MUNGKIN, dalam empat tahun mendatang akan muncul iklan dukacita
bagi burung walet. Soalnya, Biro Rehabilitasi Peningkatan dan
Pengembangan Burung Walet yang berkantor di Surabaya sudah
menyatakan burung itu berada di ambang kepunahan. Kapan? "Empat
tahun mendatang, kalau keadaan sekarang dibiarkan berlarut,"
tutur Achmad Fatich Marzuki, Kepala Biro tersebut. "Usia
biologis burung walet (Collocalia) memang hanya empat tahun,"
tambah mahasiswa ekonomi Universitas Airlangga itu.
Nasib walet di Jawa itu tak jauh berbeda dengan situasi di
habitatnya yang lain. Seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT), NTB,
dan sebagainya. Bahkan menurut Fatich, 35 tahun, "populasi walet
sekarang tinggal 10% dari populasinya di zaman kolonial dulu."
Padahal di negeri-negeri tetangga seperti Filipina, Sarawak
(Malaysia Timur), Semenanjung Melayu (Malaysia Barat) maupun
Muangthai, burung-burung hitam kecil itu berkembang terus
populasina. Soalnya, di sana kehidupan walet ditangani dengan
serius oleh pemerintah.
Nilai ekonomis sarang burung walet telah mengancam kelestarian
burung itu sendiri. Celakanya, "belum ada instansi pemerintah
yang mau menangani urusan burung itu dengan serius di sini" ujar
ahli burung itu. Itu berbeda dengan di zaman Belanda, ketika
pemerintah kolonial khusus menunjuk seorang "mantri walet" di
daerah Tuban, Gresik dan sekitarnya.
Harga sarang burung pemangsa wereng itu kini dapat mencapai
nilai Rp 70 ribu/kg untuk yang bermutu baik (putih, tanpa noda).
Itu harga Surabaya, Semarang, atau Jakarta. Harga Singapura dan
Hongkong -- yang dirintis pasarannya oleh para tengkulak walet
sejak abad ke-19 -- bisa sampai dua kali lipat. Sementara di
Muangthai, tahun lalu harganya Rp 200 ribu/kg (setiap kg terdiri
dari 150 sampai 200 sarang).
Di masa gernilang dulu, sepertiga anggaran daerah Tuban dan
Gresik konon bisa ditutup dari hasil pelelangan walet. Seperti
halnya penyu, gua-gua walet waktu itu dilelangkan oleh
pemerintah setempat dengan pengawasan yang ketat dari mantri
walet. Namun seusai penjajahan Belanda, pengawasan yang ketat
itu dihapuskan. Inilah penyebab utama mengapa burung itu tak
sempat melakukan regenerasi.
Sekarang ini, dengan masa konsesi selama setahun, gua-gua walet
itu diserahkan kepada pengusaha yang berani membayar uang lelang
yang tertinggi. Supaya tak merugi, para pengusaha ini cenderung
menghisap habis-habisan la.lang perburuannya itu. Apalagi si
pengusaha masih harus menanggung ongkos huruh pemungut sarang
serta gaji penjaga gua tadi. Sekurang-kurangnya, bia
eksploitasi itu Rp 100 ribu setahun per gua. Padahal setiap
pengusaha bisa mendapatkan puluhan gua.
Berlomba Dengan Maling
Timbullah panen sarang burung yang berlebihan. Kalau semustinya
setahun paling banter dipanen tiga kali, pengusaha melakukannya
sampai lima kali. Akibatnya, 'sang burung tak diberi kesempatan
berbiak," keluh Fatich kepada Slamet Oerip Prihadi dari TEMPO.
Telur-telur burung itu tak sempat dierami, dan anak walet yang
mustinya harus nongkrong selama 45 hari dalam sarang begitu saja
dibuang dan mati. Maklumlah, anak burung itu belum mampu terbang
dan mencari makan sendiri.
Keuntungan hasil penjualan sarang burung walet juga merangsang
nafsu pencuri. Terpaksalah sejak tahun 1970 buruh-buruh
pengusaha dan para maling berlomba adu cepat mengunduh sarang
burung lindungan itu.
Akhirnya mereka tersentak. Ternyata menetesnya air liur para
pemangsa sarang walet itu tak secepat air liur burung itu
sendiri. Produksi sarang hasil saliva walet itu merosot terus.
Bukan cuma sarang yang di gua-gua Gresik. Tapi juga yang
ditempelkan di loteng ruma-rumah Na yang berserakan di sana.
Kata seorang pemilik mrrlah tua, Anang Naratim namanya: "Kalau
di tahun 1950-an produksi saya bisa mencapai 50 kg sarang
burung walet setahun, kini tinggal 5 sampai 10 kg saja. "
Keluhan serupa juga dikeluarkan oleh pemilik gedung-gedung tua
lainnya di kota sebelah barat laut Surabaya itu. Tapi ancaman
terhadap kelestarian walet Jawa. Timur bukan cuma datang dari
para pengusaha dan pencuri. "Sejak pabrik pupuk PT Petrokimia
berdiri di Gresik, banyak walet kita terbang ke tempat lain,"
tutur Anang dengan sedih. Tampaknya unggas yang amat peka
terhadap kekurangan zat asam tak betah menghirup gas buangan
cerobong pabrik pupuk itu. Kelompok-kelompok walet itu diketahui
hijrah ke Sedayu, kota kecil sebelah utara Gresik, ke Tuban dan
ke kota pesisir lain yang lebih segar udaranya.
Tapi benarkah itu lantaran bau tajam dari cerobong pabrik?
Berdasarkan hasil survai Hyperkes, pertengahan 1977, "kadar SO2
dalam radius « km dari lokasi cerobong masih berada di bawah
kadar 100 ppm", tutur Tarmidji, Kepala 13agian Humas Petrokimia.
Itu berarti, Sø2 yang keluar dari cerobong tak merupakan pencemar
udara lagi. Sedang jarak cerobong pabrik sampai ke rumahrumah
penduduk lebih dari « km. Jadi: aman, sedikit. Apalagi pabrik itu
tahun depan akan membeli mesin pendaurulang (recycling) gas
buangan SO2 dari Jerman. Pencemaran udara kelak akan semakin
menghilang.
Pemakan Nyamuk
Apapun penyebabnya, kelangkaan burung walet itu membahayakan
keseimbangan ekologis daerah itu. Sebab unggas kecil berbobot
cuma 15 gram dengan sayap dan ekornya yang runcing gemar makan
nyamuk malaria. Juga burung yang memangsa makanannya sembari
terbang itu "merupakan senjata biologis pembasmi wereng," tutur
Farich. Di ambang kepunahannya, tak heran bila wereng kini
bersimaharajalela.
Fatich dan kawan-kawannya dari Unair dan ITS tak tinggal diam.
Sejak 1972 mereka mencoba meneliti manfaat walet. Mereka juga
mencari kemungkman memperjuangkan kelestariannya. Kata ahli
burung amatir itu: "Satu hektar sawah cukup dijaga 20 ekor
walet. Tapi lebih sip lagi kalau 100 ekor."
Di angkasa Jawa Timur yang luas sawahnya 250 ribu Ha dengan
demikian diperhitungkan ada sekitar 5 juta ekor walet. Yang
tinggal kini cuma 1/4 juta ekor saja.
Sudah siap dengan data dan rencana tahun 1973 Fatich mendirikan
Biro Rehabilitasi, Peningkatan dan Pengembangan Burung Walet itu
di Surabaya. Sesudah 4 tahun berjuang, tahun lalu ada respons
dari Bupati Sampang (Madura), Joesoef Oenik. Sang bupati
menghadiahkan konsesi kepada Biro Walet itu untuk mengelola 17
gua walet di daerahnya. Lalu menyusul tiga gua di Kabupaten
Gresik dan tiga gua di Kabupaten Lamongan. Melalui usaha
intensifikasi, diharapkan setiap tahun populasi walet bakal
meningkat 40%.
Pintu Terkunci
"Gua-gua itu rata-rata sekarang dihuni sekitar 200 ekor walet,"
tutur Fatich. Selain dilindungi dengan pintu berterali yang
dikunci, setiap gua dijaga dua sampai tiga orang. Panen sarang
burung memang juga diadilkan, tapi hanya 2-3 kali setahun.
Hasilnya mula-mula akan diadakan untuk menutup biaya survai yang
hampir Rp 16 juta, serta upah penjaga dan pemungut sarang yang
diperkirakan Rp 1 juta setahun. Dengan taksiran produksi « kg/gua
sekali panen, produksi Biro Walet itu setiap tahun diperkirakan
akan mencapai 33« kg.
"Saya yakin dalam jangka panjang investasi ini akan membuahkan
keuntungan besar," kata Fatich Walaupun menurut pengakuannya,
usahanya bermula dari niat menyelamatkan kekayaan alam yang
hampir punah itu. Untuk itu, jebolan mahasiswa ekonomi itu tahun
lalu meninggalkan profesi lamanya sebagai pedagang perabot. Tak
kurang dari lirna orang sarjana turut membantu usahanya. Atas
prakarsa dan usahanya itu, April lalu, sehabis meninjau konsesi
gua walet Biro itu di Gresik, Gubernur Ja-Tim Sunandar
Priyosudarmo melayangkan sepucuk surat penghargaan buat
anak-anak muda itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini