DIAWALI sebuah film laris, Akibat Pergaulan Bebas (Matnoor
Tindaon), Pekan Film Karya Para Sutradara Muda diselenggarakan
Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta di TIM -- 7, 8, 9, 12 dan 13
Agustus. Sambutan cukup baik, meski Remaja '76 (Ismail
Soebardjo) dan Ali Topan Anak Jalanan (Ishak Iskandar) dalam
keadaan cukup rusak. Untung yang lain tidak: Garis-garis Hidup
(Dasri Yakob) dan Pengalaman Pertama (Yopie Burnama).
Dengan 5 bintang termahal, Akibat Pergaulan Bebas bercerita
tentang Roy (tentu saja Roy Marten) yang pacaran dengan Lia
(Yenny Rachman). Gadis dusun yang blo'on tapi berhasil
memelihara keperawanannya untuk suatu ketika diikhlaskannya pada
Roy. Lia berharap, kekasihnya itu mau mengawini Rita (Yati
Octavia), kakak misan Lia, yang dihamili Nico (Robby Sugara),
yang ogah bertanggungjawab. Tapi Roy, ketika diberi justru
menolak -- padahal dulu ia pernah ingin mengambil keperawanan
Lia tapi gagal sehingga kecewa dan terdekap Sandra (Doris
Callebout), pelacur klas tinggi yang lantas menggigitnya dengan
penyakit kotor.
Lebih Pantas Gratis
Sementara itu Rita yang hamil menjadi panik. Setelah pergi ke
dokter dan gagal, dia pergi ke dukun pijat untuk menggugurkan
kandungannya -- sampai ajal. Dan Nico? Hidung belang itu pun
menemui ajalnya biasa, masuk jurang bersama mobilnya -- ketika
membawa perempuan lain. Itu saja.
Ternyata film ini lebih baik dari keempat film lainnya yang
diputar dalam pekan ini. Setidaknya Matnor Tindaon, sebagai
pemula, sudah bisa bertutur dengan lancar serta berusaha
menggarap karakter tokoh-tokohnya. Tapi adegan sex-nya --
sebagaimana lazimnya -- cukup kasar, meski satu-dua kali juga
bisa memancing tawa.
Remaja '76, sebagaimana diakui sutradaranya, Ismail Soebardjo,
hanyalah sketsa yang tak memiliki dimensi (lihat box).
Bercerita tentang murid-murid SMA (semua peran dipanggil sesuai
dengan nama pelakunya) dan terutama tentang Purnomo, anak rantau
yang selalu mengalami keterlambatan wesel dari orangtuanya --
yang telah mengirimkannya ke Jakarta untuk hanya sekolah di SMA
dan indekos di sebuah rumah bagus.
Betapa pun janggalnya kondisi di atas, Pur adalah ketua kelas
yang digambarkan sangat bertanggungjawab, pintar, jago basket
dan jadi rebutan cewe --setidaknya diperebutkan Nanin Sudiar dan
Yuni Arcan. Karena itu, Nanin dan Yuni lantas bermusuhan sengit.
Tapi akhirnya, berkat minyak angin Yuni, ketika Nanin sakit
perut, permusuhan punah -- dan mereka bersahabat, selalu
berjalan berdua mengapit si cowo idaman. Di akhir cerita,
ketiganya menjadi juara kelas . . .
Cerita yang lemah, dibuat oleh seorang pemula yang hanya ingin
belajar mengungkapkan secuplik ide lewat gambar plus
mempraktekkan ilmu yang diperolehnya dalam kursus, memang tak
perlu terlalu dituntut. Film semacam itu rasanya lebih pantas
dibuat oleh sebuah instansi pemerintah untuk kepentingan dakwah
dan diputar gratis untuk anak sekolah.
Tapi itulah titik tolak yang sangat penting bagi seorang Ismail
Soebardjo, yang dengan film itu saja mendapat penghargaan dalam
FFI '77. Dengan filmnya yang kedua, Binalnya Anak Muda, Ismail
memasuki nominasi sebagai sutradara terbaik di FFI '79 yang
lalu. Suatu lompatan.
Diangkat dari sebuah novel, Ali Topan Anak Jalanan adalah wajah
klasik cinta. Ali Topan (Junaedi) yang badung, jatuh cinta pada
Anna Karenina (Yati Octavia) dari keluarga feodal. Tentu
orangtua Anna gusar dan melarang. Anna pun berontak, kabur dari
rumah bersama Topan, ke rumah kakak Anna -- yang sudah
berkeluarga karena hamil duluan dan karena itu dibenci
orangtuanya. Pertemuan kembali orangtua bersama kedua anak
perempuannya di sebualh desa di gunung, telah memaksa orangtua
itu menerima "kekuatan cinta".
Menyebalkan
Kelebihan novel Teguh Esha itu, yakni pada penggambaran karakter
tokoh-tokohnya, tak berhasil dipelihara sutradara Ishak
Iskandar. Nyaris dingin, padahal cinta antara Topan dengan Anna
konon begitu menggebu. Sedang humor, mustinya diperhitungkan
sebagai ciri keremajaan anak SMA yang ceplas-ceplos dan
ugal-ugalan. Film ini jadi melayang, tidak menancap. Untung ada
musik yang digarap Guruh Soekarno, yang mampu mengilaskah
suasana-suasana.
Garis-garis Hidlp, tentang cinta segitiga antara 2 perempuan
kakak-beradik: Lenny Marlina dan Doris Callebout dengan Rudy
Salam. Doris naksir Rudy, tanpa tahu bahwa diam-diam Rudy jatuh
cinta pada Lenny, teman kerjanya yang juga anak direktur
perusahaan tempatnya bekerja. Dengan berbagai cara Doris
menguber Rudy. Lalu ketika Lenny dan Doris tahu bahwa mereka
naksir lelaki yang sama, keduanya bermusuhan.
Akhirnya Rudy, yang konon beribu bekas pelacur yang jadi germo
itu, menikah dengan Lenny tanpa disaksikan kedua orangtuanya.
Ibunya yang germo tak mau datang, sedang ayahnya menghilang
sejak Rudy masih bayi. Nah, ayah Rudy itu ternyata kawin dengan
perempuan yang melahirkan Doris. Dan siapakah Lenny? Gampang
saja jawabnya: Lenny ternyata anak pungut. Jadi boleh kawin
dengan Rudy. Doris cukup jadi adik tiri Rudy saja. Suatu pola
cerita yang klasik dan menyebalkan.
Kalau dalam film yang disutradarai Dasri Yakob itu si ayah yang
meninggalkan anaknya, maka dalam film Pengalaman Pertama (Yopie
Burnama), yang sama-sama tentang cinta segitiga, yang
meninggalkan anak ialah si ibu. Ceritanya Yulia (Yati Octavia),
pacaran dengan teman sekelasnya di sebuah SMA, yaitu Andy (Roy
Marten). Nah, Yulia ternyata anak angkat sbuah keluarga dokter.
Dengan penasaran, dia lalu mencari ibunya yang sudah kawin
dengan seorang pemihak kebun teh di sebuah gunung, dan
melahirkan anak perempuan sebaya Yulia, Ayu (Yenny Rachman).
Merasa gelisah ditinggal pergi pacarnya, Andy menyusul ke gunung
-- dan ditaksir Ayu. Maka Yulia dan Ayu bermusuhan. Lalu, ketika
bapak Si Ayu tahu siapa sesungguhnya Yulia, ia menjadi marah --
sebab merasa dikibuli bininya yang punya masa lalu buruk, yaitu
melahirkan Yulia tanpa suami. Si ibu lantas pergi dari rumah
itu, tapi kemudian disusul Yulia dan Andy dan Ayu dan juga si
suami. Selesai.
Sulit rasanya mengakui bahwa film-film macam itulah yang disukai
masarakat, mengingat rendahnya itu selera. Cerita yang begitu
gampangan, dangkal, bahkan bodoh, disajikan dengan semangat
coba-coba. Tapi sudahlah. Memang begitulah mereka -- atau kita.
Yudhistira ANM Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini