DAUN hanjuangdan bambu kuning kini menghiasi banyak rurmah
penduduk Tasikmalaya. Dengan pajangan itu mereka berupaya
meredakan kemarahan Gunung Galunggung.
Menurut cerita, bambu kuning adalah senjata yang digunakan Raja
Galuh ketika mengalahkan Raja Galunggung. Sedang daun hanjuang
-- bentuknya serupa dengan pandan dan berwarna hijau kemerahan
-- dianggap penjelmaan kujang emas (senjata asli Pajajaran) yang
ditanam Raja Galunggung. Kedua kerajaan ini, Galuh dan
Galunggung, memang dikenal dalam sejarah Pasundan.
Syahdan, dalam pertempuran antara kedua raja itu -- entah kapan
pula terjadinya -- Raja Galunggung terluka. Dia lari
menyembunyikan diri, bertapa ke sebuah gunung terdekat. Dan dia
sempat bersumpah "akan menuntut balas," demikian cerita Abu
Sachrim, 56 tahun, juru-kunci sebuah pertapaan yang terletak di
sebelah utara puncak Gunung Galunggung.
Raja inilah yang kini disebut sebagai mBah Galunggung. Banyak
orang percaya, gunung di dekat Tasikmalaya itu meletus karena
mBah Galunggung marah, hingga perlu "ditangkis" dengan memasang
bambu kuning dan daun hanjuang.
Menurut Abu Sachrim, pernah tujuh orang datang bertapa di puncak
Galunggung. Setelah tiga bulan, para petapa itu menemukan enam
keris pusaka milik Raja Galunggung. Mereka mengambil dan membawa
pergi keris itu. Kemudian terjadilah letusan pertama Galunggung,
5 April. Merasa bersalah, para pertapa itu mengembalikan keris
itu ke tempat ditemukannya. Ternyata gunung itu masih murka".
Letusan Galunggung, berturut-turut selama empat bulan,
membangkitkan berbagai "teori" aneh. Misalnya Aki Saftan, ahli
kebatinan dari Desa Gunung Tanjung, Kecamatan Manonjaya, sempat
dihubungi salah seorang pejabat Pemda Kabupaten Tasikmalaya.
Menurut Aki Saftan, 50 tahun, masyarakat Tasikmalaa sudah
ingkar, tidak mau bersedekah. Dia menganjurkan seekor sapi dari
Kroya, Jawa Tengah harus dipotong oleh Bupati Tasikmalaya
sendiri, kemudian dagingnya dan satu kuintal beras dibagi rata
pada fakir miskin. "Galunggung harus diberi tepung lawung," ujar
Aki Saftan dengan sungguh-sungguh. "Kalau tidak, Tasikmalaya
akan menjadi sagara (danau)," tambahnya.
Pernah pula (20 Mei) sekitar seratus orang datang ke Kampung
Cikadu, Kecamatan Indihiang, Daerah Bahaya II. Mereka datang
dari Bandung, Bogor, Cirebon, Sukabumi dan Ciamis dengan
menggunakan delapan bis mini.
Tepat tengah malam, malam Jumat Kliwon, 12 ekor domba dan seekor
sapi yang mereka bawa disembelih di halaman masjid desa. Sebelum
acara penyembelihan diadakan semadi dan pembacaan doa. Hadir
pula sekitar 300 penduduk setempat, sebagian besar pengungsi
yang tinggal di bedeng darurat.
Rombongan pendatang itu dipimpin oleh Aki Syamsu, yang berasal
dari Banten. Ia murid aliran kebatinan Madrais, Cigugur,
Kuningan. Tahun 1970-an, aliran ini dilarang pemerintah, dan Aki
Syamsu dikabarkan mendirikan aliran Hikmaliyah, yang kemudian
tahun 1980 juga dilarang. Lalu sebagian anggotanya mendirikan
perkumpulan baru "Iktikad baik."
Seminggu setelah acara di Cikadu, seorang pendeta Budha bernama
Adisurya membangun "makam mBah Galunggung" di rumahnya di
Kompleks Pancasila, Tasikmalaya. Adisurya (terlahir Lai Khai
Fong), 44 tahun, juga dikenal sebagai ahli tusuk jarum. Di depan
rumahnya yang juga berfungsi sebagai kelenteng "Kue En She"
didirikannya sebuah cungkup, berbentuk stupa, beratap sirap
dengan lantai marmar putih. Ukurannya 4 x 4 meter. Di bagian
tengah dibuat sebuah makam, dan di dekat "nisan" dipasang hio.
Ada sepasang tempat pembakaran kertas di samping makam. Biaya
pembangunan "makam": Rp 1,5 juta, berasal dari kantung Adisurya
sendiri.
Menurut istrinya, tatkala bersemadi pada suatu malam Adisurya
mendapat wangsit agar membangun makam mBah Galunggung di depan
rumahnya itu. Upacara peresmiannya (17 Juni) dihadiri sekitar 50
orang, berlangsung dari pukul 19.00 sampai 22.00. Dimulai dengan
doa, disusul penanaman keris pusaka milik sang pendeta, lalu
pemotongan tumpeng, upacara itu bertujuan "mengurung roh mBah
Galunggung di makam itu," kata Ny. Adisurya.
TAPI "makam" itu ternyata tak direstui oleh Walikota Tasikmalaya
Oman Rusman. Bangunan itu kemudian diperintahkannya untuk
dibongkar.
Pendeta Adisurya kabarnya marah. Keris pusakanya dicabut lagi
(11 Juli), begitu juga sebuah batu pusaka yang konon penolak
bala. Roh mBah Galunggung, begitu kisah Ny. Adisurya,
dikembalikan suaminya ke Gunung Galunggung. Dan kebetulan, dua
hari kemudian Galunggung meletus lagi.
Berbagai upacara mistik itu membuat was-was para pejabat agama.
Departemen Agama lantas membentuk Tim Dakwah Penanggulangan
Bencana Galunggung.
Tapi upaya mistik, terakhir 26 Juli, masih memikat perhatian.
Tatang Permana, 40 tahun, ahli kebatinan dari Banyuwangi, Jawa
Timur, hari itu naik ke kawah Gunung Jadi (anak Gunung
Galunggung) dan menyerahkan sesajen berupa 40 butir telur ayam
dan 40 cangkir kopi. Toh dua hari kemudian Galunggung meletus
lagi, malah sampai tiga hari berturut-turut. Domba, sapi, keris,
telur dan kopi rupanya terbuang percuma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini