KETUA DPR M. Kharis Suhud merasa bagai disentakkan tatkala mendengar kenaikan tarif listrik. "Kalau kita dikaget-kagetkan terus, kita bisa jondal-jandil," tuturnya seraya menyesalkan sikap pemerintah, yang tidak lebih dulu berkonsultasi dengan DPR, sebelum menaikkan tarif listrik. Sentakan yang dirasakan Suhud, rupanya, juga telah menggoyang alam pikiran wakil-wakil rakyat dari FKP (Fraksi Karya Pembangunan) DPR. Reaksi mereka tak kurang mengejutkan. Kenaikan tarif PLN yang bergerak sekitar 14%-40% itu mulai 1 April 1989 -- dituntut agar dicabut, sampai ada kejelasan yang mantap dari pemerintah, bahwa kenaikan itu memang perlu. Tidak kurang pentingnya adalah penegasan mereka bahwa tidak ada sikap apriori Golongan Karya terhadap hal ini. Bertolak dari sikap itu pula, juru bicara FKP Marzuki Darusman menyatakan, "Tarif listrik belum perlu dinaikkan." Ada kesan bahwa Golkar kurang bisa menerima penjelasan Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita, Senin pekan silam. Oganisasi politik yang kini memerintah itu mempermaklumkan kepada rakyat bahwa mereka, setidaknya, berhak untuk penjelasan yang lebih akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Tak mengherankan bila sejumlah tokoh perlistrikan dan energi -- tidak disertai Menteri Ginandjar, karena beliau ke luar negeri -- diundang ke kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta . Tuan rumah diwakili oleh Sekjen Golkar Rachmat Witoelar, didampingi antara lain oleh wakil sekretaris bidang Ekku, B.P. Messakh, anggota Komisi VI dari FKP, Tadjuddin Noer Said, Marzuki Darusman, dan Lucas Nanlohy. Sedangkan dari pihak pemerintah tampak Sekjen Departemen Pertambangan & Energi T.B. Silalahi, Dirjen Listrik & Energi Artono Arismunandar, dan Dirut PLN Ermansyah Jamin. Rupanya, pertemuan itu cukup membikin kagok. Ini terkesan dari sikap Dirjen Artono dan Dirut PLN Ermansyah yang berusaha menahan diri agar tak bicara dengan wartawan. "Pembicaraan dalam diskusi itu kebanyakan merupakan saran-saran saja." ujar Artono. Golkar menilai, penjelasan mereka masih standar artinya tidak rinci dan mendalam. Marzuki Darusman mengatakan, kami menjelaskan kepada pemerintah bahwa mereka seolah bertindak secara sepihak. Kesannya, tak ada komunikasi yang pasti untuk membuka masalah ini, agar didukung secara politis oleh masyarakat secara luas." Rupanya, Golkar -- yang banyak anggotanya adalah pakar atau pelaku eko nomi itu -- tak melihat adanya alasan kuat untuk menaikkan tarif listrik. Tampaknya kenaikan ini sengaja diam-diam, mendadak ketika para anggota DPR Komisi VI (Bidang Energi) sedang ke Amerika. "Hal itu tak benar," kata Dirjen Artono Arismunandar. "Investasi perlu dilakukan, agar pelanggan listrik menjadi lebih luas. Supaya rasio elektrifikasi (masyarakat pemakai listrik) yang sekarang ini -- baru sekitar 26% -- naik menjadi 43% pada akhir Pelita V," tutur Dirut PLN Ermansjah Jamin. Bagaikan gayung kersambut, Sabtu keesokan harinya, pernyataan Golkar itu ditanggapi oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Mensesneg menegaskan bahwa penentuan tarif listrik adalah wewenang penuh pemerintah -- tak harus dikonsultasikan dulu dengan DPR. Pengalaman selama ini menunjukkan, setiap kali pemerintah mengadakan perubahan tarif listrik -- biasanya naik -- tak pernah dibicarakan terlebih dulu dengan DPR. Terlepas dari motivasi Golkar, kenaikan tarif listrik sekitar Rp 7- Rp 90 per KWH itu memang menimbulkan pro dan kontra. Pers umumnya bertanya. "Apa rakyat tak boleh menarik napas dan sedikit mengumpulkan tenaga?" Bukankah mereka baru saja dihajar oleh kenaikan pajak? Dan listrik yang menyedot investasi besar itu, untuk siapa sebenarnya? Apa PLN tidak perlu melancarkan upaya efisiensi, sebelum menaikkan tarif? Dampaknya nanti, tentu inflasi, dan seterusnya." Dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Faried Wijaya Mansoer menyuarakan, "Kenaikan tarif listrik itu sebenarnya wajar." Pakar ekonomi bidang kelistrikan ini hanya merasa aneh, melihat kenaikan yang cenderung pada biaya dulu, baru kemudian tujuan-tujuannya. Faried melihat, dalam penentuan tarif PLN, pemerintah masih memakai tiga prinsip yang berlaku sejak 1970-an. Pertama, tarif itu harus menciptakan dana sehingga bisa menciptakan return of investment tertentu. Kedua, tarif operasional tak akan membebani mereka yang berpenghasilan rendah. Ketiga, tarif harus bersaing dengan biaya pembangkit listrik yang memakai genset. Tapi, pakar ekonomi bidang BUMN dari FE-UI, Prijono Tjiptoherijanto, merasakan ada yang kurang dari penjelasan pemerintah. Pemerintah, katanya, perlu menjelaskan apakah semua pelanggan sudah patuh, termasuk departemen-departemen, BUMN, dan institut pendidikan milik pemerintah. Ibarat sistem pajak, janganlah yang patuh terus dikejar-kejar, sedangkan mereka yang lalai dibiarkan saja. Selain itu, menurut Prijono, pemerintah belum menjelaskan secara fair berapa sebenarnya biaya produksi per KWH. Dari situ akan tampak, berapa subsidi pemerintah yang sebenarnya. "Angka-angka itu ada pada pemerintah, tapi sampai sekarang timbul pertanyaan: apa benar subsidi yang disebutkan pemerintah sebegitu besarnya?" kata pakar ini. Senin pekan silam, Menteri Pertambangan dan Energi memang sudah menjelaskan panjang lebar alasan-alasan kebijakan pemerintah. Alasan utama yakni rencana pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi listrik nasional, berikut jaringan-jaringan transmisi serta gardu listrik dalam Pelita V. Pembangunan kelistrikan dalam Pelita V, seperti diungkapkan Direksi PLN di DPR, 21 Februari lalu. akan mencakup pembangunan pembangkit tenaga listrik sebesar 3.626,67 MW. Untuk itu diperlukan investasi Rp 7.775,8 milyar. Jaringan kahel transmisi sepanjang 6.302 km serta gardu induk 8.507 MVA akan menelan investasi Rp 1.947,4 hilyar. Selain itu masih diperlukan Rp 3.500,5 milyar untuk membangun jaringan distribusi tegangan rendah sepanjang 90.424 km serta tegangan menengah sepanjang 62.938 km. Total jenderal diperlukan investasi Rp 13.223,7 milyar. Hampir tiga perempat dari rencana anggaran itu akan memakai valuta asing yang, tentu saja, merupakan pmJaman dari para donor di IGGI, yang pada gilirannya membutuhkan dana pendamping rupiah. Jika tarif listrik tak dinaikkan, maka perusahaan ini akan merugi dan, tentu saja, pemerintah harus memberikan subsidi. Subsidi pemerintah untuk PLN dalam tahun anggaran 1989-90 sebesar Rp 65 milyar diperkirakan akan membengkak jadi Rp 1.827 milyar pada akhir Pelita V. Saleh Afiff -- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional merangkap Ketua Bappenas -- yang dihubungi TEMPO, Senin, menyatakan bahwa proyek-proyek kelistrikan itu bersifat padat modal. "Setiap proyek membutuhkan dana yang besar sekali, bisa ratusan milyar rupiah untuk 1 provek. Masa pembangunannya pun bisa memakan waktu sampai tujuh tahun. PLN tak akan mampu kalau dibiarkan menangani sendiri," kata Dr. Afiff yang lulusan Universitas Berkeley, AS, itu. Tapi ada kalangan yang menganggap bahwa status PLN sebagai perum justru membuat perusahaan itu tak bisa berjalan efisien. Pembukuannya tak jelas, bahkan diduga kuat tak mengikuti sistem akuntansi yang benar. Akibatnya, perusahaan ini tak bisa mencari pinjaman rupiah, misalnya dengan menjual obligasi di pasar modal, seperti sudah dilakukan PT Jasa Marga. Malah statusnya menyebabkan perusahaan ini tak bisa efisien. Untuk mengatasi bermacam-macam inefisiensi itu? swastanisasi, menurut Dr. Prijono Tjiptoherijanto adalah salah satu cara yang bisa ditempuh. Persilakan saja swasta masuk dalam bisnis produksi dan pemasaran listrik, khususnya untuk menangani yang besar-besar. Sedangkan pemerintah cukup menangani listrik untuk perumahan rakyat. Dan bila harus menagih tunggakan besar, swasta pasti akan bekerja keras. Menteri Ginandjar, Senin pekan silam, memang sudah mempersilakan swasta, kalau mau, ikut dalam bisnis kelistrikan. "Asalkan saja mereka mau memasarkan tarif menurut ketentuan pemerintah, yakni mengikuti tarif PLN," kata Dirut PLN. Tapi dengan kenaikan tarif listrik ini, bukan tidak mungkin investor swasta akan berlomba-lomba masuk. Ada yang menduga begini. Bukan kebetulan tarif baru dikeluarkan, di saat proyek BOT (bangun, operasikan, kemudian transfer kepada PLN) mulai ditenderkan kepada investor swasta (asing). "Dalam hal ini kita perlu menjaga jangan masyarakat dikorbankan untuk keuntungan investor asing," kata seorang anggota FKP. Yang dimaksudnya adalah PLTU di Gresik. Tapi menurut Ginandjar, dampak kenaikan tarif sudah diperhitungkan. Dampak untuk berbagai macam industri, hanya berkisar dari 0,07 (industri rokok) sampai dengan 3,03% (industri baja). Komponen biaya listrik terhadap gaji pegawai negeri juga akan tetap sekitar 6,20%. Contoh yang diberikan adalah pegawai negeri golongan Il/C dengan tiga anak yang memakai listrik 450 VA. Dulu, dengan gaji Rp 77.800, ia perlu biaya listrik sekitar Rp 4.823 per bulan. Kini setelah gajinya naik 15% (menjadi Rp 89.470), ia perlu membayar rekening listrik sekitar Rp 5.545. Berbagai pengusaha mengangap, kenaikan tarif listrik itu sebenarnya wajar saja. Alasannya: telah lima tahun tarif listrik tak pernah naik, sedang tahun 1986 justru diturunkan. Soalnya, apa harus naik mendadak 25%? Padahal, awal tahun ini, Menko Ekuin Radius Prawiro berjanji pemerintah tak akan mengambil langkah-langkah kebijakan yang mendadak. "Ini tak ubahnya devaluasi," ujar Direktur PT KIA (Keramik Indonesia Asosiasi) Soejatno. Komentar senada diungkapkan Dirut PT Semen Gresik, Anang Fuad Rivai. "Ini barangkali sangat strategis untuk PLN, tapi pengaruhnya bagi industri semen kan tak sedikit," kata Rivai. "Semen Gresik, sebagai BUMN, kan tak bisa sembarangan menaikkan harga. Apalagi, kami ditugasi sebagai stabilisator harga di pasaran." Sudwikatmono, pemegang saham di pabrik semen PT Indocement di Cibinong dan PT Tridaya Manunggal di Cirebon, menganggap bahwa kenaikan tarif listrik ini tak akan menaikkan harga semen. Pabrik Tridaya Manunggal membayar rekening listrik sekitar Rp 500 uta setahun. Kenaikan tarif PLN yang dianggapnya tak begitu parah, terama bila dibandingkan kenaikan harga BM. "Karcis bioskop akan naik 10%. Sebab, rekening listrik menelan hampir 40% biaya produksi," kata Pak Dwi, yang juga bos jaringan Teater 21. Bioskopnya rata-rata kena tagihan listrik sekitar Rp 60 juta. Tapi ia sempat juga menyentil. "Kalau tarif listrik dinaikkan, harus diimbangi kenaikan pelayanan PLN, dong," katanya. Ternyata, rumahnya yang di Pondok Indah dan rekening listriknya tiap bulan Rp 2 juta tak luput dari gangguan byar-pet. Tak mengherankan jika berbagai perusahaan memasang genset, terutama hotel-hotel berbintang. Hotel Bali Beach di Denpasar dan Hotel Panghegar di Bandung sependapat bahwa genset sebenarnya bisa menghasilkan listrik lebih murah. Tapi, kalau genset itu jebol, risiko biayanya besar. "Bisa mencapai Rp 5 juta sekali servis," kata Qamarus Zaman, Kepala Bagian Engineering Hotel Panghegar. Karena itu, bagaimanapun listrik PLN tetap diharapkan. Manajer Keuangan dan Akunting M. Bachrun dari PT Alkasa (dulunya PT Alcan) di Pulogadung juga mengeluhkan aliran PLN yang sering padam, selain kenaikan Tarif listrik untuk industri yang sekitar 30%. Dengan kenaikan 25%, berarti naik jadi Rp 50 juta. Hal ini, katanya, akan menaikkan harga aluminium sekitar 5%. "Sekitar 35%-40% produksi Alkasa sudah diekspor," katanya. Sugeng Sardadi, pemilik rumah mewah -- lengkap dengan kolam renang dan lapangan tenis -- di Bintaro Permai, Jakarta, tak terlalu mempermasalahkan kenaikan tarif R-4 yang sekitar 27,3%. Ia juga pasrah saja pada pelayanan PLN, yang terlalu sering mati mendadak, sementara voltase 220 ternyata cuma 160. Tapi Sugeng, yang Presiden Komisaris PT Kodel dan Direktur PT Neigata Diesel Engine ini, tak percaya kalau PLN bisa merugi. "Sudah monopoli kok masih rugi. Coba kasih saya," katanya. Berkelakar, sambil menantang.Max Wangakar, Bambang Aji, Yopie Hidyat, Bachtiar Abdullah, dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini