DENGAN latar belakang pendidikan Sekolah Tinggi Publisistik 3
tahun, Ismail Soebardjo (36) sesudah beberapa lama menjadi
wartawan dan bosan, mengikuti Kino Workshop dan selesai 1973.
Kemudian menjadi asisten sutradara Turino Junaedi dalam 3 film,
lalu 1 film lagi bersama Sofia WD. Sesudah merasa bisa, 1976
menyutradarai sendiri Remaja 76. Filmnya yang kedua, Binalnya
Anak Muda nyaris mengangkatnya sebagai sutradara terbaik dalam
FFI '79. Kini dia baru saja menyelesaikan skenario berdasar
cerita yang akan digarapnya sendiri, Anak-anak Buangan. Berikut
ini wawancaranya dengan TEMPO
Kenapa anda selalu menggarap masalah para remaja?
Saya punya kecintaan yang besar terhadap remaja. Dengan film
pertama saya, Remaja '76, meskipun itu hanya sketsa dalam satu
periode, saya membela mereka. Di tengah tuduhan bahwa para
remaja waktu itu hanya cenderung bernarkotik dan bobrok, saya
tunjukkan, dengan film itu, bahwa tidak semua remaja. Hanya
sebagian kecil.
Saya ingin menampilkan keresahan mereka. Para remaja sedang
bingung, tak tahu mau ke mana. Dan saya melalui film ingin
memberi semacam jalan keluar kepada mereka. Ini penting, karena
masa remaja ialah saat-saat yang menentukan kepribadian
seseorang. Pada saat sekolah menjadi sesuatu yang lux saking
mahalnya, saya ingin memindahkan sekolah ke gedung bioskop.
Mungkin idealisme saya ini akan ditertawakan.
Kenapa kebanyakan sutradara kita selalu membuat film jelek?
Karena ada dua macam sutradara. Sutradara yang menganggap
bidangnya sebagai media tempat berekspresi dan mengolah ide, dan
sutradara yang menganggap bidang itu sebagai tempat cari makan
atau kekayaan. Sutradara golongan kedua itulah yang mau membuat
film apa saja, pokoknya uang.
Dalam banyak film kita, selalu ada adegan mimpi yang tak ada
hubungannya dengan inti cerita, tapi ternyata digarap lebih
bagus dan malah terasa lebih wajar. Kenapa?
Karena adegan impian bisa dibikin dengan leluasa. Sutradara
tidak terbentur pada batasan tertentu. Dia bisa bekerja
sepuasnya. Dan kalau benar terasa lebih wajar, itu berarti
sutradaranya tidak mengenal kenyataan sebenarnya dari hal-hal
yang harus digambarkannya sebagai kenyataan. Dia lebih banyak
dan lebih suka bermimpi. Tapi lepas dari itu, masyarakat kita
memang gemar impian, dan selalu menceritakan mimpi-mimpinya
dengan penuh semangat. Meskipun sia-sia.
Dalam menyelesaikan konflik cerita, kenapa hampir semua
sutradara, termasuk anda, memakai jalan pintas atau cari
gampangnya saja sehingga terasa janggal dan aneh?
Biasanya itu karena kesulitan di lapangan atau karena hendak
menghemat biaya. Dan satu hal yang sekarang ini harus
diperhatikan betul ialah, adanya pembatasan masa putar dari para
pemilik bioskop. Mereka tak ingin masa-putar satu film lebih
dari satu setengah jam, sebab harus menyiarkan iklan. Tak ada
pihak yang bisa berbuat apat-apa menghadapi pembatasan waktu
itu. Akibatnya produser dan pembuat film harus memikirkan:
daripada dipotong orang bioskop, lebih baik dipotong sendiri.
Dan itu bisa berarti menghilangkan motivasi-motivasi atau
kelancaran cerita. Apa boleh buat Tapi hal ini haus dipecahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini