KEHIDUPAN dalam fil-film Ingmar Bergman adalah kehidupan penuh luka. Tapi, untuk menciptakan luka itu, tidak diperlukan kambing hitam. Tidak diperlukan seorang tokoh jahat untuk membuat orang lain menderita. Karena setiap orang saling menyakiti, dan mereka adalah orang-orang biasa, yang dalam kehidupan sehari-hari disebut orang baik-baik. Dalam Pekan Film Swedia yang berlangsung pekan lalu di TIM, Jakarta, penonton disuguhi film-film yang membuat nama Bergman menjadi besar. Ada lima film Bergman yang diputar, plus sebuah film dokumenter tentang pembuatan Fanny and Alexander. Memang tidak ada peristiwa besar. Bagaimana bisa penuh surprise jika kamera hanya memperlihatkan dua orang yang "omong-omong sepanjang 168 menit" seperti dalam Scenesfrom a Marriage? Tapi, tentu saja, percakapan ekstra panjang itu, yang akan sangat menyiksa bagi mereka yang seleranya telah terjajah film-film Hollywood, bukanlah omong kosong. Dalam Scenes from a Marriage (1973), Bergman membongkar rahasia kehidupan sampai ke dalam kamar. Percakapan danpertengkaran suami-istri yang paling tabu, tapi yang sangat dikenal siapa pun yang pernah berumah tangga, tampil di layar seolah-olah tanpa disunting. Dalam film-filmnya Bergman tidak menyuting kehidupan menjadi tontonan. Ia memenggal dan menyodorkan kehidupan personal pada penonton seperti apa adanya. Bukan berarti film-film Bergman tidak artistik. Justru dari segi itulah nama Bergman menjulang. Shot panjang dari close up seorang pemain selama berpuluh-puluh menit, misalnya, dengan sangat berhasil mengeksplorasi seni peran tingkat empu dari para pemain seperti Liv Ullmann dan Ingrid Bergman. Pada Autumn Sonata (1978), kebesaran Bergman terlihat dari kemampuannya dalam menahan diri untuk tidak berindah-indah. Cahaya musim gugur yang keemasan selalu berbinar pada percakapan dalam kamar, dan kemampuan juru kamera Sven Nykvist lebih dari cukup untuk menghadirkan panorama gemilang diluarnya. Toh satu dari sedikit shot di luar rumah hanyalah panorama sekilas dalam sebuah adegan percakapan di kereta api. Keindahan visual mencapai puncak kualitasnya justru karena tidak diobral. Keindahan dalam film-film Bergman memang bukan keindahan fisik. Sehingga, kalau kita ingin bicara tentang pencapaian sinematografi Bergman, itu pasti bukanlah perkara pencapaian optik. Film-film Bergman menjadi besar karena tema kecil, karena ia telah bersikap sangat jujur terhadap dirinya sendiri. Ada beberapa faktor yang menjadi dasar penciptaan karya-karyanya: kemunafikan kelas borjuis yang menjadi lingkungan masa kecilnya, kekuasaan mutlak kaum bapak, dan bagian yang kaku dari tradisi Kristen Protestan. Dengan begitu, cukup dengan setia pada sejarah hidupnya, Bergman mampu menghasilkan film-film yang sangat realistis, subtil, dan pada gilirannya menunjukkan luka dalam kehidupan manusia. Film Smiles of a Summer Night (1955), misalnya, secara satiris lewat sebuah komedi romantik bergaya teater, diperlihatkan ketermangu-manguan seorang anak yang bapaknya kelewat berkuasa, tapi menemukan pembebasan dalam cinta seorang babu. Dalam Wild Strawberries (1957), dengan pencapaian fotografi hitam putih yang prima, dikisahkan retrospeksi seorang profesor tua atas masa lalunya, dalam suatu perjalanan untuk menerima penghargaan. Pada fim-film ini, kita akan melihat bahwa bahasa film digunakan Bergman dengan sangat efisien. Sebuah dissolve muncul karena harus ada, bukan untuk mencari efek. Adapun After the Rehearsal (1984), yang cuma 74 menit, berkisah tentang affair seorang sutradara teater dengan dua wanita, ibu dan anak, meski sebetulnya belum terjadi apa-apa antara sutradara itu dan si aktris muda, yang justru menawarkan dirinya. Yang istimewa dari film ini, Bergman setia pada idiom teater -- juga masa lalu -- sehingga penggambaran flash-back sangat khas gaya panggung, tanpa efek dari laboratorium. Seluruh adegan dimainkan di atas panggung, seperti dalam teater, cuma saja tidak berteriak-teriak. Keberadaan Autumn Sonata boleh dianggap istimewa, karena merupakan pertemuan pertama dan terakhir dari "dua Bergman". Ingrid, yang membangun kariernya di luar Swedia, berperan sebagai ibu yang digugat anaknya setelah tujuh tahun berpisah. Mula-mula mereka kelihatan gembira, namun dengan intens Bergman mencungkil borok kehidupan, dan si anak, yang dimainkan secara gemilang oleh Liv Ullmann, akhirnya memaki-maki ibunya. Ingrid Bergman dengan luar biasa memerankan seorang ibu dan wanita pemain piano yang sukses tapi berkepribadian sulit. Menikmati film-film Bergman jelas memerlukan "ketabahan"untuk mengikuti percakapan panjang tokoh-tokohnya. Tapi perlu ditegaskan, percakapan panjang itu berfungsi betul-betul sebagai percakapan dalam hidup sehari-hari, untuk membedakannya dengan fim-film Jean-Luc Godard atau Eric Rohmer dari Prancis, yang menggunakan adegan percakapan sebagai ajang diskusi. Pekan film Ingmar Bergman ini tentu adalah suatu oase kebudayaan, pada saat pendangkalan perabadan yang semakin menggejala di sekitar kita. Seno Gumira Ajidarma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini