PEKAN lalu pelataran Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (FS USU) Medan mengesankan sebagai perkampungan Hindu. Ada penjor, ada lukisan. Maklum, sedang berlangsung Seminar Nasional Kebudayaan Hindu di Indonesia. Pemrakarsanya Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan FS USU. Dalam seminar muncul berbagai persoalan tentang beragam ajaran, seperti ada Hindu Bali, Hindu Jawa, Hindu Karo, kasta, dan makan daging sapi. Keragaman itu memang bisa mengernyitkan kening. Misalnya pelaksanaan upacara Hindu di Bali beda dengan di Karo (Sum-Ut) atau di Tengger, Jawa Timur. Mengapa tidak biasa seragam seperti dalam agama lain? Ajaran Hindu, menurut Gde Pudja dalam seminar itu, sifatnya reseptif terhadap segala pengaruh yang mewarnainya. Kecuali asas yang menalarinya. "Makanya tidak ada keseragaman dalam budaya agama Hindu," kata bekas Dirjen Bimas Hindu dan Budha itu. Sedangkan longgarnya ajaran terhadap adat menjadi daya tarik Hindu bagi masyarakat yang berpegang pada adat. Contohnya di Tengger, mereka sepenuhnya berpegang pada adat, dan pemukanya disebut dukun. Di sana bahkan Kitab Weda tidak dirujuk. Ritualnya sangat lain dengan orang Hindu di India. Cuma sewaktu harus mencantumkan nama agama, orang-orang Tengger menyatakan dirinya Hindu. Juga di Karo. "Saya pernah beragama Islam dan Kristen," kata Tersinget Barus, 50 tahun, Ketua PHDI desa Rumah Philphil, Sum-Ut. Ia tak bertahan di dua agama tadi karena banyak ajaran nenek moyang yang disebut Pemena itu tabrakan dengan larangan di Islam dan Kristen. "Ajaran di Hindu tak melarang melakukan kebiasaan kami," katanya. Lalu lebih dari seratus ribu penganut Pemena bergabung di Hindu. Apalagi ada batu bertulis yang memperkuat dugaan bahwa orang Karo yang menganut Pemena sebenarnya keturunan Tamil. Batu bersurat yang ditemukan G.J.J. Deuts di Barus pada 1872 itu berisi: tahun 1080 Lobu Tua yang tak jauh dari Sungai Singkil itu merupakan pemukiman orang Tamil yang berasal dari daerah Colay, Pandya, Teykaman, Mouham, Malylam, dan Kalingga (kini Orysa) -- semuanya di India. Di Lobu Tua mereka yang Hindu itu terdesak oleh datangnya para pedagang Arab. Mereka menyingkir ke pedalaman, yang kini jadi wilayah Karo. Dari kalangan mereka kemudian muncul marga besar Sembiring Singombak. Marga ini pecah dalam berbagai submarga, di antaranya menunjuk tempat asalnya: Brahmana, Pandia, Colya, Muhan, Meliala, Keling, dan banyak nama lain. Dari mereka maka berbiak penganut Hindu di Sum-Ut. Dulu Hindu sepenuhnya dipahami sebagai ajaran yang menerapkan sistem kasta. Belakangan lahir pemikiran baru terhadap anggapan ini. Di antaranya dari Sri Ramlu, Ketua PHDI Sum-Ut. "Adanya pengkastaan seperti Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra itu warisan yang bersumber dari adu domba Inggris," katanya. Tapi soal ini kemudian memang seperti identik dengan ajaran agama, karena dalam Hindu ada penggolongan berdasarkan kerja. "Lalu dimanfaatkan. Golongan Brahmana kebanyakan berpendidikan baik sehingga disanjung, sementara yang Sudra malah ditindas," kata Ramlu. "Setelah Inggris tak menjajah India, ukuran itu kembali diukur dengan standar Weda yang menjadi sumber inspirasi agama Hindu." Seorang peserta dengan antusias menyebutkan bahwa pengkastaan sebenarnya memang tak ada dalam Weda. Tapi ini berpengaruh pada Hindu Bali. Istilahnya bukan lagi "kasta" melainkan warna. Padahal, ucap Ramlu, sebutan itu sama artinya. Di Bali ada wangsa Ida Bagus dan I Gusti yang merupakan wangsa Brahmana dan Ksatria. Kini ada anggapan bahawa kebrahmamaan atau kesudraan tak bisa diwaarikan. Warna bahkan dipahami sebagai profesi. "Seorang dokter kan anaknya tak mesti seorang dokter," kata Dr. Mertha Suteja. Tapi Ketua Peradah, organisasi Pemuda Hindu, Ida Bagus Agastya, menjelaskan kemungkinan status itu diwariskan, karena lingkungan juga adanya. Seorang berasal dari keluarga Brahmana kemungkinan besar tertarik pada urusan agama ketimbang anak keluarga lainnya. Diakui atau tidak, di mata masyarakat umum, status Ida Bagus atau I Gusti masih sangat disegani. Seorang berwangsa Ida Bagus dari dua orang yang berkapaitas sama biasanya diutamakan. Anak Ida Bagus akan tetap Ida Bagus. Juga I Gusti. Tapi I Wayan Widiantara, tokoh yang sering disebut "ekstrem", mengatakan persoalan itu adalah persoalan politik. "Para Brahmana tidak ingin dominasi kekuasaannya pudar, maka dibikinlah peraturan itu." Lagi, menurut dia, ada unsur ekonomi. "Mereka selalu ingin menjadi pimpinan upacara untuk mendapatkan daksina. Honor." Ada lagi silang pendapat: perkara makan daging sapi. Sebagian masyarakat Hindu mengharamkan makan daging sapi, karena hewan ini perlambang kendaraan Bathara Syiwa. Ada juga yang mengatakan "halal" karena budaya setempat menghalalkan. "Ini tak perlu diubah. Lagi pula tidak ada pengaturan makan daging sapi dalam Weda," kata Ramlu. "Orang Hindu tidak makan daging sapi kalau mulai bermeditasi pikirannya hanya tertuju ke Tuhan, dan timbul sayang kepada hewan itu." Dalam Weda, menurut Widiantara, persembahan pada Tuhan (bukan dewa ataupun kala) terdiri dari daun-daunan, bunga, buah, serta biji-bijian. "Itulah yang sehrusnya kita makan," katanya. Ia konsekuen. Semua daging, bukan hanya sapi, ia tidak ia makan. Pendapat ini dibantah Suteja. "Baca Bagawadgita," katanya. Di situ disebutkan, semua persembahan diterima Tuhan. D sapi diharamkan menyangkut akrab manusia dengan sapi karena membantu mengolah sawah dan menarik beban. Hanya dalam satu hal Widiantara, Suteja dan Agastya sepakat, "Sudah saatnya harus dibedakan mana adat dengan ajaran Hindu sendiri." Semangat pemurnian semacam ini agaknya pikiran yang memang tidak lazim kalangan Hindu. Bakal terpenuhi?Laporan Mukhlizardy Muktahr (Medan) & Joko Daryanto (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini