Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Haji dan Hajah Sebagai Panggilan atau Penanda

28 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asep Purnama Bahtiar
  • Kepala Pusat Studi Muhammadiyah dan Perubahan Sosial Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

    Haajji dan Haajjah adalah panggilan yang sering terdengar di Tanah Suci oleh jemaah calon haji, khususnya dari Indonesia. Panggilan itu biasanya diserukan oleh ’asykar (tentara­ atau petugas keamanan) di Masjid Al-Haram dan Masjid An-Nabawi ketika menegur jemaah atau untuk mengatur mereka. Sebutan itu juga lazim diucapkan oleh para pedagang ketika menjajakan barang-barang komoditas mereka.

    Sementara itu, di Indonesia, panggilan haji atau hajah (disingkat H atau Hj) galibnya diberikan kepada penganut agama Islam yang sudah menunaikan ibadah haji, sehingga di depan namanya biasa ditambahi huruf besar H atau Hj.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 292), lema ”haji” diartikan sebagai: 1. Rukun Islam yang ke lima; 2. Sebutan untuk orang yang sudah melakukan ziarah ke Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

    Berkaitan dengan pengertian itu pula, umat Islam yang akan berangkat ke Tanah Suci oleh pemerintah diistilahkan dengan ”rombongan atau jemaah calon haji” Indonesia. Nanti, ketika mereka sudah selesai menjalankan ibadah dan akan kembali ke Tanah Air, istilahnya berubah menjadi ”rombongan atau jemaah haji” Indonesia. Sebutan ”calon” tidak disisipkan lagi, dan itu menunjukkan mereka sudah sah menjadi haji atau hajah.

    Adapun di Tanah Suci, baik di Mekah maupun Madinah, sebutan haji atau hajah berbeda lagi pengertiannya. Sebutan itu tidak terkait dengan gelar bagi umat Islam yang sudah menunaikan ibadah haji. Misalnya, rombongan atau jemaah calon haji Indonesia yang masuk gelombang pertama, setibanya di Jeddah kemudian diberangkatkan dulu ke Madinah. Selama delapan hari di Madinah, jemaah calon haji ini memanfaatkan waktu untuk beribadah di Masjid An-Nabawi. Jelas, jemaah ini belum memulai ibadah haji mereka, tapi oleh ’asykar atau para pedagang sudah dipanggil haji atau hajah. Begitu juga ketika sudah berada di Mekah dan belum selesai menjalankan ibadah haji, tetap kerap dipanggil haji atau hajah.

    Bila panggilan haji atau hajah itu diberikan kepada jemaah gelombang kedua, bisa dimaklumi, karena mereka sudah selesai melaksanakan iba­dah haji. Sewaktu masih dalam status jemaah calon haji, gelombang kedua tersebut, setelah sampai di Jeddah, lalu diberangkatkan ke Mekah. Setelah selesai ibadah hajinya bersama jemaah gelombang pertama, baru jemaah gelombang kedua ini menuju Madinah.

    Dalam konteks inilah kita bisa memahami perbedaan makna haji/hajah bagi masyarakat Indonesia khususnya, dengan pengertian dalam bahasa Arab asal kosakata tersebut. Panggilan haji atau hajah yang diteriakkan­ oleh ’asykar atau pedagang di Tanah Suci itu, menurut hemat penulis, sebetulnya tidak ada sangkut-pautnya dengan sudah atau belum selesainya pelaksanaan ibadah haji. Mengapa? Sebab, istilah haji dalam bahasa Arab adalah orang yang sedang berziarah atau berkunjung. Kemudian, dalam fiqh dilengkapi de­ngan maksud untuk beribadah haji. Karena itu, tidak salah jika jemaah calon haji gelombang pertama di Madinah atau gelombang kedua di Mekah dipanggil haji/hajah oleh `asykar atau pedagang.

    Bagi masyarakat Indonesia, panggilan haji/hajah menjadi gelar atau penanda telah selesainya rangkaian peribadatan haji (manasik haji), dan lazimnya menjadi gelar yang melekat di depan namanya. Sedangkan bagi masyarakat Arab, istilah haji menjadi panggilan bagi umat Islam yang sedang berziarah ke Tanah Suci untuk beribadah haji. Suatu panggilan sementara yang hanya melekat selama umat Islam itu sedang berzia­rah atau akan menjalankan ibadah­ haji. Dengan kata lain, mereka menggunakannya sebagai penanda sesaat saja, dan setelah pelaksanaan ibadah haji selesai, maka sebutan itu pun tidak terdengar lagi.

    Makna dan sebutan haji bagi sebagian kalangan umat Islam seperti di Indonesia merupakan status sosial baru. Ada kebanggaan, meskipun sering kali berupa kebanggaan semu karena tidak dibarengi dengan konsekuensi dan kewajiban yang harus dijalankan oleh penyandang gelar haji tersebut, baik dalam konteks kesalehan individual maupun kesa­lehan sosial. Gelar tersebut seolah melekat sepanjang hayat dan tidak mengalami perubahan atau penambahan. Meskipun orang tersebut telah beribadah haji berkali-kali, gelarnya tetap haji atau hajah (H atau Hj), bukan haji kuadrat misalnya (HH atau HHHH).

    Agar tidak terjebak pada kebanggaan maya gelar haji atau hajah yang eksesif, patut disadari bahwa penambahan huruf H atau Hj di depan nama lebih bijak dimaknai dalam dua hal. Pertama, sebagai peringatan bagi yang bersangkutan agar selalu sadar bahwa dia telah dan pernah berziarah ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Kedua, seba­gai doa bagi yang bersangkutan agar tetap menjaga kemabruran haji/hajah­nya, dan suatu saat bisa kembali mengunjungi Tanah Suci.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus