Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Lingkungan

IESR: Indonesia Sulit Hentikan PLTU Batu Bara Seperti Finlandia dalam Waktu Dekat

Masih terdapat beberapa PLTU yang umur ekonomisnya masih panjang.

9 April 2025 | 10.40 WIB

PLTU Babelan di Bekasi.
Perbesar
PLTU Babelan di Bekasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan faktor yang membuat kebijakan Pemerintah Indonesia belum bisa dalam waktu dekat mengikuti Finlandia yang telah menghentikan seluruh operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR, mengatakan jumlah kapasitas terpasang PLTU berdasarkan data Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) sekitar 50 gigawatt di tahun 2023. Secara total di sistem PLN dan captive, angka ini akan naik menuju 2030 dan bisa mendekati 75-80 gigawatt.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan RUKN, pada tahun 2030 target kapasitas listrik sebesar 160 gigawatt, di mana untuk PLTU menjadi 75 megawatt atau sebesar 47 persen. "Jadi kendala utama untuk tidak mengoperasikan PLTU, ya karena jumlah kapasitas terpasangnya yang signifikan, komitmen politik yang kurang kuat, dan persepsi bahwa PLTU memberikan harga listrik termurah," kata Deon kepada Tempo, Rabu, 8 April 2025. 

Deon menyarankan harus ada upaya scale up untuk menggantikan pembangkit yang sudah beroperasi maupun PLTU captive yang baru akan dibangun. Menurut dia, pemerintah harus memberi dukungan ke pengembangan energi terbarukan secara konsisten. "Jangan diminta harus kompetitif dengan PLTU secara langsung."

Seharusnya, kata dia, kesempatan pengembangan energi terbarukan dilakukan sejak program energi terbarukan mulai berkembang pada dekade 2010-2020. Saat ini, menurut Deon, ketika sudah terdapat kapasitas yang cukup besar, maka perlu dana besar untuk menghentikan operasionalnya. Apalagi, masih terdapat beberapa PLTU yang umur ekonomisnya masih panjang. "Sehingga ada biaya besar untuk menghentikan operasi PLTU tersebut," ucapnya.

Padahal, kata Deon, energi terbarukan potensinya sekitar 3.600 gigawatt, didominasi tenaga surya sebesar 3.300 gigawatt, dan tenaga angin sekitar 60 gigawatt. "Kelebihan surya dan angin, secara teknis keduanya bisa dibangun dengan cepat sehingga scaling up bisa diakselerasi. Tinggal bagaimana perencanaan bisa didasarkan pada potensi ini," ucapnya. 

Menurut Deon, Studi IESR, yang dirilis Februari lalu ada sekitar 333 gigawatt energi surya dan angin yang ada di radius jaringan listrik PLN yang bisa dimanfaatkan dengan tarif yang berlaku saat ini.

Deon mengatakan penghentian operasi PLTU bakal memberikan manfaat kesehatan bagi masyarakat. Menurut dia, membiarkan PLTU dibangun dan beroperasi sesuai usia kontraknya dapat berimplikasi pada kematian prematur sekitar 300 ribu jiwa dan biaya kesehatan mencapai US$ 210 miliar.

"Jika dipensiunkan sesuai tuntutan Persetujuan Paris, yaitu semua PLTU pensiun di 2040-2045 sesuai peta jalan yang IESR buat di studi di atas, maka kematian prematur bisa dihindarkan sebesar 180 ribu jiwa dan biaya kesehatan akibat polusi PLTU bisa berkurang US$ 130 miliar," ucapnya.

Irsyan Hasyim

Menulis isu olahraga, lingkungan, perkotaan, dan hukum. Kini pengurus di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, organisasi jurnalis Indonesia yang fokus memperjuangkan kebebasan pers.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus