Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dari selamatan ke semut

Berbagai cara petani memberantas wereng. mulai dengan selamatan, bikin sesaji dengan menaburkan ampas kelapa dicampur gula ke sekeliling sawah untuk memancing semut.(ling)

25 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAKIM menghadapi lebaran ini tidak terlalu gelisah. Setidaknya beras untuk ketupat tersedia. Orang desa itu dari Tegalarum, Magetan, seperti banyak petani lainnya di Jawa Timur telah memetik panen gadu yang tahun ini berhasil. Tapi "takut kalau panen akan datang gagal lagi," kata Takim, 53 tahun. Ia teringat pada panen raya sebelumnya yang hampir gagal total akibat serangan wereng. "Hampir setiap malam ada selamatan di sawah," cerita Suyono, tetangga Takim. Selesai selamatan, para pesertanya selalu melekan (tidak tidur) semalam suntuk, hingga suasana sawah tidak sepi. Suyono bertindak lebih hebat lagi. Suatu malam, karena gelisah akan nasib padinya, ia menuju sawah. Sabit di tangannya, sarung di lehernya. Hendak memenggal wereng satu demi satu? Bukan, ia hampir terjerembab ke dalam lumpur karena kaget melihat sesosok tubuh telanjang mengelilingi petak sawah di sebelahnya. Itu rupanya tetangga yang sedang menjalani nasehat "orang tua" supaya berlari 7 keliling, sambil kumat-kamit. "Jalan apa saja sudah ditempuh, demi menyelamatkan padinya," sambung Suyono. Swiekee Petani Mulyono, 58 tahun, dari desa Kesamben, Blitar, memakai ilmu lain. Ia pernah jadi guru SMA dan petugas penyuluh pertanian. Dari pengalamannya di desa, ia teringat tempijit (kutu busuk) bisa dihalau dengan semut. Mungkin wereng pun bisa dihalau dengan cara sama, pikirnya. Tetapi di petak sawahnya yang seperempat hektar tidak ada semut. "Padahal waktu kecil kaki sering kegatalan karena digrgit semut di sawah ini," tuturnya. Memindahkannya dari tempat lain tentu sulit. Ketika masih kecil, neneknya selalu sibuk menempatkan sesajen di setiap sudut sawah itu. Sesaji yang diletakkan di takir daun terbuat dari gula Jawa campur ampas kelapa. Mulyono ingat betul bahwa yang makan sesaji itu bukannya dewi Sri, seperti diceritakan neneknya, tetapi ratusan semut. Sambil tersipu Mulyono pun mulai menyiapkan sesaji. Kali ini untuk memancing semut. Jumlah semut tidak tanggung-tanggung setelah 50 kg ampas kelapa dan 3 kg gula Jawa rata ditaburkan ke sekeliling sawahnya itu. Tidak terbatas sampai di situ. Setiap minggu ia menaburkan jumlah yang sama di sawahnya. "Sawah saya memang selamat," kata Mulyono, "padahal kanan-kiri saya dimakan wereng semua." Mulyono sekarang sudah bertekad untuk tidak lagi mempergunakan pestisida, yang bisa mematikan semut yang justru diperlukan untuk melawan wereng. Apa yang dikerjakan Mulyono memang masuk akal. Menurut A. Fatich Marzuki, Ketua Yayasan Satwa Liar Indonesia (Yasatwal) di Surabaya, banyak binatang lain yang bisa dipakai sebagai lawan wereng. Misalnya burung walet, kodok dan kelalawar. Menyadari ini Fatich mengusulkan supaya pelelangan sarang burung walet ditiadakan. Keadaan populasi burung walet sudah mengkhawatirkan. Fatich mengemukakan bahwa ratarata seekor burung walet memakan 750 wereng dalam sehari kelalawar 500 sehari, sedang rekor dipegang kodok yang sanggup menghabiskan 1000 wereng sehari. Justru kodok ini sudah l)anyak ditangkap sebagai makanan swiekee. Semut berjasa karena gemar memakan telor wereng. "Kalau telornya hahis, werengnya kan juga habis," kelakar Fatich, yang dua bulan lalu pernah diundang Menteri PPLH, Emil Salim, untuk menguraikan pengamatannya terhadap burung walet. Fatich menjelaskan bahwa kian banyak satwa liar yang langka, akibat habitatnya disemprot pestisida. Penyemprotan pestisida merupakan aspek panca usaha yang dianjurkan pemerintah. Efek sampingannya cukup mengkhawatirkan bagi lingkungan hidup. Usaha untuk mengurangi pengaruh negatif pestisida sudah lama dijalankan di berbagai negara. Di Amerika misalnya dipergunakan Adjuvan, suatu cairan yang dicampurkan dengan pestisida dan menjamin lengketnya obat itu pada batang padi, biarpun diguyur hujan deras. Di Indonesia produk serupa sudah dihasilkan sejak tahun 1975. Cairan itu bernama Rohantik, dan dibuat PT Jawa Engineering di Tegal. Namun mungkin karena promosinya kurang, banyak petani belum mengetahui adanya produk semacam itu di pasaran. Suatu penelitian yang dilakukan LP3 Bogor dengan Mipcin (jenis pestisida) membuktikan daya bunuh obat ini tinggal 16% bila terguyur hujan, satu jam setelah disemprotkan. Sedangkan kalau dicampur Rohantik, daya bunuhnya bertahan sampai 86%. Akibat obat itu tetap lengket di batang dan daun padi, dan akhirnya menguap, ia tidak mencemarkan tanah atau air sekelilingnya. Suatu hal yang menguntungkan satwa yang menjadikan tanah dan air itu habitatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus