USAHA kita untuk meratakan pendapatan ke arah pedesaan
ternyata malah dihambat oleh kita sendiri. Ini hanya karena
didorong keinginan kita untuk menekan biaya di mana mungkin.
Satu paradoks, yang menuntut perlakuan kita semua, jikalau
benar-benar secara jujur kita damba akan pemerataan itu.
Memang, penekanan biaya bagi tiap rumahtangga memegang peranan
penting dalam mengendalikan pengeluaran di dalam batas
penerimaan pendapatan. Juga bagi pemerintah menjadi kewajiban
mutlak untuk menekan biaya di mana mungkin, untuk bidang rutin
maupun bidang pembangunan, di tingkat pusat mallplm daerall yang
terendah, yakni kelurahan.
Dan di banyak daerah pedesaan, biaya untuk proyek pembangunan
dapat ditekan dengan mudah. Bagaimana? Apakah kaum pedesaan
memiliki dayaguna lebih tinggi daripada penduduk perkotaan?
Bukan, melainkan dengan pengamalan asas gotong-royong murni.
Asas ini mengajarkan, bahwa pengamalannya akan berguna bagi
semua warga yang bersangkutan, karena sama tinggi derajatnya,
dan memerintahkan mereka untuk melakukannya dengan sukarela.
Tanpa upah.
Bukankah ini contoh penekanan biaya yang hebat? Yang patut
dipuji?
Namun biaya hanya merupakan satu mata dari pedang bermata dua,
hanya satu muka dari peristiwa bermuka dua. Peristiwa pembayaran
oleh pihak yang melepaskan daya beli dialami sebagai
pengeluaran biaya. Tapi pada waktu bersamaan oleh pihak kedua
peristiwa dialami sebagai penerimaan pendapatan.
Justru pengertian tentang pendapatan inilah yang merupakan
unsur operasionil dalam menangani masalah pemerataan pendapatan.
Sayang sekali pengertian ini hampir tidak pernah dipergunakan
secara teratur. Satu-satunya instansi yang setalu saya
memperhatikan hal itu ialah BULOG, yakni di kala mereka membeli
beras pada waktu panen, untuk menjaga agar pendapatan sang
petani sebagai produsen tidak jatuh di bawah floor price.
Baru dengan cara pengambilan inilah menjadi nyata, betapa
pengamalan gotong-royong mumi tanpa upah di daerah pedesaan
merupakan penyimpangan dari aturan, bahwa setiap jasa ekonomis
menuntut imbalan ekonomis pula. Dan, dari petani atau buruh
tani seringkali pekerjaan gotong-royong justru mengurangi
nafkahnya, berhubung harus meninggalkan pekerjaan yang memberi
imbalan.
Gejala gabungan ini telah disinyalir oleh Mubyarto dari Gajah
Mada dalam kertas kerjanya yang cukup menarik pada Konperensi
Nasional Ekonomi Pertanian bulan Juli lalu. Dari pengalaman
selama kunjungannya ke suatu desa termiskin di Gunung Kidul ia
melaporkan: "Biasanya terdapat kecenderungan bila hasil proyek
Padat Karya itu tokh akan dinikmati sendiri oleh masyarakat,
maka oleh pejabat setempat kemudian digotong-royongkan.
Entah mengapa, keganjilan jasa-tanpa imbalan ini rupanya idak
berhasil menjangkau perhatian para peserta konperensi. Mungkin
lantaran terbenam di bawah letupan masalah lain sekitar
kemiskinan petani. Mungkin kurang adanya perhatian ini Justru
membuktikan, betapa sudut penglihatan konvensionil penekanan
biaya, sudah mendarah daging dalam visi nonstel kita.
Sudah lima tahun lebih kita sungguh-sungguh berusaha, untuk
menjadikan pemerataan pendapatan suatu unsur yang kokoh dalam
kehidupan ketatanegaraan kita. Justru karena adanya kesungguhan
itulah menjadi ganjil dibiarkan berlakunya dua peraturan
permainan. Bagi daerah perkotaan, yang pendapatan penduduknya
lebih tinggi, peraturan permainan menganggap wajar, bahwa setiap
penyerahan barang atau jasa menuntut imbalannya. Sebaliknya bagi
daerah pedesaan yang pendapatannya nota bene ingin kita
tingkatkan, peraturan permainan justru mendorong tetap
berlakunya kebudayaan yang menuntut, agar pekerjaan untuk
kepentingan bersama dilakukan tanpa imbalan, gratis.
Walhasil, kita telah membiarkan desa yang masih miskin
mensubsidi kota yang sudah tidak miskin lagi.
Jelaslah, bahwa kita harus meninggalkan sudut penglihatan biaya
dan harus memilih sudut penglihatan pendapatan.
Pembangunan proyek dengan gotong-royong gratis tanpa imbalan, di
banyak pedesaan sekarang juga masih dilakukan terus-menerus.
Maka sebenarnya sudah tersedia sekian banyak kesempatan kerja,
yang hanya menunggu pembayaran imbalannya.
Asal saja kita mau, maka sekarang sekaligus dan serentak sudah
dapat dilakukan pembayaran upah, setidak-tidaknya menurut harga
pasaran tenaga kerja setempat. Lagi pula timing pekerjaan supaya
diatur sedemikian rupa, hingga tidak lagi diserap tenaga yang
sebenarnya masih diperlukan untuk pekerjaan panen atau
penggarapan sawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini