Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang tinggal hanyalah kabut

Pameran lukisan karya almarhum zaini di galeri baru tim, jakarta, dalam rangka memperingati setahun meninggalnya sang pelukis. (sr)

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETAHUN yang lalu Zaini pergi. Kepergiannya yang tiba-tiba itu sering membuat kita mengira kepergian itu tidak lama. Seakan suatu waktu dia masih akan kembali di tengah kita dengan segala kehangatan kepribadiannya dan kekuatan lukisannya." Demikian tulis Umar Kayam dalam katalogus pameran Zaini almarhum, 27 September - 2 Oktober di Galeri Baru TIM. "Zaini -- Sebuah Pameran memang untuk memperingati setahun meninggalnya sang pelukis (Ahad pagi, 25 September 1977). Sebagai salah seorang pelukis yang baik, tentulah dia tak akan begitu saja tersingkirkan dari sejarah seni lukis Indonesia. Walaupun kita memang belum punya museum seni rupa yang representatif. Ataupun majalah seni rupa yang bisa menyebarluaskan peristiwa dan masalah-masalah seni rupa yang ada. Seorang pelukis yang giat berpameran semasa hidupnya -- apalagi yang laris lukisan-lukisannya -- bisa saja setelah dia tiada, generasi berikutnya tak bisa menikmati karyanya. Bahkan teman seangkatannya mungkin tak diberi kesempatan melihat kembali karya-karya yang sudah banyak "lari" dibawa pembeli, apalagi kalau larinya ke luar negeri. Demikianlah terjadi dengan karya para pelukis almarhum: Sholihin, Kartono Yudhokusumo, Trisno Sumardjo. Bahkan Popo Iskandar, pelukis dan penulis seni rupa, membatalkan menulis sebuah buku tentang Kartono Yudhokusumo karena: "bahan-bahan"nya sulit didapat. Kegaiban Alam Akan halnya lukisan Zaini sendiri memang boleh dikatakan tidaklah semenonjol karya Affandi, misalnya. Juga tidak diikuti beramai-ramai oleh generasi berikutnya -- bahkan cenderun dikritik. Meski perlu dicatat, bahwa jalannya sejarah kesenian memang tidak harus selalu melanjutkan, tapi juga menentang yang ada. Zaini, lahir tahun 1924 di Pariaman Sumatera Barat, adalah seorang yang melukis "untuk mencoba melukiskan kembali kegaiban yang ada dalam alam." Dalam soal itu boleh dikata dia berhasil. Dalam karya-karya pastelnya tahun 40-an hal itu sudah nampak. Bentuk-bentuk obyek sudah tidak jelas lagi. Apakah ayam atau kepala orang, lebih kurang hanya merupakan sapuan warna dominan pada latar belakang sapuan warna juga. Yang datang kepada kita ialah suasana keseluruhan dan bukannya bentuk. Suasana itu memang masih terasa sampai karya-karyanya terakhir. Dan teknik pelukisannya memang telah dipilih Zaini dengan pas. Lukisannya sendiri tidak dibuat langsung menghadap obyek, tapi dipindahkannya dari sketsa Keuntungannya, dengan begitu ia tak terikat lagi dengan bentuk seperti sudah diutarakan. Kerugiannya, emosi langsung ketika berhadapan dengan obyek tentulah sulit timbul kembali hanya dengan melihat sketsanya. Saya kira hal itulah yang menjadi masalahnya sejak tahun 70-an. Karyakaryanya tahun 70-an banyak dikritik mengutamakan gaya, hanya mencari efek artistik dan sebagainya. Sementara Zaini waktu itu (tahun 1973) memang berterus terang: "Pokoknya saya ini sudah tidak puas lagi dengan yang sudah ada. Dengan yang lama. Dan mau cari jalan baru, dalam keserasian bentuk." Seorang pelukis tentulah tak dapat begitu saja menghindarkan diri dari pengaruh -- apalagi dari teman seangkatan, setidaknya kalau dia menyukainya dan itu memang wajar sekali. Beberapa orang berpendapat nafas karya Zaini bisa ditemukan dalam beberapa lukisan pelukis seangkatannya, misalnya Srihadi. Mungkin benar, mungkin tidak. Yang jelas, salah seorang pelukis Indonesia yang dikagumi Zaini memang Srihadi itu. Dan kalau ditinjau dari perkembangan karya-karyanya, bisa dikatakan Zaini terpengaruh Srihadi pada periode tertentu. Tapi tak penting benar untuk mengusut siapa terpengaruh siapa, bila pengaruh itu ternyata hanya menambah kekukuhan kepribadiannya sendiri. Sementara itu "kegaiban alam" rupanya makin sulit ditampilkan Zaini. Agaknya benar, bila beberapa pelukis dan pengamat hanya mendapatkan "keindahan dangkal" saja. Satu kenikmatan estetis yang cepat habis, yang disuguhkan Zaini dalam karya-karyanya 70-an. Baru kira-kira akhir 1975 dan awal 1976 ia menemukan jalannya. Dalam pamerannya di TIM Nopember 1976, ada dua karya yang melejit dari suasana kebuntuan rata-rata karyanya waktu itu. Dua-duanya boleh dibilang non-figuratif seratus persen -- hanya menyuguhkan kuning-oker sebagai latar dan sapuan-sapuan sedikit putih dan hitam. Di situ "keaiban alam" muncul kembali. Alam waktu itu, mungkin, bagi sang pelukis bukan lagi bentuk remang-remang. Tapi sama sekali sudah tak berbentuk. "Kekurang ajaran"nya melenyapkan bentuk dan hanya meninggalkan sapuan -- padahal ia tetap bertolak dari sketsa -- agaknya merupakan usaha pembebasannya dari efek artistik melulu. Akhirnya segalanya harus kembali ke tiada. Bentuk pun lebur. Warna membaur. Yang tinggal hanyalah kabut. Sayang sekali Zaini tak sempat melanjutkan itu. Setelah pamerannya tahun 1976 agaknya ia memang tak banyak berkarya. Banyak kanvas-kanvas yang ditutupnya kembali dengan cat putih, dan banyak karya-karya yang memang terasa masih harus dilanjutkan, ketika pada tanggal 25 September 1977 ia masuk ke dalam kegaiban alam yang sejati. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus