Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Pacaran, cinta, pacaran...

Pekan film karya para sutradara muda diselenggarakan kine club dewan kesenian jakarta di tim. ternyata film sutradara muda kita, dangkal. disajikan dengan semangat coba-coba. (fl)

25 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAWALI sebuah film laris, Akibat Pergaulan Bebas (Matnoor Tindaon), Pekan Film Karya Para Sutradara Muda diselenggarakan Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta di TIM -- 7, 8, 9, 12 dan 13 Agustus. Sambutan cukup baik, meski Remaja '76 (Ismail Soebardjo) dan Ali Topan Anak Jalanan (Ishak Iskandar) dalam keadaan cukup rusak. Untung yang lain tidak: Garis-garis Hidup (Dasri Yakob) dan Pengalaman Pertama (Yopie Burnama). Dengan 5 bintang termahal, Akibat Pergaulan Bebas bercerita tentang Roy (tentu saja Roy Marten) yang pacaran dengan Lia (Yenny Rachman). Gadis dusun yang blo'on tapi berhasil memelihara keperawanannya untuk suatu ketika diikhlaskannya pada Roy. Lia berharap, kekasihnya itu mau mengawini Rita (Yati Octavia), kakak misan Lia, yang dihamili Nico (Robby Sugara), yang ogah bertanggungjawab. Tapi Roy, ketika diberi justru menolak -- padahal dulu ia pernah ingin mengambil keperawanan Lia tapi gagal sehingga kecewa dan terdekap Sandra (Doris Callebout), pelacur klas tinggi yang lantas menggigitnya dengan penyakit kotor. Lebih Pantas Gratis Sementara itu Rita yang hamil menjadi panik. Setelah pergi ke dokter dan gagal, dia pergi ke dukun pijat untuk menggugurkan kandungannya -- sampai ajal. Dan Nico? Hidung belang itu pun menemui ajalnya biasa, masuk jurang bersama mobilnya -- ketika membawa perempuan lain. Itu saja. Ternyata film ini lebih baik dari keempat film lainnya yang diputar dalam pekan ini. Setidaknya Matnor Tindaon, sebagai pemula, sudah bisa bertutur dengan lancar serta berusaha menggarap karakter tokoh-tokohnya. Tapi adegan sex-nya -- sebagaimana lazimnya -- cukup kasar, meski satu-dua kali juga bisa memancing tawa. Remaja '76, sebagaimana diakui sutradaranya, Ismail Soebardjo, hanyalah sketsa yang tak memiliki dimensi (lihat box). Bercerita tentang murid-murid SMA (semua peran dipanggil sesuai dengan nama pelakunya) dan terutama tentang Purnomo, anak rantau yang selalu mengalami keterlambatan wesel dari orangtuanya -- yang telah mengirimkannya ke Jakarta untuk hanya sekolah di SMA dan indekos di sebuah rumah bagus. Betapa pun janggalnya kondisi di atas, Pur adalah ketua kelas yang digambarkan sangat bertanggungjawab, pintar, jago basket dan jadi rebutan cewe --setidaknya diperebutkan Nanin Sudiar dan Yuni Arcan. Karena itu, Nanin dan Yuni lantas bermusuhan sengit. Tapi akhirnya, berkat minyak angin Yuni, ketika Nanin sakit perut, permusuhan punah -- dan mereka bersahabat, selalu berjalan berdua mengapit si cowo idaman. Di akhir cerita, ketiganya menjadi juara kelas . . . Cerita yang lemah, dibuat oleh seorang pemula yang hanya ingin belajar mengungkapkan secuplik ide lewat gambar plus mempraktekkan ilmu yang diperolehnya dalam kursus, memang tak perlu terlalu dituntut. Film semacam itu rasanya lebih pantas dibuat oleh sebuah instansi pemerintah untuk kepentingan dakwah dan diputar gratis untuk anak sekolah. Tapi itulah titik tolak yang sangat penting bagi seorang Ismail Soebardjo, yang dengan film itu saja mendapat penghargaan dalam FFI '77. Dengan filmnya yang kedua, Binalnya Anak Muda, Ismail memasuki nominasi sebagai sutradara terbaik di FFI '79 yang lalu. Suatu lompatan. Diangkat dari sebuah novel, Ali Topan Anak Jalanan adalah wajah klasik cinta. Ali Topan (Junaedi) yang badung, jatuh cinta pada Anna Karenina (Yati Octavia) dari keluarga feodal. Tentu orangtua Anna gusar dan melarang. Anna pun berontak, kabur dari rumah bersama Topan, ke rumah kakak Anna -- yang sudah berkeluarga karena hamil duluan dan karena itu dibenci orangtuanya. Pertemuan kembali orangtua bersama kedua anak perempuannya di sebualh desa di gunung, telah memaksa orangtua itu menerima "kekuatan cinta". Menyebalkan Kelebihan novel Teguh Esha itu, yakni pada penggambaran karakter tokoh-tokohnya, tak berhasil dipelihara sutradara Ishak Iskandar. Nyaris dingin, padahal cinta antara Topan dengan Anna konon begitu menggebu. Sedang humor, mustinya diperhitungkan sebagai ciri keremajaan anak SMA yang ceplas-ceplos dan ugal-ugalan. Film ini jadi melayang, tidak menancap. Untung ada musik yang digarap Guruh Soekarno, yang mampu mengilaskah suasana-suasana. Garis-garis Hidlp, tentang cinta segitiga antara 2 perempuan kakak-beradik: Lenny Marlina dan Doris Callebout dengan Rudy Salam. Doris naksir Rudy, tanpa tahu bahwa diam-diam Rudy jatuh cinta pada Lenny, teman kerjanya yang juga anak direktur perusahaan tempatnya bekerja. Dengan berbagai cara Doris menguber Rudy. Lalu ketika Lenny dan Doris tahu bahwa mereka naksir lelaki yang sama, keduanya bermusuhan. Akhirnya Rudy, yang konon beribu bekas pelacur yang jadi germo itu, menikah dengan Lenny tanpa disaksikan kedua orangtuanya. Ibunya yang germo tak mau datang, sedang ayahnya menghilang sejak Rudy masih bayi. Nah, ayah Rudy itu ternyata kawin dengan perempuan yang melahirkan Doris. Dan siapakah Lenny? Gampang saja jawabnya: Lenny ternyata anak pungut. Jadi boleh kawin dengan Rudy. Doris cukup jadi adik tiri Rudy saja. Suatu pola cerita yang klasik dan menyebalkan. Kalau dalam film yang disutradarai Dasri Yakob itu si ayah yang meninggalkan anaknya, maka dalam film Pengalaman Pertama (Yopie Burnama), yang sama-sama tentang cinta segitiga, yang meninggalkan anak ialah si ibu. Ceritanya Yulia (Yati Octavia), pacaran dengan teman sekelasnya di sebuah SMA, yaitu Andy (Roy Marten). Nah, Yulia ternyata anak angkat sbuah keluarga dokter. Dengan penasaran, dia lalu mencari ibunya yang sudah kawin dengan seorang pemihak kebun teh di sebuah gunung, dan melahirkan anak perempuan sebaya Yulia, Ayu (Yenny Rachman). Merasa gelisah ditinggal pergi pacarnya, Andy menyusul ke gunung -- dan ditaksir Ayu. Maka Yulia dan Ayu bermusuhan. Lalu, ketika bapak Si Ayu tahu siapa sesungguhnya Yulia, ia menjadi marah -- sebab merasa dikibuli bininya yang punya masa lalu buruk, yaitu melahirkan Yulia tanpa suami. Si ibu lantas pergi dari rumah itu, tapi kemudian disusul Yulia dan Andy dan Ayu dan juga si suami. Selesai. Sulit rasanya mengakui bahwa film-film macam itulah yang disukai masarakat, mengingat rendahnya itu selera. Cerita yang begitu gampangan, dangkal, bahkan bodoh, disajikan dengan semangat coba-coba. Tapi sudahlah. Memang begitulah mereka -- atau kita. Yudhistira ANM Massardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus