Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Hilang Mangrove karena Garam

Masyarakat adat Wewiku di Malaka, Nusa Tenggara Timur, menolak pembangunan ladang garam industri karena dianggap merusak wilayah pesisir. Hutan mangrove dan gebang hilang.

16 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEFRIDUS Tahu Bria berdiri di pinggir tambak ikan bandeng miliknya di Desa Badarai, Kecamatan Wewiku, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Sekitar 350 meter dari tempatnya berdiri, terbentang lahan urukan yang bakal menjadi ladang garam industri milik PT Inti Daya Kencana. Tak ada satu pun tegakan pohon yang menghalangi pandangan Jefridus ke arah Laut Timor di pesisir selatan pulau itu. “Padahal setahun lalu masih ada hutan gebang dan mangrove yang menutupi lahan itu,” ujar Jefridus, Jumat pekan lalu.

Gebang (Corypha utan, Lamk) merupakan tumbuhan sejenis palem. Masyarakat di Nusa Tenggara kerap memanfaatkan bebak atau pelepah daunnya yang berbentuk kipas itu sebagai bahan bangunan rumah. Bukan hanya gebang yang hilang di kampung Jefridus, hutan bakau pun telah rata dengan tanah. “Sekarang tidak ada lagi penghalang ombak agar pantai tak kena abrasi. Juga tak ada lagi penahan angin kencang,” katanya.

Dampak lain kerusakan ekosistem pesisir yang dirasakan Jefridus sebagai petambak bandeng adalah makin seretnya pasok-an air karena ditutupnya muara. Menurut dia, sejak September tahun lalu, penduduk pun mengalami paceklik air. “Sumur gali dan sumur bor airnya kering. Petani gagal tanam karena lahannya tandus dan gagal panen,” ujarnya.

Kesulitan air itu dirasakan Agustinus Klau, warga Desa Rabasa, setelah ladang garam industri PT Inti Daya Kencana (IDK) di desa tersebut beroperasi. Apalagi tahun lalu kemarau panjang melanda. Padahal daerah itu penghasil produk pangan seperti jagung, sagu, dan pisang. “Kami berharap tambak garam ditutup dan dilakukan penghijauan kembali mangrove serta pengembalian tanah ulayat,” ucapnya.

Air laut yang dialirkan lewat pompa ke sweater kemudian dipompakan ke kolam penguapan. Tempo/Jhon Seo

Penutupan muara dengan tanggul ladang garam industri seperti yang terjadi di Desa Weoe dan Wamean membuat pasok-an air laut ke tambak-tambak garam tradisional terhenti. Fisensia Abu Bria, warga Badarai, adalah salah seorang petani garam tradisional yang tegas menolak kehadiran PT IDK. “Pengaruhnya sangat besar karena usaha tambak garam tradisional yang sudah ada turun-temurun ini akan mati,” katanya.

Fisensia menambak garam dengan mengeruk endapan air laut yang masuk ke tambak ikan yang tak digunakan. Endap-an itu lantas dimasak menjadi garam. Sekali panen, garam yang dihasilkan hanya sebanyak 50 kilogram pada musim kemarau dan 20 kilogram pada musim hujan. Garam ini dijual ke pasar dengan harga Rp 5.000 per kilogram. “Hasilnya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” tuturnya.

Hilangnya hutan bakau juga memunculkan petaka karena buaya kehilangan habitat. Akibatnya, buaya-buaya masuk ke permukiman dan memangsa penduduk, seperti yang terjadi di Desa Rabasa Haerain, Kecamatan Malaka Barat, akhir Januari lalu. Seorang perempuan bernama Bernadeta Hoar, yang tengah mencari udang di Muara Pantai Berasi, diterkam buaya. Sehari kemudian, jasadnya ditemukan tak utuh.

General Manager Operational PT IDK Joannes Tarigan mengatakan perusahaannya telah menyelesaikan dan mengoperasikan ladang garam tahap pertama seluas 32 hektare di Rabasa sejak kuartal keempat 2018. “Sambil menunggu panen garam perdana yang diperkirakan pada April 2019 dan meredanya musim hujan, kami mulai membangun ladang garam di lahan seluas 300 hektare,” ujar Joannes di kantornya di kawasan Slipi, Jakarta Barat, Senin pekan lalu.

Menurut Joannes, PT IDK telah mengantongi izin lokasi yang diterbitkan penjabat Bupati Malaka, Donatus Bere—sekarang menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Malaka—pada 19 September 2015. Awalnya izin lokasi itu meliputi lahan seluas 5.915 hektare. Setelah Dinas Kehutanan mengecek ke lapangan, diketahui terdapat hutan mangrove dan lahan pertanian masyarakat sehingga total luasnya menjadi 4.520,54 hektare. Lokasi ladang garam tersebut berada di tiga kecamatan: Wewiku, Malaka Tengah, dan Malaka Barat. Perusahaan menargetkan produksi garamnya 100-150 ton per hektare per tahun.

Aktivitas PT IDK tersebut membuat resah sebagian masyarakat. Pangkalnya, anak usaha Rodamas Group itu dituduh menyerobot tanah ulayat masyarakat adat. Menurut juru bicara fukun Desa Weoe, Anselmus Nahak, PT IDK telah membuka ladang garam seluas 400 hektare. Padahal masyarakat adat hanya menyerahkan tanah ulayat seluas 36 hektare. Lahan 400 hektare yang telah dibuka itu termasuk 30 hektare hutan mangrove yang ditanami Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belu pada 2012. “Kami menolak kehadiran PT IDK karena mereka telah merusak tanaman di kawasan itu,” ucap Anselmus.

PT IDK pun dilaporkan Masyarakat Hukum Adat Kecamatan Wewiku kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam surat tertanggal 5 Februari 2019, tokoh adat yang memegang kuasa atas wilayah ulayat pantai selatan Kabupaten Malaka, yakni Raja Rabasa Ha’in Tibertius N. Bere Seran, Sasi’an Tetane Elisabeth Hoar Forek, Fukun La’e Tua Bana’i Umakain Kmesak Gaspar Klau, Fukun La’e Tua Bot Rabasa Benediktus Bria, Fukun La’e Tua Dibili Babira, Umatoos Fatuk Daniel Yos Bria, Fukun La’e Tua Batuli Kalisuk Lor Hendrikus Bria Lak, dan Fukun La’e Tua Bauna Weoe Ferdinandus Seran, menolak kehadiran PT IDK di tanah ulayat mereka karena perusahaan itu terbukti merusak lingkungan dan membawa kerusakan bagi hutan bakau, yang berfungsi sebagai pelindung bibir pantai.

Menurut Emanuel Bria, yang mendapat mandat dari masyarakat adat itu untuk mengadu kepada Menteri Lingkungan Hidup, kearifan lokal masyarakat Malaka memandang penting mangrove sebagai pembatas antara alam lautan dan alam daratan. “Tokoh adat di Malaka membuat pemetaan tanah ulayat sehingga ada bagian yang disebut lulik atau sakral dan ada yang bisa digunakan untuk bertani, bertambak, dan lainnya,” ujar putra Rabasa itu. “Pengaturan itu untuk menjaga keseimbangan antara alam dan manusia.”

Selain itu, kata Emanuel, PT IDK dikecam karena membuka lahan padahal belum memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Joannes Tarigan mengakui PT IDK belum memperoleh amdal. “Tapi kami sudah memprosesnya, tinggal menunggu panggilan Dinas Lingkungan Hidup,” ucapnya. Menurut dia, pengurusan amdal dan penyiapan lahan bisa berjalan paralel, apalagi proyek ini sejalan dengan program ketahanan pangan pemerintah pusat dan pencanangan NTT sebagai penghasil garam industri oleh Gubernur Viktor Laiskodat.

Lahan garam. Tempo/Jhon Seo

Kepala Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelola Hutan Wilayah Malaka, Maria Yovita Seran, mengaku belum mendapat pemberitahuan dari investor. Menurut dia, proyek seperti itu seharusnya mengantongi surat keterangan bebas kawasan. Yovita mengatakan dalam waktu dekat akan meninjau lokasi untuk menentukan apakah lahan PT IDK masuk kawasan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru yang sekitar 5.800 hektare di sepanjang pantai Malaka. “Lokasi itu belum ditetapkan sebagai kawasan hutan. Padahal sudah kami usulkan,” tuturnya.

Joannes membantah jika PT IDK disebut merusak hutan bakau. Dia berpegang pada surat Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIV tertanggal 20 Maret 2017 yang menyatakan lokasi kerja PT IDK berada di luar area penundaan izin baru. “PT IDK telah mengikuti batas-batas yang boleh diolah sesuai dengan izin dari instansi terkait,” katanya.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi mengatakan proyek ladang garam industri PT IDK itu sangat berdampak pada keberlanjutan lingkungan. “Mencaplok tanah adat juga merusak kawasan pesisir yang telah ditumbuhi mangrove, yang secara hukum merupakan kawasan yang harus dilindungi,” ujarnya.

Dari perspektif hukum, Umbu menambahkan, PT IDK terindikasi melanggar peraturan perlindungan hutan mangrove, yakni Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Penataan Ruang, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Mangrove penting dalam menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir. Fungsinya sebagai ruang berkembang biak sumber daya ikan, ‘sabuk hijau’ ketika bencana, dan pencegah laju abrasi pantai,” ucapnya.

DODY HIDAYAT, YOHANES SEO (MALAKA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus