TAKIM menghadapi lebaran ini tidak terlalu gelisah. Setidaknya
beras untuk ketupat tersedia. Orang desa itu dari Tegalarum,
Magetan, seperti banyak petani lainnya di Jawa Timur telah
memetik panen gadu yang tahun ini berhasil.
Tapi "takut kalau panen akan datang gagal lagi," kata Takim, 53
tahun. Ia teringat pada panen raya sebelumnya yang hampir gagal
total akibat serangan wereng.
"Hampir setiap malam ada selamatan di sawah," cerita Suyono,
tetangga Takim. Selesai selamatan, para pesertanya selalu
melekan (tidak tidur) semalam suntuk, hingga suasana sawah
tidak sepi.
Suyono bertindak lebih hebat lagi. Suatu malam, karena gelisah
akan nasib padinya, ia menuju sawah. Sabit di tangannya, sarung
di lehernya. Hendak memenggal wereng satu demi satu? Bukan, ia
hampir terjerembab ke dalam lumpur karena kaget melihat sesosok
tubuh telanjang mengelilingi petak sawah di sebelahnya. Itu
rupanya tetangga yang sedang menjalani nasehat "orang tua"
supaya berlari 7 keliling, sambil kumat-kamit. "Jalan apa saja
sudah ditempuh, demi menyelamatkan padinya," sambung Suyono.
Swiekee
Petani Mulyono, 58 tahun, dari desa Kesamben, Blitar, memakai
ilmu lain. Ia pernah jadi guru SMA dan petugas penyuluh
pertanian. Dari pengalamannya di desa, ia teringat tempijit
(kutu busuk) bisa dihalau dengan semut. Mungkin wereng pun bisa
dihalau dengan cara sama, pikirnya.
Tetapi di petak sawahnya yang seperempat hektar tidak ada semut.
"Padahal waktu kecil kaki sering kegatalan karena digrgit semut
di sawah ini," tuturnya. Memindahkannya dari tempat lain tentu
sulit.
Ketika masih kecil, neneknya selalu sibuk menempatkan sesajen di
setiap sudut sawah itu. Sesaji yang diletakkan di takir daun
terbuat dari gula Jawa campur ampas kelapa. Mulyono ingat betul
bahwa yang makan sesaji itu bukannya dewi Sri, seperti
diceritakan neneknya, tetapi ratusan semut.
Sambil tersipu Mulyono pun mulai menyiapkan sesaji. Kali ini
untuk memancing semut. Jumlah semut tidak tanggung-tanggung
setelah 50 kg ampas kelapa dan 3 kg gula Jawa rata ditaburkan ke
sekeliling sawahnya itu. Tidak terbatas sampai di situ. Setiap
minggu ia menaburkan jumlah yang sama di sawahnya.
"Sawah saya memang selamat," kata Mulyono, "padahal kanan-kiri
saya dimakan wereng semua." Mulyono sekarang sudah bertekad
untuk tidak lagi mempergunakan pestisida, yang bisa mematikan
semut yang justru diperlukan untuk melawan wereng.
Apa yang dikerjakan Mulyono memang masuk akal. Menurut A. Fatich
Marzuki, Ketua Yayasan Satwa Liar Indonesia (Yasatwal) di
Surabaya, banyak binatang lain yang bisa dipakai sebagai lawan
wereng. Misalnya burung walet, kodok dan kelalawar. Menyadari
ini Fatich mengusulkan supaya pelelangan sarang burung walet
ditiadakan. Keadaan populasi burung walet sudah mengkhawatirkan.
Fatich mengemukakan bahwa ratarata seekor burung walet memakan
750 wereng dalam sehari kelalawar 500 sehari, sedang rekor
dipegang kodok yang sanggup menghabiskan 1000 wereng sehari.
Justru kodok ini sudah l)anyak ditangkap sebagai makanan
swiekee.
Semut berjasa karena gemar memakan telor wereng. "Kalau telornya
hahis, werengnya kan juga habis," kelakar Fatich, yang dua bulan
lalu pernah diundang Menteri PPLH, Emil Salim, untuk menguraikan
pengamatannya terhadap burung walet.
Fatich menjelaskan bahwa kian banyak satwa liar yang langka,
akibat habitatnya disemprot pestisida. Penyemprotan pestisida
merupakan aspek panca usaha yang dianjurkan pemerintah. Efek
sampingannya cukup mengkhawatirkan bagi lingkungan hidup.
Usaha untuk mengurangi pengaruh negatif pestisida sudah lama
dijalankan di berbagai negara. Di Amerika misalnya dipergunakan
Adjuvan, suatu cairan yang dicampurkan dengan pestisida dan
menjamin lengketnya obat itu pada batang padi, biarpun diguyur
hujan deras.
Di Indonesia produk serupa sudah dihasilkan sejak tahun 1975.
Cairan itu bernama Rohantik, dan dibuat PT Jawa Engineering di
Tegal. Namun mungkin karena promosinya kurang, banyak petani
belum mengetahui adanya produk semacam itu di pasaran.
Suatu penelitian yang dilakukan LP3 Bogor dengan Mipcin (jenis
pestisida) membuktikan daya bunuh obat ini tinggal 16% bila
terguyur hujan, satu jam setelah disemprotkan. Sedangkan kalau
dicampur Rohantik, daya bunuhnya bertahan sampai 86%. Akibat
obat itu tetap lengket di batang dan daun padi, dan akhirnya
menguap, ia tidak mencemarkan tanah atau air sekelilingnya.
Suatu hal yang menguntungkan satwa yang menjadikan tanah dan air
itu habitatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini