Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Biaya di kota, gratis di desa

Biaya proyek di pedesaan dapat ditekan, pengamalan gotong royong murni, mereka bekerja tanpa upah. bagi daerah perkotaan, peraturan permainan dianggap wajar. mereka menuntut imbalan untuk setiap barang/jasa.

16 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USAHA kita untuk meratakan pendapatan ke arah pedesaan ternyata malah dihambat oleh kita sendiri. Ini hanya karena didorong keinginan kita untuk menekan biaya di mana mungkin. Satu paradoks, yang menuntut perlakuan kita semua, jikalau benar-benar secara jujur kita damba akan pemerataan itu. Memang, penekanan biaya bagi tiap rumahtangga memegang peranan penting dalam mengendalikan pengeluaran di dalam batas penerimaan pendapatan. Juga bagi pemerintah menjadi kewajiban mutlak untuk menekan biaya di mana mungkin, untuk bidang rutin maupun bidang pembangunan, di tingkat pusat mallplm daerall yang terendah, yakni kelurahan. Dan di banyak daerah pedesaan, biaya untuk proyek pembangunan dapat ditekan dengan mudah. Bagaimana? Apakah kaum pedesaan memiliki dayaguna lebih tinggi daripada penduduk perkotaan? Bukan, melainkan dengan pengamalan asas gotong-royong murni. Asas ini mengajarkan, bahwa pengamalannya akan berguna bagi semua warga yang bersangkutan, karena sama tinggi derajatnya, dan memerintahkan mereka untuk melakukannya dengan sukarela. Tanpa upah. Bukankah ini contoh penekanan biaya yang hebat? Yang patut dipuji? Namun biaya hanya merupakan satu mata dari pedang bermata dua, hanya satu muka dari peristiwa bermuka dua. Peristiwa pembayaran oleh pihak yang melepaskan daya beli dialami sebagai pengeluaran biaya. Tapi pada waktu bersamaan oleh pihak kedua peristiwa dialami sebagai penerimaan pendapatan. Justru pengertian tentang pendapatan inilah yang merupakan unsur operasionil dalam menangani masalah pemerataan pendapatan. Sayang sekali pengertian ini hampir tidak pernah dipergunakan secara teratur. Satu-satunya instansi yang setalu saya memperhatikan hal itu ialah BULOG, yakni di kala mereka membeli beras pada waktu panen, untuk menjaga agar pendapatan sang petani sebagai produsen tidak jatuh di bawah floor price. Baru dengan cara pengambilan inilah menjadi nyata, betapa pengamalan gotong-royong mumi tanpa upah di daerah pedesaan merupakan penyimpangan dari aturan, bahwa setiap jasa ekonomis menuntut imbalan ekonomis pula. Dan, dari petani atau buruh tani seringkali pekerjaan gotong-royong justru mengurangi nafkahnya, berhubung harus meninggalkan pekerjaan yang memberi imbalan. Gejala gabungan ini telah disinyalir oleh Mubyarto dari Gajah Mada dalam kertas kerjanya yang cukup menarik pada Konperensi Nasional Ekonomi Pertanian bulan Juli lalu. Dari pengalaman selama kunjungannya ke suatu desa termiskin di Gunung Kidul ia melaporkan: "Biasanya terdapat kecenderungan bila hasil proyek Padat Karya itu tokh akan dinikmati sendiri oleh masyarakat, maka oleh pejabat setempat kemudian digotong-royongkan. Entah mengapa, keganjilan jasa-tanpa imbalan ini rupanya idak berhasil menjangkau perhatian para peserta konperensi. Mungkin lantaran terbenam di bawah letupan masalah lain sekitar kemiskinan petani. Mungkin kurang adanya perhatian ini Justru membuktikan, betapa sudut penglihatan konvensionil penekanan biaya, sudah mendarah daging dalam visi nonstel kita. Sudah lima tahun lebih kita sungguh-sungguh berusaha, untuk menjadikan pemerataan pendapatan suatu unsur yang kokoh dalam kehidupan ketatanegaraan kita. Justru karena adanya kesungguhan itulah menjadi ganjil dibiarkan berlakunya dua peraturan permainan. Bagi daerah perkotaan, yang pendapatan penduduknya lebih tinggi, peraturan permainan menganggap wajar, bahwa setiap penyerahan barang atau jasa menuntut imbalannya. Sebaliknya bagi daerah pedesaan yang pendapatannya nota bene ingin kita tingkatkan, peraturan permainan justru mendorong tetap berlakunya kebudayaan yang menuntut, agar pekerjaan untuk kepentingan bersama dilakukan tanpa imbalan, gratis. Walhasil, kita telah membiarkan desa yang masih miskin mensubsidi kota yang sudah tidak miskin lagi. Jelaslah, bahwa kita harus meninggalkan sudut penglihatan biaya dan harus memilih sudut penglihatan pendapatan. Pembangunan proyek dengan gotong-royong gratis tanpa imbalan, di banyak pedesaan sekarang juga masih dilakukan terus-menerus. Maka sebenarnya sudah tersedia sekian banyak kesempatan kerja, yang hanya menunggu pembayaran imbalannya. Asal saja kita mau, maka sekarang sekaligus dan serentak sudah dapat dilakukan pembayaran upah, setidak-tidaknya menurut harga pasaran tenaga kerja setempat. Lagi pula timing pekerjaan supaya diatur sedemikian rupa, hingga tidak lagi diserap tenaga yang sebenarnya masih diperlukan untuk pekerjaan panen atau penggarapan sawah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus