Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Lingkungan

Erupsi Gunung Anak Krakatau Bisa Seperti 2018? Ini Jawab Vulkanolog ITB

Pada 22 Desember 2018, letusan Gunung Anak Krakatau diiringi tsunami hingga merenggut 400-an korban jiwa dan menyebabkan ribuan lainnya luka-luka.

26 April 2022 | 09.40 WIB

Badan Geologi menaikkan status aktivitas Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda menjadi Siaga pada Minggu, 24 April 2022, pukul 18.00 WIB setelah mendapati terjadinya peningkatan aktivitas gunung tersebut. (Badan Geologi)
Perbesar
Badan Geologi menaikkan status aktivitas Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda menjadi Siaga pada Minggu, 24 April 2022, pukul 18.00 WIB setelah mendapati terjadinya peningkatan aktivitas gunung tersebut. (Badan Geologi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Siklus letusan Gunung Anak Krakatau mengalami perubahan dari sekitar dua tahunan sebelum 2018, kini menjadi empat tahun. Terakhir, pada 22 Desember 2018, letusan yang diiringi tsunami merenggut 400-an korban jiwa dan menyebabkan ribuan lainnya luka-luka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Vulkanolog Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman, mengungkap itu menanggapi naiknya status gunung api yang terletak di Selat Sunda tersebut, dari Waspada menjadi Siaga, per Minggu 24 April 2022. Menurutnya, peningkatan seismisitas mengindikasikan adanya pergerakan magma 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Letusan Gunung Anak Krakatau merupakan fase rutinitas untuk mengeluarkan kelebihan magma," kata Mirzam pada Senin malam, 25 April 2022.

Mirzam memberikan catatan tambahan apabila posisi magma sudah dekat permukaan--yang diindikasikan dengan pelepasan gas SO2 yang tinggi. Jika magma tidak sampai keluar atau erupsi, posisi dangkal magma ini sangat rentan oleh faktor eksternal.

Akibatnya bisa memicu letusan tiba-tiba seperti yang pernah terjadi di Hawaii pada 2018. Saat itu, posisi magma sudah dekat permukaan kemudian hujan deras mengubah kesetimbangan tudung penutup. 

Berdasarkan hasil kajian tim riset ITB, terindikasi dapur magma di Gunung Anak Krakatau diisi oleh dua sumber yang berbeda. Asalnya dari peleburan lempeng akibat subduksi dan dari kedalaman lapisan mantel bumi. “Sehingga saat ini Anak Krakatau sedang dalam fase pertumbuhan membentuk kerucut yang lebih besar akibat akumulasi produk letusan,” kata Mirzam.

Lalu, apakah akumulasi letusan ini bisa menimbulkan longsor seperti 2018 dan diikuti tsunami? Menurut Mirzam, itu mungkin terjadi namun tidak untuk dikhawatirkan saat ini. "Karena saat ini volumenya masih kecil dan jauh dari ukuran tubuh Anak Krakatau 2018 lalu,” ujarnya.

Kiri: Gambar satelit Gunung Anak Krakatau sebelum letusan besar, dalam gambar satelit DigitalGlobe yang diambil pada 14 November 2017. Kanan: kondisi Gunung Anak Krakatau saat diambil pada 11 Januari 2019. REUTERS/DigitalGlobe

Dalam konferensi pers Senin malam, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati meminta masyarakat mewaspadai potensi tsunami akibat peningkatan aktivitas Gunung Anak Krakatau. Terutama saat malam karena masyarakat sulit melihat ketinggian gelombang air laut.

Meski begitu Dwikorita memastikan BMKG bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan terus memantau potensi dampak erupsi gunung aktif yang saat ini berlangsung termasuk di Gunung Anak Krakatau. Informasi terbarunya disebarkan lewat saluran resmi BMKG.

 
 
 

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Zacharias Wuragil

Zacharias Wuragil

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus