Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Menurut laporan Yayasan Auriga Nusantara, sedikitnya 7.681 hektare hutan alam ludes pada tahun lalu.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem mengatakan kemampuan reforestasi hanya sekitar 3.000 hektare per tahun.
Agar reforestasi di kawasan konservasi terus berjalan, pemerintah menyiapkan mekanisme investasi restorasi ekosistem.
PEMANGKASAN anggaran, ditambah deforestasi yang terus berlangsung di kawasan konservasi, membuat para pegawai Kementerian Kehutanan pusing tujuh keliling. Tahun lalu saja, merujuk pada laporan Yayasan Auriga Nusantara, sedikitnya 7.681 hektare hutan alam ludes akibat perambahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deforestasi itu mengkhawatirkan lantaran menyasar kawasan konservasi yang merupakan zona pertahanan terakhir untuk melindungi ekosistem flora dan fauna. “Kalau mengandalkan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), kira-kira kemampuan reforestasi hanya sekitar 3.000 hektare per tahun,” kata Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Kehutanan Satyawan Pudyatmoko kepada Tempo, Jumat, 14 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alokasi anggaran reforestasi itu diprediksi berkurang karena Kementerian Kehutanan menghadapi efisiensi anggaran sebesar Rp 1,21 triliun. Satyawan pun harus mencari cara agar kegiatan reforestasi di kawasan konservasi terus berjalan.
Salah satunya dengan menyiapkan mekanisme masuknya perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) untuk restorasi ekosistem di wilayah konservasi. Mekanisme baru ini dapat memberikan peluang bagi badan usaha, organisasi non-pemerintah, atau masyarakat dalam perdagangan karbon dari hasil reboisasi yang dilakukan di hutan konservasi.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan Prof Satyawan Pudyatmoko sedi Jakarta, 15 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra
Selama ini konsesi restorasi ekosistem hanya diberikan di kawasan hutan produksi yang diatur oleh Menteri Kehutanan sejak 2004. Sedikitnya 16 perusahaan telah memperoleh izin—tujuh konsesi di antaranya menjalankan bisnis restorasi dengan skema perdagangan karbon.
Contoh suksesnya adalah PT Rimba Makmur Utama, pemegang restorasi di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, seluas 157.875 hektare, yang telah memperdagangkan 33,2 juta ton setara karbon dioksida.
Perdagangan karbon terhenti ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberlakukan moratorium sejak 11 Mei 2021. Pemerintah bahkan mencabut beberapa izin restorasi ekosistem sebagai sanksi atas dugaan penghitungan ganda (double counting) dan klaim ganda (double claim) atas stok karbon yang diperdagangkan.
Dalih pemerintah, terjadi penghitungan ganda di wilayah yang telah dilaporkan Indonesia ke dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC).
Aturan baru yang disiapkan Satyawan akan mengizinkan bisnis restorasi ekosistem di kawasan konservasi melakukan perdagangan karbon. Syaratnya adalah perdagangan karbon yang dilakukan tidak mengganggu target capaian NDC Indonesia. “Sedang kami review izin-izin restorasi ekosistem ini. Nanti mekanisme yang terbaik bagaimana. Yang penting tidak mengganggu capaian NDC dan ekosistem hutan kembali utuh.”
Adapun target utama restorasi nanti adalah kawasan konservasi yang telah rusak, misalnya kawasan Taman Nasional Tesso Nilo di Riau. Rumah bagi sejumlah satwa langka seluas 81.793 hektare itu menghadapi ancaman deforestasi hingga puluhan ribu hektare.
Nantinya badan usaha atau masyarakat dapat berkolaborasi memulihkan hutan, dari pembenihan pohon hingga ekosistemnya dengan spesies asli.
Mekanisme restorasi sebenarnya sudah dijalankan pemerintah dalam kegiatan mengembalikan hutan alam di kawasan konservasi yang membentang seluas 26,91 juta hektare. Dalam kurun waktu 2020-2022, Kementerian Kehutanan memulihkan ekosistem 142,64 ribu hektare hutan. Namun mekanisme yang ada belum pernah membuka peluang bisnis perdagangan karbon bagi swasta.
Pawang atau mahout menunggang gajah sumatera jinak di Taman Nasional Tesso Nilo, Provinsi Riau, Juli 2020. Antara/FB Anggoro
Satyawan mencontohkan kerja pemulihan ekosistem yang pernah dijalankan Taman Nasional Way Kambas bersama Yayasan Auriga Nusantara di Rawa Kadut, Lampung. Kolaborasi itu berhasil memulihkan 1.200 hektare area padang rumput menjadi hutan.
Mereka juga bekerja sama mencegah kebakaran hutan untuk menjaga habitat satwa endemis. “Sekarang kami sedang ajukan ke Pak Menteri. Kalau beliau setuju, kami bisa langsung kerjakan mekanisme ini.”
Ketua Umum Indonesia Carbon Trade Association Riza Suarga semringah mendengar rencana pemerintah membuka peluang bisnis perdagangan karbon di kawasan konservasi, terutama di area yang mengalami deforestasi.
Apalagi pasar internasional memberikan nilai tinggi atas upaya-upaya pemulihan ekosistem di wilayah terdegradasi. “Makanya skema yang ditawarkan pemerintah harus menarik dan teknisnya seperti apa,” kata Riza pada Rabu, 19 Februari 2025.
Skema investasi yang dipertanyakan Riza adalah masa kerja konsesi dan persoalan perizinan. Dia mengatakan pemerintah dapat menggunakan mekanisme PBPH yang selama ini digunakan pada izin restorasi di kawasan hutan produksi atau lindung. Peluang menggunakan mekanisme khusus juga bisa dilakukan menyesuaikan dengan undang-undang yang ada.
Senior Advisor Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Rudi Syaf meminta pemerintah menetapkan wilayah-wilayah yang dicanangkan sebagai target pengurangan emisi dalam NDC, sebelum membuka keran bisnis karbon di kawasan konservasi. Hal ini untuk mencegah terjadinya klaim double counting seperti kejadian masa lalu. “Jadi harus selesai dulu pemetaan target NDC kita,” ujar Rudi.
Selain hal itu, pemerintah mesti merombak regulasi restorasi ekosistem. Dalam mekanisme PBPH, pemegang izin dapat memanfaatkan kayu yang ditanam dalam jangka waktu 30 tahun. Tentu aturan ini seharusnya tidak bisa diberlakukan di kawasan konservasi yang menjadi penopang utama habitat flora dan fauna. Selain itu, Rudi menganjurkan agar ada aturan ketat pada kerja restorasi untuk menjaga spesies endemis.
•••
PERUBAHAN paradigma konservasi dimulai ketika pemerintah merombak Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (mengubah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024).
Pemerintah memang masih menjadi penanggung jawab utama kegiatan pelindungan ekosistem. Hanya, terdapat klausul baru ihwal pendanaan yang memasukkan sumber-sumber lain sebagai penyokong kegiatan konservasi berkelanjutan.
Kepala Tim Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Arie Rompas melihat potensi kemudaratan ketika pemerintah mengutamakan pendekatan ekonomi dalam tata kelola konservasi. Arie menyebutnya sebagai komodifikasi sumber daya alam. “Tentu hal ini tidak sejalan dengan upaya-upaya pelindungan konservasi yang merupakan tanggung jawab negara,” ucap Arie.
Menurut Arie, pemerintah dalam menjalankan tugas negara semestinya melaksanakan kegiatan konservasi tanpa komersialisasi. Apalagi pemerintah memperoleh pendapatan dari pelbagai perizinan berusaha di kawasan hutan. Seharusnya dana pemulihan tersebut dikembalikan untuk kegiatan restorasi kawasan konservasi yang rusak, bukan justru mengundang investor menjalankan bisnis karbon.
Pemberian konsesi kepada swasta, menurut Arie, bakal menjadi ruang privatisasi kawasan konservasi yang semestinya menjadi ruang publik. Arie mencontohkan, kegiatan riset dalam inventarisasi biodiversitas bakal terganggu karena pemegang konsesi akan memonopoli tata kelola kawasan konservasi. Pelibatan swasta juga berpotensi menjadi ruang korupsi karena memungkinkan pemerintah mengobral izin demi memperoleh sumber pendapatan.
Yang paling mengkhawatirkan adalah tercerabutnya masyarakat adat yang selama ini hidup dan berdampingan menjaga ekosistem kawasan konservasi. Bukan tidak mungkin pelibatan swasta bakal menyingkirkan masyarakat adat.
Bila orientasi pemerintah berfokus pada pemulihan, menurut Arie, kegiatan menjaga keanekaragaman hayati di kawasan konservasi dapat menggandeng masyarakat adat. Ia mencontohkan upaya masyarakat suku Baduy yang menjaga ekosistem di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.
Manajer Kampanye dan Advokasi Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga telah mendengar isu obral konsesi lantaran kontribusi konservasi hanya menyumbang pendapatan sebesar 0,6 persen dari produk domestik bruto nasional. Padahal pendekatan tersebut dinilai telah mengeksploitasi sumber daya alam, khususnya di kawasan hutan. “Tambah keliru jika konsesi diberikan untuk korporasi di kawasan konservasi, meskipun itu dalam bentuk restorasi ekosistem,” tutur Anggi.
Masalah tata kelola konservasi dimulai saat pemerintah gagal mengendalikan deforestasi, khususnya di zona pelestarian keanekaragaman hayati. Laporan FWI mengungkapkan pembabatan hutan alam di wilayah konservasi mencapai 301 ribu hektare atau menyumbang 16 persen dari deforestasi sepanjang 2021-2023. Seharusnya pemerintah mengoptimalkan penghentian deforestasi, bukan justru menciptakan konflik melalui mekanisme izin restorasi ekosistem. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo