapkan di Sul-Teng, maka orang
sanapun seperti dengan sendirinya memandang keadaan sekitar.
Ternyata banyak juga ceritanya. Dari mulai soal paslr, penjualan
monopoli baeu kerikil ke Kalimantan, tender pemborongan proyek
sampai hak-hak konsesi hutan. Begitu pula tentang daerah-daerah
tingkat II yang memonopoli semua perdagangan di wilayahnya.
Semua ini, masih jelas dalam ingatan warga Sulawesi Tengah,
banyak dibicarakan selama A.M. Tambunan menjadi gubernur daerah
ini.
Amirmachmud memang tak lupa menyebutkan bahwa "sebagai Menteri
Dalam Negeri kalau saya bicara di suatu daerah, itu juga berlaku
di semua daerah." Kasus semacam di Sul-Teng memang mungkin
berlaku juga di daerah-daerah lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini