Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bencana puting beliung bisa terjadi di Rancaekek, Kabupaten Bandung, dan sekitarnya pada Rabu, 21 Februari 2024, karena, antara lain, faktor perubahan iklim dan kenaikan suhu rata-rata global. Perlu upaya mitigasi agar amuk angin yang disebut sebagian kalangan sebagai tornado pertama di Indonesia itu terulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dhewanthi, mengungkap itu dalam diskusi bertajuk Antisipasi Fenomena Angin Puting Beliung Akibat Perubahan Iklim via Zoom, Rabu, 28 Februari 2024. "Puting beliung Rancaekek bukan perdana di Kabupaten Bandung karena pada Maret 2021 lalu pernah terjadi di Desa Cimenyan dan Oktober 2023 di Pasar Banjaran," tutur Laksmi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam konteks pengendalian perubahan iklim, kata Laksmi, pemerintah Indonesia sudah membuat regulasi dan dokumen berisikan komitmen untuk target mengurangi dampak perubahan iklim. Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 21 tahun 2022 lalu komitmen untuk Enhanced NDX 31,89 dan 43,2 persen.
Untuk target jangka panjang, menurut Laksmi, pemerintah Indonesia juga telah berkomitmen untuk Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat. "Kalau kita tidak melakukan apapun maka kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi secara global di akhir abad ini akan meningkat," kata dia.
Laksmi menuturkan, selain memasang target untuk menekan laju perubahan iklim, masyarakat bisa meminimalisir dampaknya dengan beradaptasi. Komitmen adaptasi ini bertujuan menciptakan masyarakat dan ekosistem yang berketahanan terhadap risiko dan dampak perubahan iklim di masa depan.
"Potensi kerusakannya diharapkan tidak besar dan kerugiannya bisa diatasi. Misalnya, longsor hingga banjir yang mengurangi air bersih, ini harus mampu kita atasi," kata Laksmi.
Lebih lanjut, Laksmi menyampaikan langkah adaptasi ini diharapkan bisa dilakukan dengan banyak alternatif, di antaranya dengan energi surya, melindungi mata air dan membuat embung. Pengelolaan lahan tanpa bakar serta memproduksi olahan kerajinan tangan juga disebutnya bisa untuk beradaptasi pada perubahan iklim.