Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia kehilangan 12,5 juta hektare hutan.
Penelitian Rory Gibb dari University College London, Inggris, menunjukkan deforestasi meningkatkan ragam satwa pembawa penyakit.
Pembabatan hutan mengurangi jumlah karnivora sehingga populasi hewan pembawa penyakit yang menjadi mangsa meningkat.
SELAMA 10 tahun terakhir, Indonesia diperkirakan kehilangan 12,5 juta hektare hutan. Jumlah ini termasuk 1.500 hektare hutan yang dibuka untuk proyek food estate warisan mantan presiden Joko Widodo di Desa Tewai Baru, Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, kini deforestasi berisiko makin menggila. Pemerintah, misalnya, berencana membuka 2 juta hektare kebun aren demi mengejar program swasembada energi melalui bioetanol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masifnya pembabatan hutan di Indonesia disebabkan pula oleh industri penebangan kayu, tekstil, kelapa sawit, dan pertambangan. Berkurangnya luas hutan ini berdampak signifikan terhadap menghilangnya habitat satwa liar.
Banyak hewan yang sumber makanannya bergantung pada hutan terpaksa mencari makanan di lahan pertanian dan permukiman warga. Interaksi antara manusia dan satwa liar pun meningkat. Beberapa di antaranya berujung konflik, yang sebagian besar terjadi di hutan sekunder, lahan wanatani, dan pertanian masyarakat.
Lebih dari itu, peningkatan interaksi manusia dengan satwa liar juga memperbesar risiko terjadinya zoonosis, yakni penyakit yang menular dari hewan ke manusia.
Pembabatan Hutan Picu Zoonosis
Penyebaran kuman dari satwa ke manusia lebih banyak terjadi di hutan sekunder, lahan pertanian, dan permukiman. Penelitian Rory Gibb dari University College London, Inggris, dan kawan-kawan yang terbit dalam jurnal Nature pada 5 Agustus 2020 menunjukkan pembabatan hutan meningkatkan keberagaman jenis satwa pembawa penyakit sebanyak 18-72 persen, dengan total jumlah spesies mencapai 144 persen lebih banyak di tiga kawasan tersebut. Hal ini jika dibandingkan ketika hewan berada di habitat alaminya, seperti hutan primer yang belum terkena dampak aktivitas manusia.
Peningkatan tersebut terjadi karena pembabatan hutan mengurangi jumlah karnivora. Walhasil, jumlah hewan pembawa penyakit yang menjadi mangsa, seperti primata, kelelawar, burung, dan tikus, makin meningkat. Virus HIV, misalnya, merupakan salah satu zoonosis yang awalnya hanya menular di antara primata.
Adapun zoonosis yang berasal dari kelelawar antara lain virus Nipah, virus Hendra, MERS, ebola, demam berdarah Marburg, dan SARS. Penyebaran SARS ataupun SARS-CoV-2 merupakan contoh dampak berkelanjutan dari penebangan hutan di Cina, Vietnam, dan Asia Tenggara.
Pekerja mengolah tanah untuk tanaman singkong di area lumbung pangan nasional 'food estate' di Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Maret 2021. ANTARA/Makna Zaezar
Berdasarkan penelitian Alisa-Aliaga Samarez dari Universidad de Málaga, Spanyol, yang dipublikasikan dalam jurnal PLOS Negeleted Tropical Diseases pada 7 Juni 2021, penebangan hutan juga meningkatkan distribusi penyakit yang dibawa oleh nyamuk, seperti malaria, Zika, dan demam berdarah. Sebanyak 75 persen penyakit yang muncul melalui jalur zoonosis merupakan penyakit infeksi baru ataupun penyakit yang timbul kembali setelah lama hilang.
Pemerintah Jangan Abai
Zoonosis memiliki dampak yang sangat luas dan bisa mengganggu banyak sektor, seperti pandemi Covid-19 lalu. Karena itu, pemerintahan Prabowo perlu mengambil langkah-langkah strategis yang komprehensif untuk mengurangi risiko penyakit zoonosis, di antaranya:
1. Memperkuat kebijakan pelindungan hutan
Pemerintah harus memperkuat kebijakan pelindungan hutan dan habitat hewan liar. Ini termasuk penegakan hukum yang lebih ketat terhadap penebangan liar dan konversi lahan yang tidak berkelanjutan.
Untuk melindungi ekosistem yang tersisa, pemerintah juga perlu mengembangkan kawasan konservasi yang efektif.
2. Meningkatkan pemantauan zoonosis
Pemerintah perlu meningkatkan surveilans kesehatan masyarakat, termasuk membuat sistem pemantauan zoonosis. Edukasi masyarakat mengenai risiko zoonosis dan cara pencegahannya juga sangat penting.
Selain itu, melakukan kolaborasi antar-pemangku kepentingan, baik di dalam negeri maupun global. Pada pertengahan 2024, pemerintah Indonesia mengadakan pertemuan dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) guna memperkuat ketahanan menghadapi penyakit menular yang berpotensi menjadi pandemi.
Kolaborasi tersebut perlu disertai dengan memperbanyak penelitian ilmiah untuk memahami lebih banyak hubungan antara hilangnya habitat, perilaku hewan, timbulnya risiko zoonosis, dan langkah-langkah penanganannya.
Melalui pendekatan holistik ini, pemerintah dapat secara efektif mengurangi dampak zoonosis terhadap kesehatan masyarakat pada masa depan.
3. Menerapkan konsep one health
Metode untuk menanggulangi penyakit zoonosis lainnya adalah menerapkan konsep one health yang mengintegrasikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan sebagai suatu kesatuan.
Melalui prinsip one health, pemerintah membuat kebijakan yang saling berkesinambungan dengan mempertimbangkan kesehatan ekosistem, kesehatan hewan, dan kesehatan masyarakat. Misalnya, kebijakan pelindungan hutan dan habitat alami dibuat untuk menjaga kelangsungan hidup spesies hewan sekaligus sebagai langkah pencegahan untuk mengurangi risiko zoonosis.
Konsep one health bisa disertakan dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan ataupun pemberian izin usaha dan pembukaan lahan. Dengan begitu, pembabatan hutan tidak bisa dilakukan semena-mena.
Dalam kasus swasembada energi, misalnya, pembabatan hutan berskala masif perlu mempertimbangkan dampak berkelanjutan terhadap ekosistem hewan, lingkungan, dan masyarakat sekitar. Sebagai gantinya, pemerintahan Prabowo bisa mengupayakan alternatif produksi bioetanol yang lebih ramah lingkungan, seperti memanfaatkan limbah sawit dan pulping.
Pada akhirnya, penerapan one health dalam kebijakan pemerintah sangat diperlukan tidak hanya untuk memastikan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan hewan, tapi juga untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi semua makhluk hidup. ●