Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Para Dokter Bertahan Hidup dalam Konflik Myanmar

Dokter Lintas Batas menghadapi situasi sulit di tengah eskalasi konflik Myanmar. Jangkauan layanan kesehatan makin terbatas.

1 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORGANISASI nonpemerintah internasional yang memberikan bantuan medis di seluruh dunia, Dokter Lintas Batas (MSF), telah 30 tahun lebih bekerja di Myanmar. Shinjiro Murata, Direktur Jenderal MSF Jepang, mengunjungi negeri yang dilanda perang sejak kudeta militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing pada 1 Februari 2021 itu selama dua pekan dari awal hingga pertengahan Juli 2024. “Sejak akhir Oktober tahun lalu, situasinya makin buruk,” katanya kepada wartawan Tempo, Iwan Kurniawan, Nabiila Azzahra, dan Dewi Rina, dalam wawancara daring pada Senin, 26 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana situasi Myanmar yang Anda saksikan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim kami bekerja bukan hanya di Yangon, kota terbesar di Myanmar, melainkan juga di Negara Bagian Shan, Kachin, dan Rakhine utara. Di semua negara bagian ini, sejak akhir Oktober tahun lalu, situasinya makin buruk bagi orang-orang yang membutuhkan karena di wilayah yang dikuasai kelompok bersenjata tidak ada organisasi kemanusiaan yang memperoleh izin untuk menjangkau mereka, termasuk MSF.

Bagaimana kondisi staf MSF?

Tim kami mengalami beberapa kali evakuasi dan penghentian kegiatan karena situasi keamanan yang memburuk dan eskalasi konflik. Pada pertengahan April 2024, apotek dan kantor kami di Rakhine utara dibakar. Untungnya tidak ada staf yang terluka, tapi semua persediaan medis dan peralatan kantor hancur. Termasuk obat-obatan yang dapat menyelamatkan jiwa, misalnya antibiotik, yang berperan penting dalam pengobatan penyakit seperti pneumonia, terutama untuk anak-anak.

Apakah akses MSF dibatasi oleh junta?

Sebenarnya yang dibatasi adalah akses kami ke orang-orang di wilayah yang dikuasai oleh kelompok etnis bersenjata. Kami masih dapat mengunjungi Myanmar dan melihat situasi di beberapa daerah.

Bagaimana dengan pasokan obat-obatan dan peralatan medis?

Pasokan merupakan salah satu kendala, selain pembatasan pergerakan. Misalnya, setelah kantor dan apotek kami dibakar, kami belum dapat menyediakan kembali obat-obatan dan peralatan karena pasokan sangat terbatas di wilayah itu. Sebelumnya, di Rakhine utara dan tengah, kami menyediakan klinik keliling untuk daerah perdesaan yang jauh dari kota utama karena banyak orang Rohingya yang tidak memiliki akses ke perawatan medis. Kami menyediakannya di 25 lokasi. Tapi sejak November tahun lalu, karena meningkatnya konflik, kami belum mendapat izin pergerakan dari otoritas setempat.

Shinjiro Murata menerima pasien yang mengunjungi MSF di Myanmar. Dok. MSF

Apa dampaknya bagi masyarakat?

Penghentian bantuan medis berarti kurangnya layanan kesehatan penting bagi masyarakat. Kami tidak dapat memvaksin anak-anak dan tidak dapat memantau situasi diare air akut, wabah kolera, atau tanda-tanda kekurangan gizi, yang dapat berdampak pada kesehatan lainnya. Bahkan jika ada penurunan kondisi kesehatan di antara penduduk, yang biasanya dapat kami akses, sejak November tahun lalu kami tidak dapat memantau situasinya. 

Bagaimana dengan klinik keliling Anda?

Sayangnya, hanya satu dari 25 lokasi yang izin pergerakannya kami dapatkan kembali setelah delapan bulan terhenti. Saya dan tim ke sana. Sangat mengesankan melihat ratusan pasien menunggu kedatangan kami di ruang tunggu klinik. Banyak perempuan dan anak-anak di antara mereka dan saya melihat pasien perempuan hamil. Mereka warga Rakhine setempat dan orang Rohingya. Sebelumnya, dalam sebulan kami merawat lebih dari 6.600 pasien melalui klinik keliling di Rakhine utara. Kini, dalam sebulan terakhir, di satu lokasi ini saja kami menangani sekitar 700 pasien. Ini menunjukkan bahwa banyak orang memerlukan akses ke perawatan medis, termasuk perempuan hamil, pasien penyakit kronis, dan anak-anak.

Apakah fasilitas kesehatan seperti rumah sakit masih beroperasi?

Bahkan di Yangon, kota terbesar di negara ini, situasinya tidak terlalu baik. Di Rumah Sakit Tuberkulosis Aung San di sana, yang sempat saya kunjungi, kami berupaya membantu Kementerian Kesehatan dengan mengisi kesenjangan penting. Rumah sakit ini merawat hampir 50 persen pasien tuberkulosis (TB) yang resistan terhadap obat, tapi beberapa bangsal telah ditutup karena kurangnya peralatan, obat, dan sumber daya manusia serta staf medis. Padahal ini rumah sakit yang sangat penting bagi pasien TB. Jika kita berbicara tentang fasilitas yang lebih beragam di daerah perdesaan atau daerah yang dikuasai oleh kelompok etnis bersenjata, situasinya bisa jadi jauh lebih buruk.

Apakah keterbatasan sumber daya manusia itu terjadi karena aksi mogok kelompok penentang junta?

Itu yang saya dengar secara pribadi dari staf lokal. Tapi saya tidak tahu berapa persentasenya dan saya tidak punya keterangan dari staf Kementerian Kesehatan.


Shinjiro Murata

Tanggal Lahir:
27 Februari 1977

Pendidikan

  • Master Administrasi Publik di John F. Kennedy School of Government, Harvard University, Amerika Serikat, 2019-2020
  • Sarjana Ekonomi Shizuoka University, Jepang, 1996-2001

Pekerjaan

  • Direktur Jenderal Dokter Lintas Batas (MSF) Jepang, sejak 2020
  • Kepala Misi MSF Jepang untuk Suriah, Sudan Selatan, Yaman, dan Filipina selama 2012-2019

Penyakit apa saja yang umumnya diderita oleh masyarakat Myanmar?

Di Shan dan Kachin bagian utara, kami melayani puluhan ribu pasien HIV dan TB. Namun kami telah menyerahkan perawatan pasien ini kepada program TB dan HIV nasional sebelum Oktober 2023. Kami sangat prihatin atas dampak konflik ini terhadap populasi rentan yang menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses perawatan kesehatan. Misalnya, bagi pasien TB dan HIV, setiap penghentian perawatan mereka dapat mengakibatkan resistansi atau memburuknya kondisi mereka. Ini hanya satu contoh.

Berapa lama para pasien dapat bertahan dalam kondisi saat ini?

Ini pertanyaan yang sulit dijawab. Misalnya, orang-orang di Rakhine utara dan tengah dulu mengandalkan klinik keliling dan rumah sakit lapangan, yang dapat menyediakan layanan kesehatan sekunder seperti dokter spesialis. Namun semua rumah sakit itu telah ditutup karena kurangnya pasokan, peralatan, dan orang serta meningkatnya konflik sehingga mereka kehilangan akses ke layanan itu sepenuhnya. Kemudian, untuk layanan kesehatan primer, klinik keliling kami telah dibatasi sepenuhnya, kecuali satu dari 35 lokasi. Sebagai organisasi kemanusiaan medis, kami benar-benar ingin menyampaikan bahwa situasi ini harus dihentikan dan semua pihak harus menghormati penerapan hukum humaniter internasional serta melindungi warga sipil yang terjebak dalam konflik.

Anda mengatakan dokter mendapat ancaman di Myanmar. Apakah dari militer atau kelompok bersenjata?

Pasti sulit bagi mereka untuk memastikan siapa yang melakukannya. Ketika kantor dan apotek kami terbakar pada April lalu, kami juga tidak tahu siapa yang melakukannya. Itu terjadi di tengah-tengah serangan membabi buta terhadap warga sipil dan kami tidak dapat mengatakan kelompok mana yang melakukannya.

Adakah petisi dari MSF untuk Myanmar tentang krisis ini?

Kami sungguh-sungguh ingin mendesak semua pihak yang bertikai untuk menghormati hakikat fasilitas kesehatan sesuai dengan kewajiban mereka berdasarkan hukum humaniter internasional. Kami ingin mendesak otoritas terkait agar mempertimbangkan kebutuhan mendesak guna mempercepat persetujuan untuk pergerakan pasokan medis, memfasilitasi kami untuk mengisi kembali persediaan, dan menjangkau orang-orang yang membutuhkan. Hal ini terhambat sejak November tahun lalu.

Apakah ASEAN dapat berperan menangani krisis Myanmar?

Negara-negara anggota ASEAN memiliki platform besar. Kami berharap mereka dapat melibatkan pihak-pihak terkait dalam konflik ini secara lebih proaktif untuk mengatasi masalah dan memperbaiki situasi. Kami mendesak negara-negara tetangga seperti ASEAN, termasuk Malaysia, Indonesia, dan Thailand, serta negara seperti Cina, Jepang, dan India. Kami berharap mereka dapat menjalankan kepemimpinan mereka dalam krisis kemanusiaan ini. Saya pikir negara-negara ASEAN dan Jepang memiliki tanggung jawab untuk menggunakan pengaruh mereka terhadap Myanmar, tidak hanya kepada otoritas resmi, tapi juga pihak-pihak lain di sana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Apotek dan Kantor Kami Dibakar"

Nabiila Azzahra

Nabiila Azzahra

Reporter Tempo sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus