Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ingin memindahkan sekolah

Wawancara tempo dengan ismail subardjo tentang kesenangannya menggarap masalah para remaja. kebanyakan sutradara membuat film jelek, ada adegan mimpi yang tak ada hubungannya. (fl)

25 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN latar belakang pendidikan Sekolah Tinggi Publisistik 3 tahun, Ismail Soebardjo (36) sesudah beberapa lama menjadi wartawan dan bosan, mengikuti Kino Workshop dan selesai 1973. Kemudian menjadi asisten sutradara Turino Junaedi dalam 3 film, lalu 1 film lagi bersama Sofia WD. Sesudah merasa bisa, 1976 menyutradarai sendiri Remaja 76. Filmnya yang kedua, Binalnya Anak Muda nyaris mengangkatnya sebagai sutradara terbaik dalam FFI '79. Kini dia baru saja menyelesaikan skenario berdasar cerita yang akan digarapnya sendiri, Anak-anak Buangan. Berikut ini wawancaranya dengan TEMPO Kenapa anda selalu menggarap masalah para remaja? Saya punya kecintaan yang besar terhadap remaja. Dengan film pertama saya, Remaja '76, meskipun itu hanya sketsa dalam satu periode, saya membela mereka. Di tengah tuduhan bahwa para remaja waktu itu hanya cenderung bernarkotik dan bobrok, saya tunjukkan, dengan film itu, bahwa tidak semua remaja. Hanya sebagian kecil. Saya ingin menampilkan keresahan mereka. Para remaja sedang bingung, tak tahu mau ke mana. Dan saya melalui film ingin memberi semacam jalan keluar kepada mereka. Ini penting, karena masa remaja ialah saat-saat yang menentukan kepribadian seseorang. Pada saat sekolah menjadi sesuatu yang lux saking mahalnya, saya ingin memindahkan sekolah ke gedung bioskop. Mungkin idealisme saya ini akan ditertawakan. Kenapa kebanyakan sutradara kita selalu membuat film jelek? Karena ada dua macam sutradara. Sutradara yang menganggap bidangnya sebagai media tempat berekspresi dan mengolah ide, dan sutradara yang menganggap bidang itu sebagai tempat cari makan atau kekayaan. Sutradara golongan kedua itulah yang mau membuat film apa saja, pokoknya uang. Dalam banyak film kita, selalu ada adegan mimpi yang tak ada hubungannya dengan inti cerita, tapi ternyata digarap lebih bagus dan malah terasa lebih wajar. Kenapa? Karena adegan impian bisa dibikin dengan leluasa. Sutradara tidak terbentur pada batasan tertentu. Dia bisa bekerja sepuasnya. Dan kalau benar terasa lebih wajar, itu berarti sutradaranya tidak mengenal kenyataan sebenarnya dari hal-hal yang harus digambarkannya sebagai kenyataan. Dia lebih banyak dan lebih suka bermimpi. Tapi lepas dari itu, masyarakat kita memang gemar impian, dan selalu menceritakan mimpi-mimpinya dengan penuh semangat. Meskipun sia-sia. Dalam menyelesaikan konflik cerita, kenapa hampir semua sutradara, termasuk anda, memakai jalan pintas atau cari gampangnya saja sehingga terasa janggal dan aneh? Biasanya itu karena kesulitan di lapangan atau karena hendak menghemat biaya. Dan satu hal yang sekarang ini harus diperhatikan betul ialah, adanya pembatasan masa putar dari para pemilik bioskop. Mereka tak ingin masa-putar satu film lebih dari satu setengah jam, sebab harus menyiarkan iklan. Tak ada pihak yang bisa berbuat apat-apa menghadapi pembatasan waktu itu. Akibatnya produser dan pembuat film harus memikirkan: daripada dipotong orang bioskop, lebih baik dipotong sendiri. Dan itu bisa berarti menghilangkan motivasi-motivasi atau kelancaran cerita. Apa boleh buat Tapi hal ini haus dipecahkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus