Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI terakhir kali melihat elang flores (Nisaetus floris) pada 2003, Martinus Firman Jaya, 27 tahun, masih ingat persis kenangan tersebut. Saat itu ia duduk di kelas I sekolah dasar. Firman bersama rekan-rekan sebayanya sedang bermain bola kaki di petak sawah di belakang rumahnya ketika dua ekor ntangis—bahasa daerah Manggarai untuk elang—terbang rendah guna menyambar ayam yang mencari makan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bulu bagian leher, perut, dan paha sampai kaki berwarna putih keabu-abuan. Sayap hitam berbintik putih dan bagian ekor campuran hitam dan putih,” katanya saat ditemui di rumahnya pada Rabu, 14 Agustus 2024. Firman hakulyakin dua elang yang ia lihat 21 tahun lalu itu adalah elang flores. “Persis seperti ini,” ujarnya ketika Tempo memperlihatkan foto elang flores, burung pemangsa alias raptor endemis di Kepulauan Sunda Kecil itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Firman adalah warga Desa Paan Leleng, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Desa ini berjarak sekitar 20 kilometer ke arah utara Borong, ibu kota kabupaten tersebut. Persis di sisi timur laut Borong ada Poco Ndeki, gunung berhutan tropis di pesisir selatan Manggarai Timur yang menjadi rumah bagi delapan jenis burung endemis Pulau Flores, termasuk elang flores.
“Dulu, waktu masih kecil, kalau lihat ntangis, kami ramai-ramai berteriak, ‘ntangis tako manuk, ntangis tako manuk (elang curi ayam, elang curi ayam)’,” Firman bercerita. “Ntangis itu sangat liar. Kalau dengar teriakan, ia akan cepat menjauh.”
Mikael Agung, 58 tahun, menguatkan cerita Firman. Warga Desa Rana Mbata, Kecamatan Kota Komba Utara, itu mengatakan elang flores mulai jarang muncul pada 2000-an. Padahal sebelum itu Mikael sering melihat burung endemis ini saat musim kemarau, yakni Mei-Oktober. “Kalau musim kemarau, elang flores itu hampir setiap hari terbang mengitari kampung untuk memangsa ayam,” ujarnya kepada Tempo pada Rabu, 14 Agustus 2024.
Setelah 2000-an, Mikael mengingat, dalam setahun, elang cuma dua-tiga kali muncul. Ia mengatakan terakhir kali melihat elang flores terbang mengitari kampungnya pada 2004 . Setelah itu, ia tidak pernah lagi menjumpai raptor endemis tersebut. “Bahkan elang yang warnanya mirip ntangis tapi badannya lebih kecil (elang bonelli atau Aquila fasciata) sekarang sudah jarang kami lihat,” katanya.
Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) menetapkan elang flores dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah dengan status keterancaman kritis atau sangat terancam punah sejak 2009. Saat ini populasi elang flores di alam diperkirakan hanya 240 individu dewasa. IUCN juga memasukkan elang flores ke daftar 10 raptor paling terancam di dunia. Diyakini ada 71 jenis raptor di seluruh Indonesia saat ini.
Di Pulau Flores terdapat sejumlah wilayah hutan yang menjadi habitat ntangis, di antaranya hutan lindung Mbeliling di Kabupaten Manggarai Barat; Hutan Taman Wisata Alam Ruteng, Kabupaten Manggarai; Hutan Poco Ndeki dan Pota, Kabupaten Manggarai Timur; hutan adat Otoseso dan Hutan Ndito di Kabupaten Ende; Gunung Egon dan Ilimuda di Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka; dan kaki Gunung Lewotobidi Flores Timur.
Yovie Jehabut, pengamat burung asal Manggarai Timur yang pada 2020 mengamati elang flores di Poco Ndeki, menemukan kondisi hutan yang sangat memprihatinkan. “Penebangan pohon di mana-mana. Kerap terlihat para pemburu menenteng senapan ke sana-kemari,” tuturnya pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Seperti halnya Yovie, Usep Suparman, peneliti dari Raptor Conservation Society Foundation yang tengah meneliti elang flores di hutan lindung Mbeliling, mengatakan perburuan menjadi ancaman yang paling besar saat ini. Pada Mei 2024, Usep menemukan kasus penembakan elang flores di Desa Golo Damu, Kabupaten Manggarai Barat. Warga yang menembak tidak tahu raptor itu adalah satwa dilindungi dan terancam punah. “Warga menembaknya karena elang flores memangsa ternak ayam,” ucapnya saat dihubungi pada Jumat, 30 Agustus 2024.
Hutan lindung Mbeliling, Usep mengimbuhkan, kawasan yang masih cukup baik dengan tutupan yang masih rapat. Dia mengungkapkan, dalam survei yang dilakukan sepanjang Januari-Juni 2024, ditemukan 10 sarang elang flores pada 22 lokasi di lanskap Hutan Mbeliling yang mencakup tiga kecamatan, yakni Kecamatan Mbeliling, Sano Nggoang, dan Boleng. Ia mengestimasikan populasi elang flores di hutan tersebut 20-25 individu.
Hasil observasi Tempo terhadap sejumlah habitat elang flores di Pulau Flores sesuai dengan penjelasan Yovie dan Usep. Di Hutan Poco Ndeki, misalnya, pembukaan lahan pertanian serta pembangunan jalan raya dan permukiman baru terus dilakukan setiap tahun. Di Hutan Taman Wisata Alam Ruteng, banyak praktik penebangan pohon untuk dijadikan kayu bakar dan bahan bangunan serta pembukaan lahan pertanian. Sementara itu, di sekitar Hutan Mbeliling, alih fungsi lahan untuk permukiman dan resor juga marak beberapa tahun terakhir.
Selain di Pulau Flores, kondisi habitat elang flores di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, kritis. Ahli biologi raptor dari Hawk Ridge Bird Observatory, Amerika Serikat, Kara Beer, menyatakan habitat elang flores di Pulau Lombok terus berkurang. Beer bersama Raptor Conservation Society Foundation mengamati elang flores di Desa Kaowa, Kecamatan Lambitu, Kabupaten Bima, pada Mei 2024.
“Ancaman terbesar di depan mata adalah hilangnya habitat mereka,” kata Beer dalam keterangannya seperti dikutip Betahita.id pada 28 Mei 2024. Burung-burung, dia menjelaskan, bergantung pada hutan asli untuk membangun sarang, membesarkan anak-anak, dan mencari makan. Sebagai spesies yang sangat sensitif, elang flores tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan drastis pada lanskap tempat mereka hidup.
Usep Suparman dari Raptor Conservation Society Foundation yang bermarkas di Bogor, Jawa Barat, mengatakan upaya konservasi sangat diperlukan mengingat terjadinya penurunan populasi elang flores. Namun ia menyebutkan ada sejumlah kendala dalam upaya konservasi spesies ini, seperti terbatasnya data dasar, karena burung itu merupakan salah satu jenis burung pemangsa yang paling sedikit diketahui keberadaannya.
Kendala penting lain adalah kurangnya pemantauan intensif dan pengembangan sumber daya manusia lokal serta rendahnya dukungan masyarakat dan upaya pemerintah daerah terhadap konservasi burung dan habitatnya. Usep memaparkan, upaya mempelajari luas wilayah jelajah dan menentukan struktur habitat dengan menggunakan pelacak sistem penentuan posisi global (GPS) sangat diperlukan mengingat terjadinya penurunan populasi elang flores.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini, Usep menambahkan, adalah penangkapan elang flores dewasa menggunakan perangkap jaring busur, pengukuran morfologi, dan pemasangan pelacak GPS. Keluaran yang diharapkan adalah data dasar untuk masa depan elang flores seukuran wilayah jelajahnya bersama dengan pemantauan yang dapat diterapkan secara luas untuk mengidentifikasi prioritas konservasi spasial.
Pelacakan GPS elang flores dewasa, ujar Usep, digunakan agar dapat meningkatkan pemahaman akan kebutuhan habitat mereka dengan cepat. Hal ini akan membantu mengurangi gangguan manusia dan menginformasikan konservasi elang flores.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Nusa Tenggara Timur Arif Mahmud mengatakan pemicu utama penurunan populasi elang flores adalah berkurangnya luas dan kualitas habitat yang disebabkan oleh pembakaran hutan secara tradisional dan praktik pembukaan ladang menetap. “Pada beberapa lokasi, terjadi perburuan karena faktor ekonomi ataupun penggunaan senapan angin untuk hobi berburu atau menembak,” ucapnya saat dihubungi pada Jumat, 30 Agustus 2024.
Menurut Arif, melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 77 Tahun 2022, pemerintah telah menyusun strategi dan rencana aksi konservasi elang flores yang akan dilakukan hingga 2030. Program konservasi itu meliputi pengelolaan populasi dan habitat, kemitraan dan kerja sama, pemberdayaan, serta penerapan strategi dan program pendanaannya.
Beberapa kegiatan telah dan sedang dilaksanakan. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK, Arif mengimbuhkan, memantau populasi di situs-situs tertentu sepanjang 2015-2019. Kegiatan lain adalah memperluas habitat dan distribusi elang flores melalui pengembangan koridor kehidupan liar antar-kantong habitat. Pelindungan habitat, baik di dalam maupun di luar kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, dilakukan melalui penetapan kawasan ekosistem esensial di bentang alam Mbeliling, Nggorang Bowosie, Pulau Longos, Todo Repok, dan hutan lindung Pota.
Arif memaparkan, penelitian lanjutan terhadap data dasar—sebaran, habitat, dan populasi—juga perlu dilakukan, terutama ihwal genetik, ekologi, perilaku, kesesuaian habitat, pakan, reproduksi, dan etno-ornitologi. “Penelitian menjadi isu utama dalam strategi konservasi elang flores,” tutur Arif. Pada saat bersamaan, dia memastikan, BBKSDA Nusa Tenggara Timur terus berupaya menyelamatkan elang flores hasil penyitaan atau penyerahan masyarakat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ambrosius Adir berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawaj judul "Elang Flores Terancam Tinggal Nama"