RESMINYA PLN itu adalah Perum Listrik Negara, namun tak resminya boleh dibaca sebagai "Perusahaan Listrik Nembak". Ini lantaran rekening tagihan listrik sering lebih tinggi dibandingkan dengan pemakaiannya. Belakangan ini, keluh-kesah dan kritik para pelanggan terhadap PLN semakin gencar di koran-koran. Dan juga semakin bervariasi. Bahkan dilengkapi dengan data akurat -- seperti yang dilakukan Syinta Jayanti Sukardi, misalnya. Warga Jalan Ulujami Raya, Jakarta Selatan, itu menyuguhkan hasil "penelitian"-nya -- terhadap frekuensi pemadaman listrik di lingkungannya, sepanjang tahun silam -- di rubrik "Surat Pembaca" harian Kompas, Januari lalu. Menurut penemuan Syinta, sepanjang tahun 1988 itu, frekuensi pemadaman listrik terjadi sebanyak 133 kali. "Bayangkan, 133 kali dalam setahun. Berarti setiap 2,7 hari, terjadi satu kali pemadaman," tulisnya, jengkel. Yang lebih geram lagi adalah Kusnadi, penduduk Jl. A. Yani, Pontianak. Di kota katulistiwa itu, dalam sebulan saja, listrik bisa "byar pet" sebanyak 150 kali. Bagi anak-anak Pontianak, aliran listrik yang tiba-tiba mati ketika sedang asyik-asyiknya menonton siaran TVRI, sudah dianggap lumrah. Dan penduduk jera melapor ke PLN, lantaran jawahan yang biasa mereka terima, selain klise, juga tak enak di telinga. Bagaimana tidak?! Bisa lebih galak petugas yang dilapori daripada si pelapor sendiri. Bagi sektor industri, pemadaman lirik langsung berarti macetnya produksi, dan pil pahit kerugian harus ditelan PT Indonesian Maltose Industry menyampaikan keluhan atas pemadaman litrik sebanyak 26 kali dalam 21 hari kerja, selama bulan Februari lalu. Pabrik glukosa di Ciawi itu jelas terganggu kontinyuitas produksinya di samping risiko bahwa peralatan listrik yang digunakan bisa jebol. Sesekali saja PLN bisa menjawah keluhan yang muncul di surat kabar. Ketika kota kecil Pandeglang mesti bergelap-gelap setahun lalu, Humas PLN Jawa Barat menjelaskan kejadian itu sebagai akibat patahnya pelepah kelapa dan ranting-ranting pohon yang menimpa isolator. Pernah juga PLN minta maaf ata keterlambatan penyambungan listrik ke rumah pelanggan karena PLN telat memancang tiang beton. Padahal, keterlambatan seperti ini bisa mengganggu tingkat penjualan Listrik PLN sendiri. Dan tentu merugikan PLN. Sejak beberapa tahun lalu, secara bertahap, PLN mengganti tegangan listrik 110 volt menjadi 220 volt. Program "listrik masuk desa" langsung dikenalkan dengan tegangan yang bisa lebih konstan ini. Tapi yang mengherankan di Kebayoran Lama dan Cengkareng (Jakarta), serta di Jurang Mangu (Tangerang), tegangan 220 volt itu masih bisa melorot. Nah, gara-gara lampu di rumahnya sering redup, Ny. Sri Hartiningsih -- yang tingal di Kebayoran Lama mengukur tegangan listriknya. Ternyata cuma sampai 160 volt pada malam hari. Itulah masa behan puncak bagi PLN. Pada masa puncak seperti itu cadangan listrik yang dialokasikan PLN untuk suatu kawasan tertentu, biasanya tidak cukup memadai. Akibatnyaa,tegangan listrik naik turun. Dan itu bisa merusak peralatan elektronik di rumah tangga. Pernah seorang penduduk Cengkareng melaporkan bahwa TV dan kulkasnya rusak berat gara-gara tegangan yang tak konstan di rumahnya. Juga tak jarang muncul keluhan pelanggan terhadap tagihan rekening listrik. Konsumen tak punya pilihan lain, kecuali membayar dulu kelebihan tagihan itu, bila mau listriknya tak dipadamkan. Tapi ini sudah terlalu jamak. Yang tak lazim adalah kejadian yang menimpah Gedung Tifa di Jl. Kuningan Barat, Jakarta Selatan. Tifa dimintai PLN menyediakan tempat -- buat pembangunan gardu instalasi listrik yang dikerjakan PLN. Meter pengukur pemakaian listrik juga dipasang oleh PLN sendiri. Selama tiga tahun, tagihan listrik ke alamat PT Tifa Arum Realty, pemilik dan pengelola gedung itu, dibayar dengan baik. Tapi pada bulan Mei 1988, sebuah tagihan susulan dilayangkan PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang kepada Tifa. "Kami menerima rekening tagihan susulan hampir sebesar Rp 152 juta, yang datang sehari sebelum Lebaran tahun lalu," tutur Indrarto Kartohadiprodjo, manejer gedung Tifa, kepada TEMPO. Tagihan di malam takbiran itu justru menuding Tifa salah dalam memasang pengawatan di meteran listrik, dan akibatnya hanya 68% pemakain listrik Tifa yang terukur PLN. Dan PLN mendesak Tifa untuk melunasi listrik yang dicatutnya -- selambat-lambatnya dua hari setelah Lebaran. Manejer Tifa membantah tudingan itu. Mereka merasa bahwa yang memasang meter listrik di sana kan PLN sendiri. Sebuah surat dilayangkan kepada Direktur Pengusahaan PLN, ketika itu, Ir. A.D. Kamarga. Tapi surat itu agaknya salah alamat. Sebab yang berwenang menyelesaikan masalah ini adalah pimpinan PLN Distribusi Jakarta Raya & Tangerang. Bukan Direktur Pengusahaan di Kantor PLN Pusat. Dan seperti biasa, PLN mengancam akan memutuskan sambungan listrik, bila Tifa menampik membayar. Setelah berkomunikasi melalui surat beberapa kali, akhirnya PLN mengakui bahwa memang terjadi kesalahan dalam pengawatan meter. Namun bukan berarti bahwa persoalannya selesai. Sebab, uang adalah uang: PLN tetap mendesak Tifa untuk membayar tagihan susulan itu. Dan Tifa tak bisa menampik desakan PLN, kecuali harus membayarnya. Mulai Juli 1988, tagihan susulan itu dibayar Tifa secara cicilaan sebesar Rp 15 juta setiaap bulan. Belakangan, angsuran ini dianggap terlalu berat, dan akhirnya bisa diperkecil menjadi Rp 8 juta sampaai September 1989. Bagi Indrarto, pengalaman dengan PLN ini dianggapnya menyalai kesepakatan. "Kami teken kontrak dengan PLN secara bisnis. Tapi setelah itu, sama sekali tak ada hubungan bisnis," katanya. Yang semacam ini, juga banyak dikeluhkaan investor asing di sini, terutama investor Jepang.Bachtiar Abdullah & Syafiq Basri Assegaaf (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini