DEVISA memang merupakan komoditi yang aneh. Sistem devisa bebas, teorinya menjamin hak setiap orang untuk menerima, memiliki, dan mentransfer devisa, berapa pun jumlahnya. Masalahnya adalah tidak selalu ada jaminan jumlah devisa cukup. Karena itu, tidak ada jaminan, hak tiap orang untuk memiliki devisa berapa pun bisa dihormati. Mekanisme pasar pada komoditi lain bisa menyelesaikan masalah ini dengan mudah. Kelangkaan akan menimbulkan kenaikan harga. Tapi ancaman kelangkaan devisa tidak selalu berarti ancaman kenaikan kurs. Penyesuaian kurs, atau devaluasi, karena dampaknya yang rumit, tidak bisa menjadi instrumen kebijaksanaan yang otomatis begitu saja. Persoalan ini timbul karena tantangan ekonomi Indonesia sekarang ini adalah bagaimana di satu pihak menjaga kemantapan neraca pembayaran yang sekarang ini agak rawan dengan makin memberatnya beban pembayaran utang dan dilain pihak menjamin hak setiap orang untuk memiliki devisa berapa pun. Bank Dunia, dalam laporan terakhirnya, menyarankan agar Indonesia memonitor dengan ketat perkembangan utang komersial dari luar negeri. Ali Wardhana, dalam seminar ISEI di Banjarmasin baru-baru ini, menyebut utang luar negeri Indonesia sudah berada "di ambang batas". Dia mengusulkan agar tim PKLN (Pinjaman Komersial Luar Negeri) dijadikan tim yang permanen, dan tidak bersifat ad hoc. Kekhawatiran yang dikemukakan itu tampaknya secara implisit didasarkan atas beberapa asumsi. Pertama, pertumbuhan ekspor, terutama ekspor nonmigas, akan melemah, hingga tak akan banyak menolong neraca pembayaran. Kedua, perkembangan makroekonomi akan terus mendorong perusahaan-perusahaan disini untuk mencari utang dari luar negeri. Atau dengan katalain, kesenjangan antara tabungan dan investasi dalam negeri (investment gap) tidak akan bisa ditutup dengan mobilisasi sumber-sumber dana dari dalam negeri. Ketiga, penyesuaian kurs rupiah terhadap mata uang asing secara sadar tidak akan digunakan sebagai instrumen kebijaksanaan, kecuali dalam situasi yang terpaksa dan darurat. Sementara itu, yang kurang setuju dengan pengendalian utang luar negeri yang ketat berpendapat bahwa yang penting adalah penggunaan utang tersebut untuk sektor yang benar-benar produktif. Kesulitan argumen ini, biasanya Anda baru tahu satu proyek itu produktif atau tidak setelah proyek itu selesai dibangun dan berjalan. Produktif atau tidaknya suatu proyek tidak bisa disimpulkan mentah-mentah dari studi kelayakan yang diberikan pengusaha kepada bank. Terlalu banyak unsur manipulasi dalam studi kelayakan. Atau kalau ada studi kelayakan yang berusaha jujur, mereka ternyata kurang memperhitungkan pengaruh eksternal. Ketika pabrik selesai dibangun dan siap untuk mengekspor, ternyata pada saat yang sama, RRC dan Muangthai merampungkan pabrik yang sama. Akibatnya, pasar kebanjiran barang, dan harga jatuh. Proyek yang dibangun tidak menghasilkan seperti apa yang diharapkan, padahal kredit komersial sudah digunakan. Kredit komersial swasta dari luar negeri memang melonjak, tapi sebagian besar pelonjakan itu terjadi selama dua tahun pada 1989-1990, ketika terjadi boom investasi di Indonesia. Pada 1991, jumlah persetujuan PMDN mencapai Rp 60 trilyun (tiga kali tahun sebelumnya) dan persetujuan PMA mencapai US$ 8,8 milyar (dua kali tahun sebelumnya). Dalam waktu setahun, utang komersial swasta melonjak dari US$ 10 milyar menjadi US$ 16 milyar. Jumlah sebenarnya mungkin lebih besar, karena banyak yang tak melaporkan, dan memang tak ada kewajiban untuk melapor. Tahun 1992-1993 ini, pembayaran bunga untuk kredit komersial swasta ini akan mencapai US$ 4 milyar. Dua tahun sebelumnya baru berjumlah US$ 1,7 milyar. Ketika kebijaksanaan uang ketat diberlakukan, suku bunga kredit di dalam negeri tiba-tiba melonjak. Ini mendorong swasta untuk beramai-ramai mencari pinjaman di luar negeri, yang bunganya lebih rendah. Sebab lain melonjaknya utang swasta dari luar negeri adalah adanya kekaburan batas antara apa yang disebut proyek pemerintah dan proyek swasta. Banyak proyek swasta yang besar dikaitkan dengan BUMN, hingga memberi kesan bahwa proyek-proyek tersebut mendapat beking dari pemerintah, dan karena itu pemerintah "dengan otomatis" akan menjamin kreditnya. Para pengusaha swasta ini dalam mencari sindikasi pinjaman mengikutsertakan bank-bank pemerintah, hingga banyak lembaga keuangan di luar negeri yang terpikat dan ikut memberi pinjaman. Sekarang ini, karena berbagai faktor makro-ekonomi, laju pertambahan utang luar negeri sektor swasta sudah menurun drastis. Dengan demikian, lonjakan utang swasta dari luar negeri merupakan gejala sementara, suatu respons dari satu situasi yang luar biasa. Dengan sendirinya, usaha mengawasi perkembangan utang luar negeri tidak harus menjurus pada hadirnya institusi yang permanen. Apalagi kalau institusi ini merupakan manifestasi dari sebuah legitimasi untuk intervensi, pengontrolan administratif dan fiat atas pasar komoditi yang bernama devisa. Mekanisme seperti ini bagaimanapun juga tidak akan bisa menutup rapat lubang untuk penyalahgunaan lobi perusahaan besar terhadap kekuasaan politik, yang bisa merugikan kepentingan ekonomi nasional. Mekanisme pasar harus dijaga agar tidak mengganggu penyampaian sinyal-sinyal pasar kepada unit-unit ekonomi, terutama yang menyangkut biaya dan risiko yang harus mereka tanggung untuk tindakan mereka. Apabila pembayaran cicilan dan bunga akan membahayakan neraca pembayaran, pasar akan memberi sinyal dalam bentuk naiknya suku bunga. Meningkatnya suku bunga utang komersial Indonesia dari 0,6-0,8% di atas LIBOR (London Inter-Bank Offered Rate) pada pertengahan 1980-an menjadi sekitar 1,5% di atas LIBOR sekarang ini merupakan hasil reevaluasi pasar uang internasional terhadap risiko kredit (country risk) Indonesia yang memburuk. Sebaliknya, bila suku bunga di dalam negeri makin turun, perangsang untuk mencari kredit luar negeri akan berkurang. Lalu lintas utang akan dipengaruhi oleh kebijaksanaan makroekonomi di dalam negeri. Pemerintah dengan demikian tak perlu lagi melakukan intervensi yang bisa mengurangi hak seseorang atau perusahaan untuk berutang dari luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini