Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hati-hati, Efek Jangka Panjang Paparan Radioaktif Lebih Berbahaya

Paparan radioaktif tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna sehingga tidak bisa dilihat oleh kasat mata.

21 Februari 2020 | 16.39 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) melakukan dekontaminasi terhadap tanah yang terpapar radiasi radioaktif di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Selasa, 18 Februari 2020. Radiasi radioaktif Caesium-137 yang berada di lahan kosong kawasan Perumahan Batan Indah tersebut bukan dikarenakan oleh kebocoran dari reaktor Nuklir di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek). TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dokter spesialis kedokteran nuklir menyebut efek jangka panjang dari terpapar zat radioaktif lebih berbahaya daripada efek akut atau segera. Lebih berbahaya karena dampak tak bisa diprediksi kapan munculnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penilaian itu diberikan dokter spesialis kedokteran nuklir dari RS MRCCC Siloam Semanggi Jakarta, Ryan Yudistiro. Dia menjelaskan, efek akut bisa didapat setelah paparan dalam jumlah besar, lama, dan dekat sumbernya.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Begitu terpapar, paling sering dikeluhkan mual, muntah, pusing, sakit kepala, lemas, sampai mata merah, kulit merah, ada luka bakar, bahkan ada yang meninggal," katanya, Selasa 18 Februari 2020.

Ryan mencontohkan penyebaran zat radioaktif seperti yang terjadi di Chernobyl, Ukraina dan Fukushima, Jepang. Keduanya berupa peristiwa reaktor yang meledak dan menelan korban jiwa.

Tapi, Ryan menekankan efek jangka panjang dari paparan radioaktif yang lebih berbahaya karena tidak bisa diprediksi kapan munculnya. Dia menerangkan, radiasi radioaktif bisa merusak sel dan DNA sehingga bisa terjadi mutasi genetik.

"Mutasi genetik ini yang kita tidak bisa prediksi kapan munculnya. Satu akibat dari mutasi genetik itu muncul sel kanker," katanya.

Menurut Ryan, kanker yang paling sering terjadi akibat radiasi radioaktif adalah kanker tiroid. Namun tidak menutup kemungkinan juga sel kanker jenis lainnya seperti kanker darah dan sebagainya.

Ia juga menjelaskan pancaran sinar gelombang radiasi nuklir berbeda-beda dari tiap jenis zat radioaktif. Yang pasti, ditambahkannya, pancaran sinar radioaktif tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna sehingga tidak bisa dilihat oleh kasat mata.

Orang yang terpapar zat radioaktif pun, kata Ryan, tidak bisa mengetahui dirinya terpapar radiasi nuklir kecuali jika diukur oleh alat khusus untuk mengukur kandungan radioaktif pada tubuh. "Paling tidak, orang yang terpapar radioaktif bisa merasakan efek akut seperti mual dan muntah dan sebagainya."

Bahaya paparan radiasi mengemuka pasca temuan material radioaktif Cesium 137 di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan. Sebanyak sembilan warga setempat dipilih secara random di antara yang tinggal terdekat dari lokasi temuan untuk diperiksa paralel dengan upaya dekontaminasi di lokasi.

Hasilnya sudah diketahui, dua orang di antaranya memiliki radioaktif non alami di tubuhnya, sekalipun itu terukur dalam dosis sepersepuluh dari batas yang diperbolehkan di tengah masyarakat. "Tingkatnya ternyata sangat rendah, jadi tidak ada dampak radiologi dan tidak ada dampak kesehatan," kata Sekretaris Utama Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Hendriyanto Hadi Tjahyono, Jumat 21 Februari 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus