Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Proses administrasi pengalihan utang (debt swap) untuk konservasi alam antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat rampung pada 15 Januari 2025.
Debt-swap US$ 35 juta yang pertama untuk kegiatan konservasi terumbu karang.
Dana pengalihan utang itu untuk mendukung pelindungan dan konservasi ekosistem terumbu karang di Bentang Laut Kepala Burung.
PEMERINTAH Amerika Serikat dan Indonesia akhirnya merampungkan proses administrasi pengalihan utang (debt swap) untuk konservasi alam antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat pada 15 Januari 2025. “Akhirnya rampung juga meski mundur,” kata Manajer Senior Urusan Eksternal Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) itu, Senin, 3 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seharusnya, kesepakatan pengalihan itu diteken kedua negara pada Desember 2024. Proses yang rumit dalam poin-poin perjanjian kedua negara mengalihkan utang yang harus dibayar menjadi kegiatan konservasi membuat kesepakatannya molor. Skema ini disebut debt for nature swap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Debt for nature swap adalah skema pengalihan pembayaran utang bagi negara berkembang yang dinilai telah memenuhi syarat oleh pemerintah Amerika Serikat untuk dimanfaatkan sebagai dana konservasi alam.
Menurut Laksmi, debt-swap sebesar US$ 35 juta (sekitar Rp 573 miliar) merupakan yang pertama kali untuk kegiatan konservasi terumbu karang. YKAN, kata Laksmi, telah mengelola dana pengalihan utang sejak 2014. “Waktu itu fokusnya untuk konservasi hutan hujan tropis.”
Pengelolaan dana pengalihan utang yang dimaksudkan Laksmi itu adalah Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan. Program ini merupakan pengalihan utang kedua antara pemerintah Amerika Serikat dan pemerintah Indonesia dengan The Nature Conservancy dan World Wildlife Fund for Nature sebagai swap partner. Dananya untuk melindungi keanekaragaman hayati, menjaga karbon hutan, dan meningkatkan penghidupan masyarakat di Kalimantan.
Konservasi Terumbu Karang dengan Listrik
YKAN terlibat karena menjadi mitra lokal The Nature Conservancy. Laksmi menyebutkan TFCA Kalimantan melakukan konservasi terhadap 11 spesies andalan, di antaranya orang utan, badak Sumatera, pesut, rangkong, bekantan, dan lutung Borneo. “Konservasi yang dilakukan berupa pelindungan habitat, pelepasliaran, perbaikan data, kampanye, penyusunan rencana aksi konservasi, investigasi peredaran tumbuhan dan satwa ilegal, serta translokasi satwa,” ujarnya.
Direktur Konservasi Ekosistem dan Biota Perairan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) M. Firdaus Agung Kunto Kurniawan mengatakan dana pengalihan utang tersebut akan difokuskan untuk mendukung pelindungan dan konservasi ekosistem terumbu karang di dua bentang laut di wilayah Indonesia timur, yakni Bentang Laut Kepala Burung seluas 34.864.659,63 hektare dan Bentang Laut Sunda Kecil-Banda seluas 124.389.365,70 hektare.
"Pemilihan lokasi prioritas merupakan kesepakatan kedua negara yang didasarkan pada kajian ilmiah. Wilayah tersebut merupakan kawasan segitiga karang dan kawasan yang diakui terumbu karangnya memiliki kelentingan tinggi terhadap perubahan iklim, serta mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi dan berperan penting bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat," kata Firdaus, Selasa, 5 Februari 2025.
Firdaus menyebutkan Indonesia diperkirakan menjadi habitat bagi lebih dari 16 persen luas terumbu karang di dunia dan 60 persen spesies terumbu karang. Ekosistem terumbu karang Indonesia, kata dia, menyediakan makanan, mata pencarian, serta perlindungan dari bencana bagi penduduk di Indonesia dan dunia. "Sehingga terumbu karang di Indonesia menjadi sangat penting untuk dijaga kelestariannya."
Melalui pengalihan utang ini, kata Firdaus, Indonesia mendapat dukungan finansial untuk melestarikan terumbu karang. Dia mengatakan skema pengalihan utang merupakan implementasi Undang-Undang Konservasi Hutan Tropis dan Terumbu Karang (TFCCA) Amerika Serikat. Besaran total pengalihan utang untuk program TFCCA adalah US$ 35 juta, yang mencakup kontribusi sebesar US$ 3 juta dari Conservation International/Yayasan Konservasi Cakrawala Indonesia dan US$ 1,5 juta dari The Nature Conservancy/YKAN.
"Nilai ini tentu akan mendukung upaya konservasi terumbu karang di tengah keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara saat ini dan secara tidak langsung akan berkontribusi bagi ketahanan pangan nasional, mengingat peran ekosistem terumbu karang sebagai rumah ikan di laut," tutur Firdaus.
Dia menegaskan bahwa program TFCCA ini bukan berarti utang Indonesia dihapus, kemudian ditukar dengan penyerahan pengelolaan terumbu karang Indonesia kepada Amerika Serikat. “Melainkan bagaimana negara lain telah mengakui nilai strategis keberlanjutan ekosistem terumbu karang Indonesia bagi ekosistem global dan adanya peran aktif Indonesia sebagai pemegang kendali jalannya program,” ucapnya.
Firdaus menyebutkan penerima dana hibah dan manfaat program TFCCA adalah masyarakat lokal, masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, serta perguruan tinggi. Dana TFCCA, kata dia, dapat dimanfaatkan untuk pembentukan atau pengelolaan kawasan konservasi; restorasi atau rehabilitasi ekosistem terumbu karang dan ekosistem lain yang berasosiasi, seperti lamun dan mangrove; peningkatan kapasitas; penelitian; konservasi spesies dilindungi dan terancam punah; serta mata pencarian berkelanjutan.
Selain itu, Firdaus menambahkan, masyarakat di sekitar lokasi prioritas akan dilibatkan dalam penyusunan rencana strategis TFCCA dalam bentuk konsultasi publik untuk memastikan kesesuaian program dengan kondisi lokal. "Kelompok-kelompok masyarakat lokal dan masyarakat adat di lokasi prioritas akan menjadi target peningkatan kapasitas agar mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam mengakses dana TFCCA," katanya.
Firdaus mengatakan perjanjian TFCCA antara Indonesia dan Amerika Serikat menjadi suatu bentuk nyata bahwa menjaga kesehatan laut bukan hanya tanggung jawab Indonesia, tapi juga global. KKP, kata dia, akan senantiasa mengeksplorasi potensi-potensi untuk mendorong upaya pembiayaan konservasi laut yang lebih beragam serta berasal dari kerja sama bilateral dan multilateral. "Skema pengalihan utang dengan negara lain menjadi salah satu yang sedang dijajaki," ujarnya.
Ihwal mekanisme pengalihan utang ini dijelaskan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto. Menurut dia, cicilan dan bunga pinjaman yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor (pemerintah Amerika Serikat) akan disetor ke Trust Fund yang dikelola oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia atas kesepakatan para pihak dalam Perjanjian Konservasi Terumbu Karang (CRCA).
Dana tersebut, kata Suminto, lantas dapat digunakan untuk membiayai pelaksanaan program KKP yang berkaitan dengan konservasi terumbu karang di Indonesia. Dana tersebut juga bisa disalurkan menjadi hibah kepada pihak non-pemerintah, termasuk lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, masyarakat lokal, dan masyarakat adat yang ada di Indonesia.
Melalui program ini, menurut Suminto, dipastikan tidak akan ada aturan pembiayaan ataupun biaya tambahan yang akan menambah beban utang Indonesia. "Kebijakan ini menguntungkan karena pembayaran pinjaman tersebut akan dialihkan untuk mendukung konservasi terumbu karang di Indonesia,” ucap Suminto, Selasa, 4 Februari 2025.
Pada saat yang sama, Suminto menambahkan, pengalihan utang ini juga bermanfaat untuk memperkuat pendanaan implementasi komitmen Indonesia dalam menjaga kesehatan laut dan mendukung sumber daya perikanan berkelanjutan, meningkatkan peran masyarakat dalam konservasi terumbu karang, serta mendukung pelaksanaan program prioritas ekonomi biru yang menjadi fokus KKP. “Khususnya program perluasan kawasan konservasi laut serta program pengawasan dan pengendalian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.”
Pemandangan bawah air di Kawasan Konservasi Perairan Laut Kawe Kepulauan Wayaq Raja Ampat Papua (14/05) Masyarakat Suku Kawe memberikan kawasan wayag untuk di lakukan Sashi (larangan Berburu isi laut).Tempo/Amston Probel
Selain pengalihan utang dengan Amerika Serikat, Suminto mengatakan Indonesia telah menandatangani kesepakatan dengan pemerintah Jerman untuk perjanjian Debt2Health, yang mengubah utang Indonesia sebesar 75 juta euro menjadi investasi transformatif untuk kesehatan masyarakat. Kesepakatan itu terjadi pada pertengahan Desember 2024. "Ini merupakan Debt2Health terbesar hingga saat ini dan secara signifikan akan meningkatkan kemampuan Indonesia memerangi penyakit menular dan memperkuat sistem kesehatan."
Dana yang dikonversi akan mendukung upaya pengendalian malaria, meningkatkan infrastruktur sistem kesehatan, dan mempromosikan produksi obat-obatan lokal. Inisiatif ini dirancang untuk meningkatkan kemampuan diagnostik dan membangun sistem kesehatan yang lebih tangguh di seluruh negeri. Fokus tambahan akan diberikan pada upaya Indonesia melawan tuberkulosis (TBC). Indonesia memiliki beban TBC terbesar kedua di dunia.
Meski memiliki tujuan yang baik, Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Fanny Tri Jambore, mengingatkan pemerintah untuk tidak menggantungkan kebijakan konservasi pada dana pengalihan utang. Menurut dia, debt swap tidak akan mengurangi utang yang substansial dan tak akan menciptakan ruang fiskal yang cukup untuk mengatasi tantangan pembangunan dan iklim.
“Debt swap tidak akan menutupi cacat besar, yaitu hilangnya political will dan komitmen negara-negara Utara dan korporasi multinasional untuk menurunkan emisi sekaligus mendukung negara-negara Selatan dalam menghadapi krisis iklim,” kata Fanny, Rabu, 5 Februari 2025.
Fanny mengutip laporan Eurodad bertajuk “Miracle or Mirage? Are Debt Swaps Really a Silver Bullet” yang menyebutkan debt-for-nature swap sebagai instrumen yang lambat, kompleks, dan mahal. Debt swap cenderung memiliki biaya transaksi yang tinggi karena kompleksitas prosesnya, jumlah agen yang terlibat, lamanya periode negosiasi dan implementasi, serta penggandaan biaya transaksi dan manajemen. “Sebagian besar debt-for-nature swap yang baru; jumlah, kualitas, dan kelengkapan informasi yang tersedia tidak memadai.”
Menurut dia, meskipun debt swap kadang-kadang melibatkan partisipasi warga negara, masyarakat sipil atau entitas lokal lain dari negara pemberi pinjaman dan peminjam, hal ini tidak selalu terjadi. Selain itu, kata dia, kualitas partisipasi ini dipertanyakan dengan banyaknya kasus yang nyaris tidak lebih dari sekadar latihan pengisian centang pada formulir. Hal lain yang menjadi perhatian, menurut Fanny, adalah kurangnya pemantauan, akuntabilitas, dan evaluasi yang sistematis terhadap dampak debt swap.
Fanny menyebutkan banyak laporan mengenai tidak dilibatkannya masyarakat adat dan komunitas lokal dalam definisi ataupun pelaksanaan debt-for-nature swap di masa lalu, bahkan mengarah pada pelanggaran hak-hak mereka. “Debt swap terkadang menyebabkan masyarakat mengalami pengucilan, penolakan akses terhadap tanah dan sumber daya tradisional, penggusuran, ekstraksi pengetahuan, serta pelanggaran hak asasi manusia.”
Selain itu, kata Fanny, debt-for-nature swap dapat membuka pintu untuk melakukan greenwashing, seperti dalam kasus obligasi baru dalam skema pertukaran utang untuk alam yang diberi label sebagai “obligasi biru”. “Atas dasar itu, hibah bersyarat iklim (hibah yang ditujukan untuk proyek atau tujuan iklim) lebih efisien dibandingkan dengan debt-for-nature swap karena panjangnya waktu, kerumitan, dan tingginya biaya transaksi yang dibutuhkan dalam operasi ini,” tuturnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo