Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seratus sepuluh pemimpin dunia bukan datang ke konferensi ini untuk gagal.” Itulah kalimat pembuka pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sidang Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa Bangsa, di Kopenhagen, Kamis dua pekan lalu. Sehari berselang, konferensi yang disebut sebagai ikhtiar penyelamatan umat manusia dari bencana perubahan iklim itu ditutup tanpa menghasilkan satu pun kesepakatan yang mengikat para pesertanya.
Inilah antiklimaks rangkaian perundingan yang berlangsung sejak Rencana Aksi Bali disepakati pada Konferensi Perubahan Iklim di Bali, dua tahun lalu. Pertemuan yang juga disebut Konferensi Para Pihak (COP 15) itu bertujuan mencapai kesepakatan baru yang mengikat, menggantikan Protokol Kyoto yang berakhir pada 2012.
Protokol Kyoto merupakan hasil pertemuan COP 13 di Jepang pada 1997. Kesepakatan itu mengharuskan empat puluh negara industri maju, yang dikelompokkan dalam Annex I, mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab naiknya suhu bumi 5,2 persen dari tingkat emisi mereka pada 1990. Kesepakatan ini diratifikasi oleh 190 negara yang menghasilkan 63,9 persen emisi. Amerika Serikat, penghasil 36,1 persen emisi, menolak ratifikasi. Alih alih mencapai kesepakatan yang mengikat, konferensi justru hanya menghasilkan catatan tentang komitmen mencegah peningkatan suhu bumi.
Kelompok penggiat kelestarian lingkungan dan negara yang paling terancam oleh dampak meningkatnya suhu bumi kecewa atas hasil konferensi tersebut. ”Sangat memalukan, setelah dua tahun berkeringat darah dan air mata, kita tidak menyelesaikannya,” kata juru bicara Oxfam International, Robert Bailey. ”Kesepakatan itu tak akan menyelamatkan negeri kami,” kata Ian Fryd, anggota delegasi Tuvalu, negara kepulauan yang terancam tenggelam jika permukaan laut naik.
Kesepakatan Kopenhagen atau Copenhagen Accord bahkan disebut akal akalan untuk menghindari ditutupnya Konferensi Perubahan Iklim tanpa hasil. Jauh dari kesepakatan berupa rezim hukum baru yang mengikat, dua belas poin kesepakatan itu hanya menyebutkan bahwa semua pihak berusaha mencegah meningkatnya suhu bumi agar tidak melebihi dua persen dan negara industri maju berkomitmen membantu negara berkembang mendanai upaya penanggulangan dampak pemanasan global. ”Tipis jaraknya dari kegagalan,” kata Fitrian Ardiansyah, Direktur Program Iklim dan Energi World Wild Fund Indonesia.
Bagi Presiden Yudhoyono, Kesepakatan Kopenhagen merupakan kabar baik bagi Indonesia—yang sejak dua tahun lalu mengawal negosiasi demi negosiasi dengan tujuan menekan negara maju melakukan tindakan nyata mengurangi emisi gas rumah kaca. Menurut Presiden, kesepakatan tersebut memuat lima usul Indonesia, seperti yang dikumandangkan Presiden ketika berpidato di Kopenhagen.
Lima usul itu, pertama, membatasi peningkatan suhu dua derajat Celsius. ”Dalam poin ini, tak ada kompromi, semua harus sepakat, tapi dengan tanggung jawab yang berbeda dan kemampuan saling menghargai,” katanya. Usul kedua, mendesak negara maju bertanggung jawab pada sejarah emisinya. Ketiga, melanjutkan inisiatif peluncuran dana bagi proyek mitigasi dan adaptasi. Keempat, negara berkembang berkomitmen mengembangkan pola pembangunan rendah karbon agar tak mengulang sejarah buruk emisi negara maju. Terakhir, semua negara harus fleksibel terhadap mekanisme pengukuran, laporan, dan verifikasi (MRV). MRV terbagi atas tiga kategori, yaitu komitmen dan aksi negara maju dalam mitigasi, aksi negara berkembang dalam mitigasi, serta dukungan negara maju bagi negara berkembang untuk upaya mitigasi.
Bagi Agus Purnomo, anggota delegasi Indonesia pada COP, Kesepakatan Kopenhagen tak lebih dari pernyataan politik. ”Tak ada kewajiban melakukan apa pun dan tidak mengikat,” kata Kepala Sekretaris Dewan Nasional Perubahan Iklim ini. Ia mencontohkan, poin pertama, tentang komitmen mencegah supaya tidak terjadi kenaikan suhu dua derajat, bukanlah sesuatu yang baru. Begitu pula soal kesepakatan memotong emisi yang didasarkan atas analisis ilmiah dan keadilan. ”Ini apa? Tidak jelas, tidak ada aturan apa yang harus dilakukan,” katanya. Kesepakatan itu, menurut Agus, hanya sebuah catatan konferensi.
Soal pendanaan yang juga disebut pada kesepakatan itu tak dijelaskan dari mana asalnya, bagaimana mekanisme mendapatkannya. ”Ada penyebutan angka, tapi tak jelas siapa harus melakukan apa,” katanya.
Agus mengakui Konferensi Kopenhagen memang sulit mencapai keputusan yang akan disepakati semua pihak. Apalagi konferensi digelar seiring dengan makin besarnya pesimisme akan tercapainya keputusan yang mengikat secara hukum. Sejumlah negara, seperti Amerika, menolak mengurangi emisi dalam jumlah signifikan. Dalam kondisi demikian, ada yang menyebut deklarasi ini hasil terbaik.
Agus mengatakan, meski ada kesepakatan, tidak ada hasil nyata yang dapat menjadi acuan bagi semua negara untuk melakukan tindakan nyata. Dalam kesepakatan itu, tiap negara mendapatkan formulir sesuai dengan kelompok negara tersebut. Formulir pertama untuk negara Annex I, yang diminta mengisi target pengurangan emisi pada 2020, dengan besaran dan basis tahun yang ditentukan sendiri. Adapun formulir untuk negara bukan Annex I berupa isian ihwal aksi mitigasi yang akan dilakukan. Walhasil, konferensi megah yang berlangsung dua pekan itu hanya menjadi loncatan untuk menuju negosiasi negosiasi berikutnya.
Tanpa keputusan yang nyata dan mengikat, upaya Indonesia mengambil manfaat dari skema pendanaan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Plus (REDD Plus) pun bakal tertunda lagi. Padahal, dalam pidatonya, Presiden Yudhoyono menegaskan perlu segera pengucuran dana untuk membantu negara berkembang melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sebelumnya, Ketua Delegasi Indonesia Rachmat Witoelar mengatakan salah satu sasaran delegasi adalah mendapat keuntungan bagi rakyat. ”Apabila manfaat yang utama sudah didapat, yang lain (penurunan emisi) bisa diminta nantilah,” katanya.
REDD adalah mekanisme yang ditawarkan Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim di Bali (COP 13). Konsep ini mewajibkan negara yang mendapatkan dana menjaga hutannya dari penggundulan dan kerusakan supaya dapat menyerap dan menahan karbon yang dihasilkan di tempat lain. Hutan yang terawat juga dapat dijadikan komoditas untuk mendapatkan dana yang lebih besar dari negara maju yang tak mau menurunkan emisi gas rumah kacanya, atau dikenal dengan istilah dagang karbon (carbon offset). Pemerintah menyiapkan 26,6 juta hektare hutan untuk skema REDD dan dagang karbon.
Ketimbang memikirkan dana yang belum jelas asal usulnya, pemerintah didesak melakukan tindakan nyata mengurangi kerusakan lingkungan, sekaligus memenuhi janji pengurangan emisi 26 persen pada 2020. ”Pekerjaan rumah di depan mata adalah menghentikan pembukaan hutan dan lahan gambut,” kata Bustar Maitar, juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara. Hutan dan lahan gambut harus menjadi prioritas karena keduanya merupakan penyumbang delapan puluh persen emisi gas rumah kaca di negeri ini. Khusus lahan gambut, selalu menjadi ancaman karena banyak titik api akibat pembukaan lahan.
Janji pengurangan emisi gas rumah kaca 26 persen itu disampaikan Yudhoyono di depan forum pertemuan negara G 20 di Pittsburg, Amerika, September lalu. Meski target itu dianggap sangat ambisius, para aktivis lingkungan hidup memberikan dukungan atas tekad tersebut. ”Asal dijalankan sungguh sungguh, antara lain dengan kebijakan moratorium pembukaan lahan hutan dan gambut,” kata Bustar.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan target itu akan terpenuhi dengan upaya merehabilitasi hutan yang rusak, termasuk lahan gambut. ”Pokoknya kami akan terus menanam pohon,” katanya.
Ismid Hadad, Ketua Kelompok Kerja Pendanaan pada Dewan Nasional Perubahan Iklim, mengatakan pembukaan lahan gambut merupakan dampak tidak efektifnya manajemen pengelolaan lahan dan rendahnya kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. ”Ditambah bayangan keuntungan besar dari kebun kelapa sawit dan kebun kayu,” katanya. Menurut Ismid, setelah hutan dan lahan gambut, penyebab emisi terbesar di Indonesia adalah pembangkit listrik. ”Ini karena ada distorsi harga minyak bumi dan tingginya investasi pembangkit energi terbarukan dibandingkan dengan energi berbahan baku fosil,” katanya.
Nah, bila dua hal itu dapat dibenahi, janji pengurangan emisi 26 persen bagi Indonesia semudah mengisi formulir kosong pada Kesepakatan Kopenhagen. Delegasi Indonesia pun akan lebih gagah dan percaya diri mengikuti negosiasi negosiasi perubahan iklim selanjutnya.
Adek Media, Untung Widyanto (Kopenhagen)
Kesepakatan Kopenhagen
1. Memandang bahwa perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar. Karena itu, kenaikan suhu harus ditekan di bawah dua persen atas basis keadilan dan konteks pembangunan masing-masing negara.
2. Sepakat dengan pengurangan emisi, dengan basis ilmiah dan keadilan.
3. Melakukan kerja sama adaptasi perubahan iklim, terutama memberikan bantuan kepada negara berkembang dan yang paling rentan terhadap ancaman dampak perubahan iklim.
4. Kelompok negara maju yang tergabung dalam Annex I mengembalikan formulir yang harus diisi dengan komitmen target besaran pengurangan emisi pada 2020.
5. Kelompok negara non-Annex I mengisi formulir yang berisi rencana aksi mitigasi.
6. Mengakui pentingnya peran REDD dan memberikan insentif untuk membangun mekanisme itu sebagai jalan untuk mengucurkan dana kepada negara berkembang.
7. Memberikan insentif kepada negara berkembang untuk mengembangkan pola pembangunan yang rendah emisi.
8. Komitmen bantuan dana US$ 30 miliar (Rp 300 triliun) dari negara maju kepada negara berkembang sepanjang 2010-2112, untuk mitigasi, adaptasi, dan pendanaan REDD.
9. Akan dibentuk panel tingkat tinggi untuk mempelajari sumber pendanaan potensial.
10. Membentuk Copenhagen Green Climate Fund untuk mengatur keuangan.
11. Membentuk mekanisme teknologi untuk mempercepat pengembangan dan transfer teknologi demi mendukung upaya adaptasi dan mitigasi.
12. Menyerukan penilaian terhadap pelaksanaan kesepakatan ini selesai pada 2015.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo