KETIKA Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah mendirikan istana Siak Sri Inderapura pada akhir abad ke-19 di Siak, Bengkalis, Riau, ia tak meresahkan penduduk tepian sungai. Puluhan tahun kemudian, tatkala kerajaan ini berakhir pada tahun 1946, air Sungai Siak tetap mengalir, bening dan segar. Air itu layak minum, juga tetap bisa dimanfaatkan untuk menanak nasi. Dan seperti biasa, penduduk mencari ikan di sana. Ketenteraman mereka terusik sejak sejumlah pabrik berdiri di sepanjang sungai itu. Abdul Gani, seorang nelayan di Kampung Kuala Gasip, Kecamatan Siak, mengungkapkan bahwa sudah lima tahun penduduk merasakan akibatnya. "Dulu kami bisa mengumpulkan Rp 15.000 sehari dari menangkap ikan dan udang. Sekarang untuk Rp 3.000 saja sulitnya bukan main," kata Abdul Gani mengeluh. Ternyata, anak-anak ikan dan udang bermatian. Bocah-bocah yang mandi di sungai terserang gatal. Bahkan sejak 1987 penduduk menampung air hujan untuk minum dan menanak nasi. Apa yang terjadi di Kuala Gasip juga menimpa penduduk kampung di daerah aliran sungai (DAS). Dan telunjuk mereka terarah ke-18 pabrik yang memproduksi kertas, plywood, karet, minyak sawit. Mengapa? Pabrik-pabrik itu membuang limbahnya ke Sungai Siak, hingga mencelakakan hidup mereka. Tapi baru pada bulan Juni 1990, 90 wakil warga dari Kuala Gasip dan Perawang (100 kilometer dari Kuala Gasip) melayangkan surat protes ke Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Dalam surat itu, ikut dikecam PT Indah Kiat -- berlokasi di Perawang, 80 kilometer dari Pekanbaru. Produsen pulp yang dianggap telah "mencemari" nasionalisme itu -- karena mendatangkan ratusan tenaga kerja dari Cina -- ikut dituduh menabur malapetaka di Sungai Siak. Protes mereka didengar, September 1990, Pusat Penelitian Universitas Riau (Unri) meneliti DAS antara Kuala Gesik dan Perawang. Dari sejumlah parameter baku mutu air, terlihat adanya penurunan kualitas air. Kadar oksigen biokimia (BOD) di sepanjang DAS, besarnya 9,20 hingga 150, 30ppm (kadar maksimum yang ditolerir menurut KLH hanya 6 ppm). Kadar oksigen kimia (COD) mencapai 11,30 hingga 197,8 ppm (yang ditolerir maksimum cuma 10 ppm). Kadar lemak dan minyak berada di atas 3 ppm, bahkan ada yang lebih dari 18 ppm. Adapun kadar maksimumnya cuma 0,1 ppm. Dan kandungan oksigen terlarut (DO) juga tak sesuai ketentuan -- hanya 3,100 hingga 5,679 ppm (seharusnya tidak boleh kurang dari 6 ppm). Dua tahun sebelum warga protes, Chainulfiffah Abdullah (dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unri) sudah prihatin melihat kondisi Sungai Siak. Dia lalu meneliti DAS di dekat lokasi PT Indah Kiat di Perawang. Kesimpulannya sama: air sungai itu tak layak untuk diminum dan menanak nasi. Alasannya? Air sungai itu berbuih dan berbau tak sedap. Warnanya hitam. Biota air banyak yang mati. Kadar lemak dan minyak mengurangi intensitas cahaya matahari yang menembus air sungai, sehingga menghambat proses fotosintesa dan menurunkan kandungan oksigen terlarut. Ini banyak ditemukan di lokasi pembuangan limbah Indah Kiat sejak beroperasi tahun 1984. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), Juli 1992 mengirimkan tim ke Siak. Mereka mengakui adanya pencemaran sungai yang antara lain disebabkan oleh limbah Indah Kiat. Bapedal lalu menyuruh agar perusahaan itu menutup saluran pembuangan limbah yang langsung dialirkan ke sungai tanpa diolah dulu. Tatkala Bapedal Pusat meninjau lagi, Maret 1992, Indah Kiat telah membuat instalasi pengolah limbah. "Setahu saya Indah Kiat sekarang berhasil menurunkan kadar pencemaran limbahnya," ujar M. Gempur Adnan, seorang staf Bapedal, diseminar Pengendalian Limbah Cair Industri Tekstil dan Makanan, yang diadakan oleh mahasiswa Kimia FMIPA Universitas Indonesia, di Jakarta pekan lalu. Namun penduduk bicara lain. Kata mereka, air Sungai Siak tetap tak bisa diminum. Sebuah sumber di Biro KLH Riau mengatakan, Indah Kiat pintar main kucing-kucingan, sementara pabrik lain terus membandel. "Bila ada pemeriksaan, mereka buru-buru menutup saluran pembuangan limbahnya. Setelah tim pergi, mereka mulai lagi," kata sumber itu. Tentang ini, orang-orang Indah Kiat yang dihubungi di Pekanbaru maupun Jakarta tampaknya lebih senang tutup mulut. Seperti pernah diberitakan TEMPO, LBH akan mengajukan tuntutan pada Indah Kiat. Mas Achmad, yang dikutip Jakarta Post, mengungkapkan bahwa LBH menuntut atas nama 120 keluarga (meliputi 3.000 orang) dari empat kampung yang tercemar. Katanya, tak ada upaya dari Indah Kiat untuk mencari penyelesaian diluar pengadilan. Jadi, proses meja hijau tak terelakkan. Belum lagi kasus Sungai Siak teratasi, timbul kasus Sungai Ciujung, Serang, Jawa Barat. Baru-baru ini, penduduk di tepi Ciujung melihat ikan-ikan menggelepar. Kabarnya, dari sejumlah perusahaan yang beroperasi di sana, Indah Kiat dianggap paling berdosa. Mereka dituduh membuang limbah seenaknya. Pihak Indah Kiat pun angkat suara. "Buangan limbah kami sudah diolah dan memenuhi persyaratan yang ditentukan KLH," kata Solichin, kepala humas perusahaan ini. Dari Sumatera Utara terbetik kabar serupa. Ikan-ikan di Sungai Belumai, di Kabupaten Deli serdang, banyak yang mati. Bau busuk menyeruak dari air yang hitam. Bila mandi di sana, kulit gatal-gatal. Lintah bermunculan, hal yang tidak pernah terjadi sebelum 10 pabrik membuang limbah ke sana. Kini, mungkin amat sulit mencari sungai yang bersih. Dihitung-hitung," sekitar 70% sungai di Indonesia tercemar," kata Gempur Adnan. "Sedangkan peraturan dan sanksi yang kita tetapkan belum sepenuhnya jalan," ujarnya lagi. Priyono B. Sumbogo, Irwan E. Siregar, Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini