Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CUACA Kyiv, ibu kota Ukraina, sangat cerah pada Kamis, 22 Februari 2024, itu. Di Alun-alun Mykhailivska tampak banyak orang berlalu-lalang dan mobil diparkir di setiap sisinya. Saat tak ada sirene berbunyi sebagai tanda datangnya serangan rudal dari Rusia, kota berpenduduk lebih dari 3 juta jiwa ini terlihat berdegup normal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa hari sebelumnya, 15 Februari 2024, sirene sistem pertahanan udara meraung-meraung lebih dari dua jam saat 26 rudal Rusia mengarah ke tujuh wilayah Ukraina, termasuk Kyiv. Hanya 13 rudal yang bisa ditembak jatuh. Semua rudal yang dialamatkan ke Kyiv bisa dinetralkan, tapi tujuh rumah dan mobil warga rusak akibat tertimpa puing-puingnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka yang hari itu berada di Alun-alun Mykhailivska tersebut tak hanya bisa menikmati patung Putri Olga dan gereja katedral St. Michael, tapi juga pameran terbuka mesin perang Rusia yang hancur selama invasi awal ke negara ini. Pameran oleh Museum Nasional Sejarah Militer Ukraina tersebut resmi dibuka oleh Presiden Volodymyr Zelenskyy pada 21 Mei 2022.
Bangkai mesin perang Rusia yang dipamerkan beragam. Ada sistem rudal artileri antipesawat yang dapat bergerak sendiri, Pantsir-S1; tank T-72B3; artileri yang dapat bergerak sendiri, Carnation M1990; mesin dan nozel sistem rudal balistik taktis Tochka-U (SS-21 Scarab); dan pesawat tempur. “Ini untuk mengingatkan bahwa perang masih berjalan,” ujar Myroslava Karemkiv dari Ukraine Crisis Media Center (UCMC) di Mykhailivska, Kyiv.
Selain di Mykhailivska, pemerintah mempertahankan sejumlah situs penting lain dari perang. Salah satunya di Irpin, kota yang jaraknya sekitar 21 kilometer dari Kyiv. Saat tentara Rusia bergerak menuju Ibu Kota di awal invasi, tentara Ukraina memutuskan meledakkan jembatan di atas Sungai Irpin untuk menghambat gerak maju pasukan musuh.
Dua tahun berselang, situs perang di Irpin itu masih dipertahankan. Pemerintah tidak merenovasi jembatan itu dan malah menjadikannya seperti monumen. Bagian jembatan yang roboh masih ada. Sebuah mobil van putih dibiarkan tetap berada di bawah jembatan seperti semula, yang fotonya tersebar luas ke seluruh dunia. Pemerintah membuat jembatan baru di samping yang hancur itu.
Perang yang masih menyelimuti warga Ukraina hari ini dimulai pada 24 Februari 2022 saat sekitar 200 ribu tentara Rusia menyerbu Ukraina dari berbagai penjuru. Setelah tentara pemerintahan Vladimir Putin itu tak bisa merebut Kyiv dalam hari-hari pertama serangan, mereka mundur ke wilayah timur, seperti Zaporizhzhia, Kherson Oblast, dan area sekitar Donetsk.
Invasi Rusia, yang kini memasuki tahun ketiga, merenggut nyawa lebih dari 30 ribu warga sipil, menyebabkan 3,7 juta jiwa mengungsi di dalam negeri dan 6,5 juta ke luar negeri. Korban dari pihak militer Ukraina, menurut penjelasan Presiden Zelenskyy, sekitar 31 ribu. Ini belum termasuk korban dari pihak Rusia yang menurut taksiran Amerika Serikat, yang mati atau terluka, sekitar 315 ribu jiwa.
Perang lain yang serupa terjadi di daerah yang terpaut 3.300 kilometer di belahan bumi selatan: Gaza, Palestina. Israel melancarkan serangan militer ke area seluas 365 kilometer persegi dan dihuni 2,1 juta jiwa itu. Hal ini menyusul serbuan kelompok sayap militer Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 orang dan menyebabkan lebih dari 200 orang disandera.
Serangan Israel, dengan pasokan senjata dari Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, menghantam semua wilayah yang sudah diblokade bertahun-tahun itu. Sasarannya bukan hanya markas Hamas, tapi juga semua area sipil, seperti sekolah, kampus, fasilitas kesehatan, dan tempat ibadah.
Serangan Israel itu juga menghancurkan infrastruktur ekonomi dan kesehatan Gaza. Israel pun memblokade bantuan makanan yang membuat penghuni wilayah ini berebut makanan karena kelaparan. Sebagian besar rumah sakit tak berfungsi karena dibom. Pasokan obat-obatan dan peralatan medis pun dihentikan. Aksi militer Israel di Gaza, sampai Maret 2024 menewaskan 31.200 orang, termasuk 12.300 anak-anak dan 8.400 perempuan.
•••
EURO-MED Human Rights Monitor mencatat Israel setidaknya menjatuhkan lebih dari 25 ribu ton bahan peledak di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023, yang setara dengan dua bom atom. Sebagai perbandingan, bom atom Little Boy yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima, Jepang, dalam Perang Dunia II menghasilkan 15 ribu ton bahan peledak berkekuatan tinggi dan menghancurkan segalanya yang berada dalam radius 1 mil.
Dampak pengeboman yang bisa disaksikan dunia internasional melalui media sosial adalah banyaknya puing dan reruntuhan. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) memperkirakan berat total puing bangunan di Gaza akibat serangan Israel mencapai 22,9 juta ton.
Sampah juga menggunung akibat fasilitas pengelolaannya yang rusak atau hancur. Listrik juga padam akibat blokade. Limbah padat akhirnya dibuang ke tempat-tempat informal yang memungkinkan zat-zat berbahaya merembes ke tanah berpori, masuk ke akuifer yang menjadi sumber utama air di Gaza.
Israel juga menggunakan senjata yang dilarang oleh hukum internasional seperti fosfor putih. Bom yang dapat membakar bangunan dan daging manusia ini, seperti dilaporkan Human Rights Watch, digunakan di daerah padat penduduk di Gaza. Hal ini memicu masalah kesehatan dan lingkungan karena bisa masuk jauh ke tanah dan meresap ke sumber air.
Soal kerusakan lingkungan akibat perang Gaza ini, penyair Palestina, Mosab Abu Toha, teringat kisah koleganya, Profesor Refaat Al Areer. Ketika pasukan Israel makin dekat ke rumahnya, rekan penyairnya itu mengirim pesan kepadanya, “Tidak akan ada stroberi tahun ini di Gaza. Tolong, Mosab! Kalau aku mati, taruh stroberi di kuburanku.” Al Areer meninggal bersama keluarganya pada 7 Desember 2023 akibat serangan militer Israel.
Kerusakan lingkungan yang sama terjadi di Ukraina akibat invasi Rusia. Perang yang berlangsung lebih dari dua tahun membuat banyak daerah menjadi berbahaya karena terdapat banyak ranjau atau senjata yang gagal meledak. Sejak 24 Februari 2022, pemerintah Ukraina setidaknya menetralkan 473.373 bahan peledak. Namun masih ada sekitar 156 ribu hektare area yang dipenuhi ranjau.
Bangkai mobil dan bangunan yang hancur sete;ah diserang rudal dan drone Rusia di Kota Kamianske, Ukraina, 29 Maret 2024./Reuters/Mykola Synelnykov
Biodiversitas Ukraina juga terancam kepunahan. Pemerintah Ukraina mencatat 800 keluarga lumba-lumba mati di Laut Hitam dan sekitar 600 spesies hewan terancam hilang sebagai imbas langsung perang. Sekitar 2,4 juta hektare hutan akhirnya bisa dibebaskan dari Rusia, tapi perlu dipulihkan dari dampak perang. Namun masih ada 850 ribu hektare wilayah yang diduduki Rusia.
Kerusakan lingkungan yang paling disorot secara internasional adalah akibat pengeboman Bendungan Kakhovka saat berada di bawah kendali Rusia pada 6 Juli 2023. Jebolnya bendungan akibat ledakan dari dalam dam itu menyebabkan 64 ribu hektare area hutan dan 150 ribu hektare kawasan cagar alam rusak tersapu banjir.
Ribuan penduduk di hilir sungai aliran Bendungan Kakhovka juga dievakuasi. Setidaknya 58 orang tewas dan 31 orang hilang. Air yang meluap itu juga membunuh banyak hewan dan merusak lahan pertanian, perumahan, kawasan bisnis, dan infrastruktur penting negara ini.
Menurut taksiran Kementerian Perlindungan Lingkungan dan Sumber Daya Alam Ukraina, kerugian akibat perang yang berlangsung lebih dari dua tahun itu 56,7 miliar euro atau sekitar Rp 966,3 triliun. Angka itu adalah akumulasi kerugian akibat tanah yang hancur, polusi udara, hingga kerusakan infrastruktur air.
Wakil Menteri Perlindungan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Ukraina Yevhenii Fedorenko mengatakan dua tahun aksi militer Rusia menghasilkan banyak kerusakan. “Rusia memang ingin menghancurkan kami di segala sektor,” tuturnya saat ditemui Tempo di kantor UCMC di Kyiv, 22 Februari 2024.
•••
PERANG di Ukraina dan Gaza tak hanya membahayakan lingkungan yang kerusakannya mudah dilihat mata telanjang. Dampak lain yang sering diabaikan dari banyak konflik bersenjata, serta segala jenis aktivitas militer negara, adalah emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya dan terlepas ke atmosfer bumi.
Dalam serangan Israel ke Gaza, emisi karbon yang dihasilkan dalam 60 hari sejak 7 Oktober 2023 itu lebih dari 281 juta ton. Krisis iklim dalam dua bulan itu saja setara dengan pembakaran setidaknya 150 ribu ton batu bara, yang meliputi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan pesawat terbang, tank, dan penggunaan bahan bakar dari kendaraan jenis lain, serta peledakan bom, artileri, dan roket.
Emisi ini tidak termasuk gas-gas lain yang menyebabkan pemanasan global seperti metana. Hampir setengah dari total emisi CO2 dalam perang Gaza itu, menurut studi awal peneliti Inggris dan Amerika Serikat, berasal dari pesawat kargo Amerika Serikat yang terbang lebih dari 10 ribu kilometer untuk mengangkut pasokan militer ke Israel. Roket Hamas yang ditembakkan ke Israel pada periode yang sama juga menghasilkan sekitar 713 ton CO2 yang setara dengan pembakaran 300 ton batu bara.
Sekelompok ahli yang tergabung dalam Initiative on GHG Accounting of War menaksir emisi perang Rusia di Ukraina sampai akhir 2023 sekitar 150 juta ton setara CO2 (CO2e). “Ini lebih besar dari emisi tahunan negara maju seperti Belgia,” ucap Wakil Menteri Perlindungan Lingkungan dan Sumber Daya Alam Ukraina Viktoria Kireyeva di sela acara Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-28 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, akhir Desember 2023, seperti dilansir Japan Times.
Peperangan itu sendiri menyumbang 25 persen emisi yang berasal dari konsumsi bahan bakar fosil oleh tentara Rusia dan Ukraina. Banyaknya kebakaran di sepanjang garis depan pertempuran menyumbang 15 persen. Namun perkiraan emisi terbesar, yaitu 54,7 juta ton atau sekitar 37 persen, berasal dari proyeksi biaya iklim untuk membangun kembali kota-kota yang hancur akibat perang.
Perkiraan soal jumlah emisi yang dihasilkan dari perang di Gaza dan Ukraina itu dinilai masih tergolong rendah dari jumlah sebenarnya. Sebab, penghitungannya semata didasarkan pada segelintir aktivitas militer yang dinilai banyak menghasilkan karbon. Aktivitas pendukung lain belum masuk hitungan.
“Selama ini emisi perang hanya menghitung pemakaian bahan bakar,” kata Edvin Aldrian, Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) asal Indonesia. Total emisi dari militer itu akan bertambah besar jika memasukkan faktor lain, seperti dampak ekonomi, yang juga menghasilkan emisi.
Besaran emisi dari konflik militer di Gaza itu belum mempertimbangkan rekonstruksinya selepas perang nanti, baik dari produksi material maupun pembangunannya. Menurut taksiran studi yang dirilis The Guardian, emisi pembangunan kembali Gaza ditaksir sekitar 30 juta ton CO2e atau hampir sama dengan emisi tahunan Libanon dan Madagaskar.
Kekhawatiran soal dampak perang dan aktivitas militer terhadap pemanasan global ini juga disampaikan oleh aktivis lingkungan dalam COP28 di Dubai, awal Desember 2023. Pada 3 Desember 2023, lebih dari 100 aktivis menyerukan gencatan senjata di Gaza dan menyatakan “tidak akan ada keadilan iklim tanpa hak asasi manusia”.
Direktur The Conflict and Environment Observatory Doug Weir mengatakan, sejak invasi Rusia ke Ukraina, sudah ada upaya menghitung jejak emisi perang sehingga perhatian terhadap soal ini makin meningkat. Namun pembahasan perang dan emisi militer ini tidak ada dalam agenda formal COP. “Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa baik konflik maupun emisi militer tidak mendapat banyak perhatian pada COP baru-baru ini,” ujarnya.
Padahal angka emisi yang dihasilkan oleh aktivitas militer, termasuk perang di Gaza dan Ukraina, cukup besar. “Perkiraan terbaik yang kami miliki saat ini adalah sekitar 5,5 persen emisi global,” kata Weir dalam jawaban tertulis kepada Tempo.
Pemandangan sistem antirudal Israel, Iron Dome, yang menembak roket-roket Hamas di udara di Kota Ashkelon, Israel , 9 Oktober 2023./Reuters/Amir Cohen
Berdasarkan data Emissions Database for Global Atmospheric Research atau EDGAR, emisi gas rumah kaca global pada 2022 ditaksir sebesar 53,8 gigaton CO2e. Emisi dari militer 5,5 persen, yang banyak berasal dari penggunaan bahan bakar, lebih besar dari emisi setahun Brasil yang sebanyak 1,3 gigaton atau hampir sama dengan Rusia sebanyak 2,6 gigaton.
Menurut militaryemissions.org, situs yang dikelola oleh The Conflict and Environment Observatory dan Concrete Impacts, selama ini jejak karbon dari sektor militer seperti tersembunyi dari pengawasan dan tak dibahas secara terbuka di forum tertinggi lingkungan PBB. Pelaporan emisi militer awalnya malah dikeluarkan dari Protokol Kyoto karena tekanan Amerika Serikat.
Perubahan terjadi pada konferensi 2015 yang menghasilkan Perjanjian Paris. Pertemuan itu menetapkan pembatasan emisi untuk menekan pemanasan bumi agar tetap di bawah 2 derajat Celsius dan 1,5 derajat Celsius jika memungkinkan, seperti pada level era praindustri, pada 2100 mendatang.
Para ahli sudah memperingatkan bahaya besar bagi manusia akibat kenaikan suhu bumi. Laporan Working Group II IPCC memperingatkan, saat suhu bumi mencapai 2 derajat Celsius lebih, bumi makin sulit untuk dihuni. Cuaca panas ekstrem akan naik 1,2 kali lipat dibanding saat suhu 1,5 derajat Celsius. Mereka yang terkena dampak banjir juga ditaksir menjadi 30 persen populasi dunia. Permukaan air laut pun akan naik 0,33-0,61 meter.
Pada 2023 ini saja, menurut analisis badan antariksa Amerika Serikat atau NASA, secara keseluruhan suhu bumi sekitar 1,36 derajat Celsius. Suhu 2023 ini lebih hangat dibanding suhu rata-rata praindustri akhir abad ke-19 (1850-1900). Sepuluh tahun terakhir ini malah merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat.
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), yang merupakan bagian dari Perjanjian Paris 2015, memang mewajibkan beberapa negara melaporkan emisi gas rumah kacanya setiap tahun. Namun, karena pelaporan emisi militer bersifat sukarela, datanya sering kali tidak ada atau tidak lengkap.
UNFCCC juga menetapkan kewajiban yang berbeda-beda bagi setiap negara berdasarkan tingkat pembangunan ekonominya. Negara-negara yang paling maju secara ekonomi wajib melaporkan emisi nasional dan upaya untuk menguranginya. Adapun negara-negara yang kurang berkembang memiliki sedikit saja kewajiban untuk melakukan hal yang sama.
Doug Weir menambahkan, semua negara anggota UNFCCC seharusnya melaporkan data emisi militer yang komprehensif dan rinci. Namun itu tidak terjadi karena pelaporan tersebut bersifat sukarela. Ia menyebutkan militer secara historis menikmati budaya eksepsionalisme dalam urusan lingkungan hidup. “Praktik inilah yang harus diakhiri.”
Dengan kontribusi yang tidak kecil bagi pemanasan global, tutur Weir, militer harus didorong melaporkan emisinya dan diperlakukan sama dengan sektor lain, seperti lahan, energi, dan transportasi. Termasuk upaya untuk menguranginya. “Jika militer bertanggung jawab atas 5,5 persen emisi global, setara dengan gabungan penerbangan sipil dan pelayaran, hal ini merupakan hambatan besar dalam memenuhi target Perjanjian Paris,” ucap Weir.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini memakai bahan reportase Hussein Abri Dongoran dari Kyiv dan Irsyan Hasyim dari Jakarta. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Korban Sunyi di Gaza dan Ukraina"