ADA sedikit hiburan di akhir September lalu. Indeks biaya hidup
di akarta, yang juga merupakan indeks inflasi, turun 1,2% di
bulan tersebut. Itu penurunan yang ketiga kalinya yang tercatat
selama tahun ini, sesudah penurunan indeks Mei dan Juni. Tingkat
inflasi tahunan antara September tahun lalu dan September ini
hanya tercatat 5,1%, merupakan paling rendah sejak delapan tahun
terakhir.
Dan inflasi pada 1978 ini sampai September baru mencapai 2,4%,
satu perkembangan yang agak luar biasa memang. Tarohlah di tiga
bulan yang tersisa mendatang ini terjadi gejolak di bidang
harga, tapi itupun tak akan bisa mempengaruhi satu hal yang
hampir pasti: untuk pertama kalinya sejak 1973, inflasi
Indonesia akan berada kembali di bawah 10%. Sebab utama
penurunan indeks harga September adalah turunnya indeks harga
bahan makanan, satu kenyataan yang biasanya terjadi sesudah
lebaran, di mana harga bahan bahan pokok sudah bisa dikendalikan
lagi.
Kalau di sektor moneter terjadi titik terang, tak demikian
halnya di sektor fiskal. Akhir tahun anggaran 1977/1978, Maret
lalu, penerimaan pajak seperti yang dikelola oleh Dirjen Pajak
(pajak langsung di luar minyak dan ipeda, tapi termasuk beberapa
jenis pajak tidak langsung) hanya mencapai Rp 710 milyar. Sedang
sasaran yang dianggarkan adalah Rp 760 milyar.
Gambaran serupa masih terus berlangsung ketika tahun anggaran
1978/1979 mengakhiri triwulan kesatunya, dengan penerimaan
Ditjen Pajak yang hanya mencapai Rp 170 milyar. Dengan tingkat
penerimaan seperti ini, kalangan Ditjen Pajak merasa pesimis
bahwa sasaran Rp 990 milyar seperti yang tercantum dalam RAPBN
akan dicapai. Ironisnya adalah bahwa dengan perkembangan yang
kurang menggembirakan ini justru Ditjen Pajak akan menerima
beban yang lebih berat lagi di masa mendatang, di saat
penerimaan dari minyak mulai pudar peranannya. Ditjen Pajak
tampak harus berusaha keras untuk melipatgandakan penerimaan
pajak di luar minyak.
Bila Pajak Gagal
Perkembanyan pajak langsung di luar minyak selama beberapa tahun
terakhir ini memang tidak mengecewakan. Tingkat pertambahannya
lebih cepat: bertambah rata-rata Rp 100 milyar tiap tahun selama
tiga tahun terakhir. Kalau ditahun anggaran 1974/1975 ia baru
merupakan 33% dari penerimaan dalam negeri di luar minyak, maka
pada 1977/1978 sudah 36%. Di tahun anggaran sekarang ini,
jumlahnya diharapkan naik dengan Rp 200 milyar -- dua kali lipat
pertambahan tiap tahun sebelumnya-dan akan menyumbang 39% dari
seluruh penerimaan dalam negeri di luar minyak. Presiden
Soeharto dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus, menyatakan bahwa
jenis penerimaan ini harus merupakan 41% dari total penerimaan
dalam negeri di luar minyak, selama Pelita III yang akan mulai
awal April.
Dapatkah Ditjen Pajak mencapai hal ini? Satu pertanyaan yang
sangat tidak enak saat ini, karena setiap orang tahu betul, apa
akibatnya bagi ekonomi Indonesia bila Ditjen Pajak gagal
mencapai apa yang ditugaskan kepadanya. Sekalipun demikian,
beberapa indikasi menunjukkan bahwa Ditjen Pajak masih akan bisa
terus meningkatkan penerimaan pajaknya, sekalipun mungkin tidak
akan sebesar yang diinginkan. Selama Pelita III nanti jumlah
perusahaan PMA dan PMDN yang berakhir masa libur pajaknya akan
bertambah, dan saat itu jumlahnya diperkirakan akan mencapai
sekitar 4000 perusahaan.
Begitu pula jumlah wajib pajak yang tercatat ternyata hanya
separuh yang benar-benar membayar pajak. Mereka yang membayar
pajak pendapatan baru 107.000 orang, sedang yang terdaftar
187.000 orang. Jumlah perusahaan yang merupakan wajib pajak
perseroan tercatat 32.000 tapi yang membayar pajak baru 15.600.
Jumlah ini ternyata tak banyak bedanya dengan yang tercatat
selama Pelita I.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini