Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Duka Cita Bagi Walet

Biro rehabilitasi peningkatan dan pengembangan burung walet di Surabaya menyatakan bahwa populasi burung walet di Jawa diambang kepunahan bila tidak ditangani dengan serius. (ling)

16 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN, dalam empat tahun mendatang akan muncul iklan dukacita bagi burung walet. Soalnya, Biro Rehabilitasi Peningkatan dan Pengembangan Burung Walet yang berkantor di Surabaya sudah menyatakan burung itu berada di ambang kepunahan. Kapan? "Empat tahun mendatang, kalau keadaan sekarang dibiarkan berlarut," tutur Achmad Fatich Marzuki, Kepala Biro tersebut. "Usia biologis burung walet (Collocalia) memang hanya empat tahun," tambah mahasiswa ekonomi Universitas Airlangga itu. Nasib walet di Jawa itu tak jauh berbeda dengan situasi di habitatnya yang lain. Seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT), NTB, dan sebagainya. Bahkan menurut Fatich, 35 tahun, "populasi walet sekarang tinggal 10% dari populasinya di zaman kolonial dulu." Padahal di negeri-negeri tetangga seperti Filipina, Sarawak (Malaysia Timur), Semenanjung Melayu (Malaysia Barat) maupun Muangthai, burung-burung hitam kecil itu berkembang terus populasina. Soalnya, di sana kehidupan walet ditangani dengan serius oleh pemerintah. Nilai ekonomis sarang burung walet telah mengancam kelestarian burung itu sendiri. Celakanya, "belum ada instansi pemerintah yang mau menangani urusan burung itu dengan serius di sini" ujar ahli burung itu. Itu berbeda dengan di zaman Belanda, ketika pemerintah kolonial khusus menunjuk seorang "mantri walet" di daerah Tuban, Gresik dan sekitarnya. Harga sarang burung pemangsa wereng itu kini dapat mencapai nilai Rp 70 ribu/kg untuk yang bermutu baik (putih, tanpa noda). Itu harga Surabaya, Semarang, atau Jakarta. Harga Singapura dan Hongkong -- yang dirintis pasarannya oleh para tengkulak walet sejak abad ke-19 -- bisa sampai dua kali lipat. Sementara di Muangthai, tahun lalu harganya Rp 200 ribu/kg (setiap kg terdiri dari 150 sampai 200 sarang). Di masa gernilang dulu, sepertiga anggaran daerah Tuban dan Gresik konon bisa ditutup dari hasil pelelangan walet. Seperti halnya penyu, gua-gua walet waktu itu dilelangkan oleh pemerintah setempat dengan pengawasan yang ketat dari mantri walet. Namun seusai penjajahan Belanda, pengawasan yang ketat itu dihapuskan. Inilah penyebab utama mengapa burung itu tak sempat melakukan regenerasi. Sekarang ini, dengan masa konsesi selama setahun, gua-gua walet itu diserahkan kepada pengusaha yang berani membayar uang lelang yang tertinggi. Supaya tak merugi, para pengusaha ini cenderung menghisap habis-habisan la.lang perburuannya itu. Apalagi si pengusaha masih harus menanggung ongkos huruh pemungut sarang serta gaji penjaga gua tadi. Sekurang-kurangnya, bia eksploitasi itu Rp 100 ribu setahun per gua. Padahal setiap pengusaha bisa mendapatkan puluhan gua. Berlomba Dengan Maling Timbullah panen sarang burung yang berlebihan. Kalau semustinya setahun paling banter dipanen tiga kali, pengusaha melakukannya sampai lima kali. Akibatnya, 'sang burung tak diberi kesempatan berbiak," keluh Fatich kepada Slamet Oerip Prihadi dari TEMPO. Telur-telur burung itu tak sempat dierami, dan anak walet yang mustinya harus nongkrong selama 45 hari dalam sarang begitu saja dibuang dan mati. Maklumlah, anak burung itu belum mampu terbang dan mencari makan sendiri. Keuntungan hasil penjualan sarang burung walet juga merangsang nafsu pencuri. Terpaksalah sejak tahun 1970 buruh-buruh pengusaha dan para maling berlomba adu cepat mengunduh sarang burung lindungan itu. Akhirnya mereka tersentak. Ternyata menetesnya air liur para pemangsa sarang walet itu tak secepat air liur burung itu sendiri. Produksi sarang hasil saliva walet itu merosot terus. Bukan cuma sarang yang di gua-gua Gresik. Tapi juga yang ditempelkan di loteng ruma-rumah Na yang berserakan di sana. Kata seorang pemilik mrrlah tua, Anang Naratim namanya: "Kalau di tahun 1950-an produksi saya bisa mencapai 50 kg sarang burung walet setahun, kini tinggal 5 sampai 10 kg saja. " Keluhan serupa juga dikeluarkan oleh pemilik gedung-gedung tua lainnya di kota sebelah barat laut Surabaya itu. Tapi ancaman terhadap kelestarian walet Jawa. Timur bukan cuma datang dari para pengusaha dan pencuri. "Sejak pabrik pupuk PT Petrokimia berdiri di Gresik, banyak walet kita terbang ke tempat lain," tutur Anang dengan sedih. Tampaknya unggas yang amat peka terhadap kekurangan zat asam tak betah menghirup gas buangan cerobong pabrik pupuk itu. Kelompok-kelompok walet itu diketahui hijrah ke Sedayu, kota kecil sebelah utara Gresik, ke Tuban dan ke kota pesisir lain yang lebih segar udaranya. Tapi benarkah itu lantaran bau tajam dari cerobong pabrik? Berdasarkan hasil survai Hyperkes, pertengahan 1977, "kadar SO2 dalam radius « km dari lokasi cerobong masih berada di bawah kadar 100 ppm", tutur Tarmidji, Kepala 13agian Humas Petrokimia. Itu berarti, Sø2 yang keluar dari cerobong tak merupakan pencemar udara lagi. Sedang jarak cerobong pabrik sampai ke rumahrumah penduduk lebih dari « km. Jadi: aman, sedikit. Apalagi pabrik itu tahun depan akan membeli mesin pendaurulang (recycling) gas buangan SO2 dari Jerman. Pencemaran udara kelak akan semakin menghilang. Pemakan Nyamuk Apapun penyebabnya, kelangkaan burung walet itu membahayakan keseimbangan ekologis daerah itu. Sebab unggas kecil berbobot cuma 15 gram dengan sayap dan ekornya yang runcing gemar makan nyamuk malaria. Juga burung yang memangsa makanannya sembari terbang itu "merupakan senjata biologis pembasmi wereng," tutur Farich. Di ambang kepunahannya, tak heran bila wereng kini bersimaharajalela. Fatich dan kawan-kawannya dari Unair dan ITS tak tinggal diam. Sejak 1972 mereka mencoba meneliti manfaat walet. Mereka juga mencari kemungkman memperjuangkan kelestariannya. Kata ahli burung amatir itu: "Satu hektar sawah cukup dijaga 20 ekor walet. Tapi lebih sip lagi kalau 100 ekor." Di angkasa Jawa Timur yang luas sawahnya 250 ribu Ha dengan demikian diperhitungkan ada sekitar 5 juta ekor walet. Yang tinggal kini cuma 1/4 juta ekor saja. Sudah siap dengan data dan rencana tahun 1973 Fatich mendirikan Biro Rehabilitasi, Peningkatan dan Pengembangan Burung Walet itu di Surabaya. Sesudah 4 tahun berjuang, tahun lalu ada respons dari Bupati Sampang (Madura), Joesoef Oenik. Sang bupati menghadiahkan konsesi kepada Biro Walet itu untuk mengelola 17 gua walet di daerahnya. Lalu menyusul tiga gua di Kabupaten Gresik dan tiga gua di Kabupaten Lamongan. Melalui usaha intensifikasi, diharapkan setiap tahun populasi walet bakal meningkat 40%. Pintu Terkunci "Gua-gua itu rata-rata sekarang dihuni sekitar 200 ekor walet," tutur Fatich. Selain dilindungi dengan pintu berterali yang dikunci, setiap gua dijaga dua sampai tiga orang. Panen sarang burung memang juga diadilkan, tapi hanya 2-3 kali setahun. Hasilnya mula-mula akan diadakan untuk menutup biaya survai yang hampir Rp 16 juta, serta upah penjaga dan pemungut sarang yang diperkirakan Rp 1 juta setahun. Dengan taksiran produksi « kg/gua sekali panen, produksi Biro Walet itu setiap tahun diperkirakan akan mencapai 33« kg. "Saya yakin dalam jangka panjang investasi ini akan membuahkan keuntungan besar," kata Fatich Walaupun menurut pengakuannya, usahanya bermula dari niat menyelamatkan kekayaan alam yang hampir punah itu. Untuk itu, jebolan mahasiswa ekonomi itu tahun lalu meninggalkan profesi lamanya sebagai pedagang perabot. Tak kurang dari lirna orang sarjana turut membantu usahanya. Atas prakarsa dan usahanya itu, April lalu, sehabis meninjau konsesi gua walet Biro itu di Gresik, Gubernur Ja-Tim Sunandar Priyosudarmo melayangkan sepucuk surat penghargaan buat anak-anak muda itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus