Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dusun dan jalu diadopsi sahabat ...

Kebun binatang ragunan, jakarta, kekurangan dana. karena hendak mandiri, dibuatlah program "sahabat satwa". masyarakat diperbolehkan mengadopsi binatang yang ada di KBR, dengan berperan sebagai donatur.

8 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukan ide baru di negara maju. Tapi di Indonesia baru Kebun Binatang Ragunan (KBR), Jakarta Selatan, yang melansir program Sahabat Satwa sejak awal tahun ini. Ternyata, peminatnya memang ada. Yang datang pertama adalah 40 siswa Jakarta International School (JIS). Mereka tampak berbaik-baik dengan dua ekor badak Sumatera yang namanya Si Dusun dan Jalu. Kedua badak tersebut diadopsi dan dijadikan sebagai sahabat mereka. Setelah itu, anak-anak JIS itu mengumpulkan dana Rp 4 juta, yang kira-kira cukup untuk menjamin makanan seekor binatang kesayangan tadi selama setahun. Sedangkan istri Duta Besar Denmark Vibeke Bendix juga tergerak hatinya. Dua pekan silam ia menyelenggarakan coffee morning di KBR. Pesertanya para istri diplomat se-Jakarta, juga hadir istri pejabat tinggi seperti Nyonya Fuad Hassan dan Nyonya Soepardjo Rustam. Nyonya Bendix berhasil mengumpulkan "uang jajan" dari para undangan untuk menambal gizi penghuni KBR. Spontanitas Nyonya Bendix mengajak menyantuni binatang dalam sangkar itu karena ia memang mencintai flora dan fauna. Tapi bukan semua pengunjung BR bisa tergerak membantu dalam bentuk finansial. Menurut Mien Soedarpo dari Yayasan Pengayom Binatang yang juga menjabat Ketua Women's International Club itu, umumnya masyarakat di sini datang ke kebun binatang hanya berekreasi. Sedang pengunjung yang terdorong berpartisipasi memajukan kebun binatang, misalnya ikut memberi bantuan, katanya, biasanya malah orang asing. Betul Hari itu ada perempuan asing yang mengadopsi seekor anak singa. Memang perlu pandai-pandai mengumpulkan dana, sehingga konsep orangtua asuh bisa diterapkan dalam dunia binatang. Maklumlah, cerita tentang kurang biaya itu sudah dianggap biasa. "Di mana-mana kebun binatang kurang dana," ujar Linus Simanjuntak, Kepala KBR. Kebun binatang di San Diego, yang bisa memungut uang masuk 10 dolar AS (sekitar Rp 17.460), misalnya, juga masih kekurangan dana. Dan bayangkan betapa kembang kempisnya dana KBR yang cuma membebani pengunjung Rp 600 per kepala itu. Sementara itu. Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto memberi isyarat supaya KBR bisa mandiri dan jangan menunggu dana turun dari langit. Akal untuk tegak di atas kaki sendiri itu bukan berarti nanti berekor ke swastanisasi seperti Taman Safari Indonesia (TSI) di Cisarua, Bogor. Hingga saat ini TSI mampu mengelola hanya dari pengutipan karcis masuk. Karcis termurah yang dijual Rp 3 ribu, lalu pengunjung berkeliling dengan angkutan yang disediakan dan ditambah ada tontonan gratis termasuk menikmati taman burung. "Dan kami masih untung," ujar Tony Sumampou, Wakil Manajer TSI yang mengelola 590 hewan dengan 120 jenis itu. Keuntungan itu juga diperoleh dari sektror lain. Yakni karcis (Rp 300 per anak sekali main) untuk anak-anak yang memanfaatkan fasilitas rekreasi yang berjumlah 14 jenis itu -- seperti cangkir putar -- dan dari bantuan sponsor. Misalnya, Oriental Circus dulu pernah membantu 10 ribu dolar AS untuk membeli burung elang. Di samping itu, beban TSI menjadi irit karena Pemda Bogor memberi keringanan pajak 10% setahun. Kebun Binatang Bandung (KBB), yang dikelola Yayasan Margasatwa Tamansari, lain dengan TSI. Malah KBB payah bila mengandalkan hanya dari penjualan karcis masuk yang Rp 550 (dewasa) dan Rp 450 (anak-anak) itu. "Bagaimana mau meningkatkan sarana, untuk biaya rutin saja pas-pasan," ujar Dadang Danumihardja, staf bagian umum pelaksana harian KB yang punya koleksi 999 satwa ini. Ia mengakui, swasta itu lebih baik dalam menyediakan dana. Bila dikelola pemerintah, kata Dadang, biasanya kalau ada yang mendesak, sulit segera dipenuhi, karena dihadang birokrasi. Walhasil, pengelolaan KB itu terpaksa dipadukan dengan hasil dan arena taman kanak-kanak, museum, akuarium, pemutaran film flora dan fauna. Dan beban sebenarnya bisa ringan seandainya pajak tontonan (12,5%) yang setahun dibayar Rp 40 juta itu juga dibebaskan. Menurut Stany Soebakir, pimpinan Kebun Binatang Surabaya (KBS), sebenarnya tungsi hiburan pada kebun binatang cuma nomor tiga, kendati juga menghasilkan uang. KBS, yang hanya memungut Rp 600 per pengunjung, serupa dengan KBR, toh bisa memberi makan 3.500 ekor satwa di sana. Bahkan di antara 250 karyawannya itu banyak yang mendapat gaji 14 kali. KBR belum bisa kalau mengandalkan dananya dari karcis saja. Karena itu, terpaksa dicoba ditambal dengan cara mencari Sahabat Satwa. Binatang di KBR yang jumlahnya 3.838 ekor (398 jenis) itu membutuhkan perhatian tersendiri, bukan sekadar benda tontonan. Mereka perlu kasih sayang dan butuh perlindungan. Dan mereka memberikan nilai tersendiri bagi pencintanya: tentang siklus hidupnya, biologisnya, maupun rupa fisiknya yang menawan. "Itu pelajaran dan termasuk pendidikan," kata Linus. Karena itu, program Linus awal tahun ini lebih mendekatkan binatang di KBR itu dengan pencintanya, sehingga mereka akrab sebagai -- Sahabat Satwa. Masyarakat diperbolehkan, dan boleh pilih, untuk mengadopsi binatang yang ada di KBR. Syaratnya, menjadi anggota Sahabat Satwa selama setahun bayar 10 dolar AS. Dan keanggotaan yang berkelompok membayar 50 dolar AS setahun. Atas kebaikan para donatur yang terhimpun dalam Sahabat Satwa tersebut, Linus akan memberikan sertifikat bergambar binatang, yang didasari pada jenis binatangnya. Anak-anak JIS, misalnya, akan diberi sertifikat bergambar badak. Di samping itu, anggota Sahabat Satwa gratis masuk KBR. Mereka diberi kartu bebas untuk setahun. Untuk pengusaha yang mau berpartisipasi dalam program ini, juga dibuka kesempatan. Dan sebagai tanda terima kasih, nama perusahaan penyumbang akan ditorehkan di atas papan. "Itu bisa digantung di pintu masuk, terutama untuk penyumbang di atas 100 dolar," tutur Linus. Cara seperti itu tentu tak sampai menjadikan KBR sebagai arena promosi. Juga bukan sekadar arena rekreasi. Kebun binatang itu sarana konservasi, penangkaran, dan bagian dari aset nasional.Suhardjo Hs Diah Purnomowati, Riza Sofyat, Ida Farida

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum