SETAHUN yang lalu Zaini pergi. Kepergiannya yang tiba-tiba itu
sering membuat kita mengira kepergian itu tidak lama. Seakan
suatu waktu dia masih akan kembali di tengah kita dengan segala
kehangatan kepribadiannya dan kekuatan lukisannya." Demikian
tulis Umar Kayam dalam katalogus pameran Zaini almarhum, 27
September - 2 Oktober di Galeri Baru TIM.
"Zaini -- Sebuah Pameran memang untuk memperingati setahun
meninggalnya sang pelukis (Ahad pagi, 25 September 1977).
Sebagai salah seorang pelukis yang baik, tentulah dia tak akan
begitu saja tersingkirkan dari sejarah seni lukis Indonesia.
Walaupun kita memang belum punya museum seni rupa yang
representatif. Ataupun majalah seni rupa yang bisa
menyebarluaskan peristiwa dan masalah-masalah seni rupa yang
ada. Seorang pelukis yang giat berpameran semasa hidupnya --
apalagi yang laris lukisan-lukisannya -- bisa saja setelah dia
tiada, generasi berikutnya tak bisa menikmati karyanya.
Bahkan teman seangkatannya mungkin tak diberi kesempatan melihat
kembali karya-karya yang sudah banyak "lari" dibawa pembeli,
apalagi kalau larinya ke luar negeri. Demikianlah terjadi dengan
karya para pelukis almarhum: Sholihin, Kartono Yudhokusumo,
Trisno Sumardjo. Bahkan Popo Iskandar, pelukis dan penulis seni
rupa, membatalkan menulis sebuah buku tentang Kartono
Yudhokusumo karena: "bahan-bahan"nya sulit didapat.
Kegaiban Alam
Akan halnya lukisan Zaini sendiri memang boleh dikatakan
tidaklah semenonjol karya Affandi, misalnya. Juga tidak diikuti
beramai-ramai oleh generasi berikutnya -- bahkan cenderun
dikritik. Meski perlu dicatat, bahwa jalannya sejarah kesenian
memang tidak harus selalu melanjutkan, tapi juga menentang yang
ada.
Zaini, lahir tahun 1924 di Pariaman Sumatera Barat, adalah
seorang yang melukis "untuk mencoba melukiskan kembali kegaiban
yang ada dalam alam." Dalam soal itu boleh dikata dia berhasil.
Dalam karya-karya pastelnya tahun 40-an hal itu sudah nampak.
Bentuk-bentuk obyek sudah tidak jelas lagi. Apakah ayam atau
kepala orang, lebih kurang hanya merupakan sapuan warna dominan
pada latar belakang sapuan warna juga. Yang datang kepada kita
ialah suasana keseluruhan dan bukannya bentuk.
Suasana itu memang masih terasa sampai karya-karyanya terakhir.
Dan teknik pelukisannya memang telah dipilih Zaini dengan pas.
Lukisannya sendiri tidak dibuat langsung menghadap obyek, tapi
dipindahkannya dari sketsa Keuntungannya, dengan begitu ia tak
terikat lagi dengan bentuk seperti sudah diutarakan.
Kerugiannya, emosi langsung ketika berhadapan dengan obyek
tentulah sulit timbul kembali hanya dengan melihat sketsanya.
Saya kira hal itulah yang menjadi masalahnya sejak tahun 70-an.
Karyakaryanya tahun 70-an banyak dikritik mengutamakan gaya,
hanya mencari efek artistik dan sebagainya. Sementara Zaini
waktu itu (tahun 1973) memang berterus terang: "Pokoknya saya
ini sudah tidak puas lagi dengan yang sudah ada. Dengan yang
lama. Dan mau cari jalan baru, dalam keserasian bentuk."
Seorang pelukis tentulah tak dapat begitu saja menghindarkan
diri dari pengaruh -- apalagi dari teman seangkatan, setidaknya
kalau dia menyukainya dan itu memang wajar sekali. Beberapa
orang berpendapat nafas karya Zaini bisa ditemukan dalam
beberapa lukisan pelukis seangkatannya, misalnya Srihadi.
Mungkin benar, mungkin tidak. Yang jelas, salah seorang pelukis
Indonesia yang dikagumi Zaini memang Srihadi itu.
Dan kalau ditinjau dari perkembangan karya-karyanya, bisa
dikatakan Zaini terpengaruh Srihadi pada periode tertentu. Tapi
tak penting benar untuk mengusut siapa terpengaruh siapa, bila
pengaruh itu ternyata hanya menambah kekukuhan kepribadiannya
sendiri.
Sementara itu "kegaiban alam" rupanya makin sulit ditampilkan
Zaini. Agaknya benar, bila beberapa pelukis dan pengamat hanya
mendapatkan "keindahan dangkal" saja. Satu kenikmatan estetis
yang cepat habis, yang disuguhkan Zaini dalam karya-karyanya
70-an. Baru kira-kira akhir 1975 dan awal 1976 ia menemukan
jalannya.
Dalam pamerannya di TIM Nopember 1976, ada dua karya yang
melejit dari suasana kebuntuan rata-rata karyanya waktu itu.
Dua-duanya boleh dibilang non-figuratif seratus persen -- hanya
menyuguhkan kuning-oker sebagai latar dan sapuan-sapuan sedikit
putih dan hitam. Di situ "keaiban alam" muncul kembali. Alam
waktu itu, mungkin, bagi sang pelukis bukan lagi bentuk
remang-remang.
Tapi sama sekali sudah tak berbentuk. "Kekurang ajaran"nya
melenyapkan bentuk dan hanya meninggalkan sapuan -- padahal ia
tetap bertolak dari sketsa -- agaknya merupakan usaha
pembebasannya dari efek artistik melulu. Akhirnya segalanya
harus kembali ke tiada. Bentuk pun lebur. Warna membaur. Yang
tinggal hanyalah kabut.
Sayang sekali Zaini tak sempat melanjutkan itu. Setelah
pamerannya tahun 1976 agaknya ia memang tak banyak berkarya.
Banyak kanvas-kanvas yang ditutupnya kembali dengan cat putih,
dan banyak karya-karya yang memang terasa masih harus
dilanjutkan, ketika pada tanggal 25 September 1977 ia masuk ke
dalam kegaiban alam yang sejati.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini